Gambar Tingkatan Awam dalam Ilmu Fikih Dakwah.id

Tingkatan Awam dalam Ilmu Fikih

Terakhir diperbarui pada · 229 views

Memahami tingkatan awam dalam ilmu fikih itu sangat penting. Sebagai seorang awam, kita perlu menyadari keterbatasan kemampuan dalam memahami dalil-dalil agama yang kompleks. Dengan mengetahui posisi kita, kita akan lebih bijak dalam mengambil keputusan terkait suatu hukum syariat.

Menghargai pendapat para ulama dan tidak serta-merta mentarjih berbagai pendapat tanpa bekal ilmu yang cukup adalah sikap yang bijaksana. Sebab, memahami urutan dan kekuatan dalil bukanlah perkara mudah dan memerlukan pemahaman yang mendalam.

Dengan menuntut ilmu secara bertahap dan bersikap bijak, kita dapat menjaga akidah dan ibadah kita. Dengan demikian, kita akan terhindar dari kesalahan dalam beragama dan senantiasa berpegang pada pendapat ulama yang terpercaya.

Lantas, apa tingkatan awam dalam ilmu fikih itu?

Tingkatan Awam dalam Ilmu Fikih

Berbicara tentang metode tarjih apakah orang awam bisa mentarjih aqwal para mujtahid atau tidak, maka perlu kita rujuk ke pemaparan para ulama dan memahami esensinya sehingga tidak bermudah-mudah melakukan sesuatu di luar kemampuan karena hakikatnya ‘amy (orang awam) adalah muqallid (nonmujtahid).

Dalam perkara ini, Ibnu Qudamah pernah mengomentari dalam Raudhah,

وَلِأَنَّ الْعَامِّيَّ لَا يَعْلَمُ الْأَفْضَلَ حَقِيقَةً، بَلْ يَغْتَرُّ بِالظَّوَاهِرِ، وَرُبَّمَا يُقَدِّمُ الْمَفْضُولَ؛ فَإِنَّ لِمَعْرِفَةِ مَرَاتِبِ الْفَضْلِ أَدِلَّةً غَامِضَةً لَيْسَ دَرَكُهَا شَأْنَ الْعَوَامِّ.

“Seorang ‘amy hakikatnya tidak mengetahui mana yang paling afdhal (rajih) bahkan bisa jadi dia tertipu dengan sesuatu yang sifatnya dzahir dan sangat mungkin ia mendahulukan yang mafdhul (lemah). Karena sejatinya, mengetahui urutan tersebut adalah sesuatu yang amat sangat samar sehingga ia bukan ranah yang dicerna oleh ‘aamy.” (Ibnu Qudamah, Raudhah, 2/386)

Di sisi lain ada juga ibarah yang berbeda dari para ulama terkait masalah ini, sebagaimana riwayat dari al-Khathib al-Baghdadiy yang membolehkan ‘amy mentarjih,

أنا أَبُو الْحَسَنِ أَحْمَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَلَفِ بْنُ بُخَيْتٍ الْعُكْبَرِيُّ، أَخْبَرَنَا جَدِّي، قَالَ: قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرُ بْنُ أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: فَكَيْفَ تَقُولُ فِي الْمُسْتَفْتِي مِنَ الْعَامَّةِ إِذَا أَفْتَاهُ الرَّجُلَانِ وَاخْتَلَفَا فَهَلْ لَهُ التَّقْلِيدُ؟

 قِيلَ لَهُ: إِنْ شَاءَ اللَّهُ هَذَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

أَحَدُهُمَا: إِنْ كَانَ الْعَامِّيُّ يَتَّسِعُ عَقْلُهُ، وَيَكْمُلُ فَهْمُهُ إِذَا عَقَلَ أَنْ يَعْقِلَ، وَإِذَا فَهِمَ أَنْ يَفْهَمَ فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْأَلَ الْمُخْتَلِفِينَ عَنْ مَذَاهِبِهِمْ عَنْ حُجَجِهِمْ، فَيَأْخُذُ بِأَرْجَحِهِمَا عِنْدَهُ.

