Ngaji Fikih #20 Cara Membedakan Darah Haid dan Darah Istihadhah dakwah.id

Ngaji Fikih #20: Cara Membedakan Darah Haid dan Darah Istihadhah

Terakhir diperbarui pada · 955 views

Sebagian wanita barangkali belum tahu cara membedakan darah haid dan darah istihadhah. Bahkan sebagian wanita memang tidak mampu memebedakannya. Padahal hukum yang diterapkan dalam haid dan istihadhah jauh berbeda.

Terutama dalam mengenali darah istihadhah. Sekalipun darah istihadhah itu berbeda, namun ada kemiripan dengan darah haid itu sendiri.

Sebab itulah, tiga point berikut ini penting diketahui setiap muslimah untuk membedakan darah istihadhah dengan darah haid, yaitu:

  1. Apa itu istihadhah?
  2. Cara membedakan darah haid dan darah istihadhah.
  3. Hukum yang berlaku bagi wanita mustahadhah.

Berikut ini penjelasannya:

 

Apa Itu Istihadhah?

Istihadhah adalah darah yang keluar dari rahim selain pada waktu kebiasaan haid. Darah istihadhah keluar karena adanya penyakit. Bukan darah thabi’i (alami) yang keluar secara rutin. Biasanya berwarna merah cerah, bukan merah pekat seperti darah haid.

Kendati demikian, warna darah istihadhah bisa jadi berbeda bagi masing-masing wanita. Menyesuaikan kondisi, tempat, dan makanan yang dikonsumsinya.

 

Cara membedakan darah haid dengan darah istihadhah

Darah istihadhah dan darah haid dapat dibedakan dengan tiga cara. Pertama, dengan cara melihat sifatnya. Kedua, dengan cara melihat hari rutinitasnya, atau hari kebiasaannya. Ketiga, dengan cara melihat jumlah hari rutinitas haid kaum wanita setempat.

Pertama, membedakan darah haid dan istihadhah dengan cara membedakan sifatnya.

Cara pertama ini hanya bisa dilakukan bagi wanita yang memang dapat membadakan sifat darah haidnya dan sifat darah istihadhahnya. Sehingga dirinya cukup dengan cara membedakannya saja.

Darah haid itu warnanya kehitaman, atau merah pekat, terkadang warnanya juga kekuningan, atau keruh seperti darah yang tercampur dengan tanah. Sedangkan darah istihadhah tidak seperti itu, lebih ke sifat darah yang merah cerah.

Cara ini berdasarkan hadits Fatimah binti Hubaisy, suatu saat dirinya beristihadhah, lalu Nabi berkata kepadanya,

إِذَا كَانَ دَمُّ الحَيْضَةِ فَإِنَّهُ دَمٌّ أَسْوَدٌ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَامْسِكِيْ عَنِ الصَّلاَةِ، وَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِيْ وَصَلِّي فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ

“Jika yang keluar adalah darah haid, maka warnanya kehitaman dan itu diketahui. Jika memang demikian, jangan melakukan shalat. Namun jika yang keluar adalah selain darah haid (yaitu darah istihadhah) maka berwudhulah dan kemudian dirikanlah shalat. Sebab itu adalah darah rusak.” (HR. Abu Dawud)

Artikel Fikih: Saat Shalat, Ketahuan Ada Darah Menempel Di Pakaian

Hadits di atas menjadi petunjuk, bahwa wanita yang dapat membedakan mana darah haid dan mana darah istihadhah cukup baginya mengambil langkah pembedaan tersebut.

Kedua, membedakan darah haid dan istihadhah dengan cara melihat hari rutinitasnya atau hari kebiasaannya.

Apabila wanita tidak dapat membedakan sifat darah haid dan darah istihadhah, cara yang kedua adalah melihat hari rutinitas darah haidnya keluar. Karena sifat darah haid maupun darah istihadhah itu berbeda bagi masing-masing wanita, sehingga ada kemungkinan sifatnya sama namun selain di hari rutinitas haid.

Misalnya, biasanya haid datang di awal bulan. Jarak maju dan mundurnya tidak lebih dari dua atau tiga hari. Bulan ini telah mendapati haid di awal bulan, dan tiba-tiba mendapati darah di pertengahan bulan. Jika dapat memastikan itu adalah darah haid maka hukumnya haid, namun jika tidak dapat memastikan itu darah haid atau bukan maka hukumnya darah istihadhah.

Berdasarkan hadits Aisyah, suatu ketika Fatimah binti Hubaisy mengadu kepada Rasulullah bahwa dirinya mendapati darah dalam waktu yang lama, dia bertanya: “Apakah selama itu dia harus meninggalkan shalat?”

Artikel Adab: Pakaian Muslimah Harus Memenuhi 8 Syarat Ini

Kemudian Rasulullah bersabda,

إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ، فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ، فَاتْرُكِى الصَّلاةَ، فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا، فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى

“Itu hanyalah darah yang rusak, bukan darah haid. Jika dirimu mendapati haid maka tinggalkanlah shalat. Jika haid itu telah selesai, maka bersihkanlah darah (mandi) dan kemudian dirikanlah shalat.” (HR. Jama’ah; kecuali Ibnu Majah)

Dalam riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan:

وَلَكِنْ دَعِّي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِى كُنْتِ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا، ثُمَّ اغْتَسِلِى وَصَلِّى

“Akan tetapi, tinggalkanlah shalat pada hari-hari kebiasaan engkau haid. Kemudian mandilah dan dirikanlah shalat.”

Begitu juga dengan hadits Ummu Salamah ketika meminta fatwa kepada Nabi tentang wanita yang terus-terusan mendapati darah, beliau bersabda,

لِتَنْظُرَ قَدْرَ الَّيَالِي وَالأَيَّامِ الَّتِيْ كَانَتْ تَحِيْضُهُنَّ وَقَدْرَهُنَّ مِنَ الشَّهْرِ، فَتَدَعُ الصَّلاَةَ ثُمَّ لِيَغْتَسِلَ وَلِيَسْتَثْفِرَ، ثُمَّ يُصَلِّي

“Hendaknya dia memerhatikan bilangan malam dan siang yang dilaluinya dalam haid, begitu pun letak hari-hari itu dari setiap bulan, lalu menghentikan shalat pada waktu-waktu tersebut, kemudian mandi dan hendaknya mencawat farjinya, lalu mendirikan shalat.” (HR. Malik dan Asy-Syafi’i)

Ketiga, membedakan darah istihadhah dan darah haid dengan cara melihat jumlah hari rutinitas para wanita setempat.

Cara ini biasanya dilakukan oleh wanita yang pertama kali mendapati darah pada kemaluannya. Dia tidak tahu, apakah ini darah haid sebagai tanda balig, ataukah ini darah rusak atau darah istihadhah.

Artikel Ngaji Fikih: Ngaji Fikih #18 Muslimah Wajib Belajar Fikih Haid dan Nifas

Wanita ini belum mampu membedakan antara darah haid dan darah istihadhah. Dia pun belum memiliki hari rutinitas darah haid sebelumnya.

Cara membedakannya adalah dengan melihat jumlah hari rutinitas para wanita setempat.

Misalnya, ini adalah darah pertama yang didapati si fulanah. Sudah berlangsung selama 8 hari. Padahal pada umumnya, para wanita di tempatnya haid selama 6 atau 7 hari. Melihat dari jumlah hari rutinitas tersebut, maka darah yang masih keluar pada hari ke 8 dianggap sebagai darah istihadhah.

Dalilnya adalah hadits dari Hamnah binti Jahsyi, Rasulullah bersabda,

إِنَّمَا هَذِهِ رَكْضَةٌ مِنْ رَكَضَاتِ الشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضِيْ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ فِي عِلْمِ اللهِ، ثُمَّ اغْتَسِلِيْ حَتَّى إِذَا رَأَيْتِ أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ وَاسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعًا وَعِشْرِيْنَ لَيْلَةً أَوْ ثَلاَثًا وَعِشْرِيْنَ لَيْلَةً وَأَيَّامَهَا وَصُوْمِيْ فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِيْكِ

“Ini hanyalah salah satu usikan dari beberapa usikan setan. Hitunglah haidmu selama enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah. Lalu mandilah sampai engkau merasa telah bersih dan suci. Lalu dirikanlah shalat selama dua puluh empat hari atau dua puluh tiga hari dan berpuasalah. Sesungguhnya demikian itu diperbolehkan bagimu.” (HR. Abu Dawud)

 

Hukum yang berlaku bagi wanita mustahadhah

Hukum yang diterapkan kepada wanita mustahadhah tidak sama dengan wanita haid maupun nifas. Berikut ini di antaranya:

Pertama, wanita mustahadhah dihukumi sebagai wanita yang suci, bukan seperti wanita yang sedang haid atau nifas.

Oleh sebab itu, wanita mustahadhah tetap boleh mendirikan shalat, berpuasa, beriktikaf, membaca Al-Qur’an, menyentuhnya, membawanya, dan boleh melakukan semua jenis ibadah.

Kedua, wanita mustahadhah tidak wajib mandi setiap hendak shalat. Dia cukup mandi satu kali saja, yaitu saat terhentinya darah haid.

Ketiga, wanita mustahadhah dianjurkan untuk sering membersihkan kemaluannya untuk mengurangi najis pada tubuhnya. Seperti yang Rasulullah sabdakan kepada Hamnah binti Jahsyi,

أَنْعَتُ لَكِ الكُرْسُفَ فَإِنَّهُ يُذْهِبُ الدَّمَّ

“Aku beritahukan kepadamu untuk menggunakan kapas, sesungguhnya kapas tersebut dapat menyerap darah.” (HR. Abu Dawud)

Keempat, wanita mustahadhah berwudhu setiap hendak mendirikan shalat. Berdasarkan pula dengan hadits Adi bin Tsabit, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi pernah berkata kepada wanita yang sedang istihadhah,

أَنَّهَا تَدَعُ الصَّلَاةَ أَيَّامَ حَيْضَتِهَا ثُمَّ تَغْتَسِلُ غُسْلًا وَاحِدًا ثُمَّ تَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةِ

“Hendaknya dia meninggalkan shalat pada hari-hari haidnya, kemudian dia mandi satu kali saja, kemudian dia berwudhu setiap ingin mendirikan shalat.” (HR. Abu Dawud)

Kelima, wanita istihadhah boleh disetubuhi oleh suaminya sekalipun mendapati darah pada dirinya. Wallahu a’lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)

 