فَإِنْ كَانَ عَقْلُهُ لَمْ يَنْقُصْ عَنْ هَذَا، وَفَهْمُهُ لَا يَكْمُلُ لَهُ، وَسِعَهُ التَّقْلِيدُ لِأَفْضَلِهِمَا عِنْدَهُ. وَقِيلَ: يَأْخُذُ بِقَوْلِ مَنْ شَاءَ مِنَ الْمُفْتِينَ، وَهُوَ الْقَوْلُ الصَّحِيحُ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ وَإِنَّمَا عَلَيْهِ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى قَوْلِ عَالِمٍ ثِقَةٍ، وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ، ‌فَوَجَبَ ‌أَنْ ‌يَكْفِيَهُ.

“Abul Hasan Ahmad bin al-Husain bin Muhammad bin Abdillah bin Khalaf bin Bukhait al-Ukbariy menceritakan kepada kami, kakekku mengabarkan kepada kami, ia berkata, Abu Abdillah az-Zubair bin Ahmad az-Zubairiy berkata, ‘Apabila ada orang berkata, ‘Bagaimana pendapatmu tentang orang yang meminta fatwa dari masyarakat awam, apabila ada dua orang ulama memberikan fatwa kepadanya yang ternyata fatwa masing-masing berbeda. Apakah boleh baginya taqlid?’

Maka katakan kepadanya, ‘Insyaallah, dalam permasalahan ini ada dua kondisi.

Pertama, jika orang awam itu punya nalar yang cerdas dan sempurna pemahamannya—yang seandainya ia berpikir (sesuatu) akan mengetahui, dan seandainya ia memahami (sesuatu) akan paham, maka dirinya wajib untuk bertanya kepada orang lain pendapat mereka dan hujjah mereka (tentang jawaban dua mufti tersebut), lalu ia mengambil yang paling kuat (rajih) di antara keduanya.

(Kedua) apabila nalarnya tidak kurang dari ini, hanya saja dari segi pemahamannya ia belum sempurna/memadai, maka boleh baginya untuk bertaqlid terhadap orang yang lebih utama di antara dua mufti tersebut (menurutnya).

Dikatakan, ‘Orang tersebut bebas mengambil/memilih fatwa dua orang mufti itu.’ Ini (pun) pendapat yang benar, karena ia bukan seorang ahli ijtihad (mujtahid). Yang wajib baginya hanyalah mengembalikannya kepada pendapat seorang ‘alim yang terpercaya (menurutnya), dan ia pun telah melakukannya sehingga itu telah mencukupi.’” (Al-Baghdady, al-Faqîh wal-Mutafaqqih, 2/431—432).

Baca Juga: Sikap Muslim Awam ketika Mendapati Keragaman Fatwa Ulama

Dari dua nukilan di atas mereka sepakat bahwa ‘amy (orang awam) adalah nonmujtahid. Namun, ada isyarat dari nukilan yang kedua bahwa orang awam dibolehkan mentarjih jika memiliki kemampuan.

Setelah membaca pemaparan para ulama perlu didudukkan bahwa: ‘Amy yang seperti apa yang mampu mentarjih? Selanjutnya, tarjihat yang bagaimana yang mampu dia lakukan?

Kalaulah perkataan di atas diarahkan kepada mentarjih empat mazhab, maka Imam an-Nawawi sendiri pun tidak mampu. Kemampuan beliau hanya mentarjih aqwal internal mazhab, baik aqwal Imam asy-Syafii maupun para ashab yang kemudian dijadikan sebagai pendapat muktamad di dalam mazhab.

Adapun pandangan pribadi Imam an-Nawawi yang keluar dari mazhab, maka itu dikategorikan sebagai ikhtiyarat yang lemah menurut mazhab namun kuat menurut dalil yang dipahami an-Nawawi.

Adapun ulama-ulama yang levelnya di bawah an-Nawawi seperti Asnawi, maka tarjihat-nya hanya terbatas pada apa yang diikhtilafkan oleh syaikhan (an-Nawawi dan ar-Rafii). Adapun tarjihat-nya ulama setelahnya seperti al-Haitami dan ar-Ramly maka lebih diperkecil lagi yakni furu’-nya furu’.

Oleh karena itu, perkataan ulama yang membolehkan awam dalam mentarjih jika diarahkan untuk penuntut ilmu sekarang, maka seperti apa tingkatan tarjihat-nya? Sangat sulit jika mereka mengklaim mampu mentarjih empat mazhab sedangkan ilmunya jauh di bawah an-Nawawi.

Dan lagi-lagi semuanya itu dibuktikan dengan rekam jejak belajar yang bertahap mulai dari kitab-kitab dasar hingga muthawwalat.

Artikel Ilmu & Dakwah: Menuntut Ilmu Islam Harus Mulai dari Mana?

Oleh karena itu, an-Nawawi mengatakan, “Kalau ada yang ingin mengamalkan perkataan asy-Syafii,

إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ

Bila suatu hadits shahih, maka itulah mazhabku,’

maka wajib baginya untuk mengecek apakah hadis yang dia klaim shahih pernah dikomentari oleh Imam asy-Syafii? Selanjutnya, dia harus membaca kitab-kitab para ashab.” Dan di akhir Imam Nawawi mengomentari, “Hampir sedikit bahkan bisa saja tidak ada orang pada zaman beliau yang mampu melakukannya.”

Penuntut Ilmu Harus Bijaksana

Oleh karena itu, dudukan dulu makna awam dan tingkatannya dalam ilmu fikih. Jangan sampai merasa bukan awam, tapi gambaran masail dalam bab-bab kecil ilmu fikih tidak paham bahkan jatuh dalam kesalahan fatal, seperti mengatakan rukun wudhu hanya dua, najis dapat membatalkan wudhu, dan lain-lain.

Saya sering berdiskusi dengan kawan-kawan sekampus LIPIA terkait masalah ini, dan mereka mengakui bahwa mereka bukanlah mujtahid. Namun anehnya, pernyataan selanjutnya adalah kita bukan mujtahid, namun mampu melihat dalil sehingga bisa memilih mana yang lebih kuat. Padahal jangankan memahami dalil, wong memahami ibarat Abi Syujak saja sangat sulit.

Kami pun pernah setiap Sabtu muzakarah kitab Fathul Muin bersama asatidzah Bekasi dari alumni kampus yang cukup berbilang. Ada yang dari LIPIA, Madinah, Sudan, dan lain-lain. Namun, tidak sedikit ibarah muallif yang kami kesulitan memahaminya. Bahkan ada kalanya kami menghubungi guru kami Syaikh Labib atau Syaikh Jamal untuk menjelaskan maksud dari ibarah tersebut.

Maka kesadaran akan kemampuan diri perlu dimiliki penuntut ilmu sehingga mereka tidak jatuh pada kesalahan-kesalahan yang fatal apalagi menggiring manusia untuk mengampanyekan mazhab Muktazilah Qadariyah, maka ini lebih fatal lagi.

Adapun tarjihat yang dilakukan oleh beberapa ormas Islam yang diistilahkan sebagai “pembaharuan fikih” sebenarnya kurang tepat. Karena kaidah-kaidah dalam ushul fikih maupun qawa’id fiqhiyyah sebagai perangkat menggali fikih sampai saat ini tetap relevan dan tidak perlu diganti.

Kegiatan semacam ini tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad dalam pengertian ishtilahi, melainkan ijtihad menurut pengertian bahasa. Mau Anda namakan tarjih, ya silakan saja. Namun, jangan diarahkan ke makna tarjih yang dijabarkan oleh Ushuliyyun. Allahu alam. (Muhammad Fajri/dakwah.id)

Penulis: Muhammad Fajri
Editor: Ahmad Robith

Baca juga artikel tentang Ushul Fikih lainnya:

Topik Terkait

4.7 3 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Discover more from Dakwah.ID

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading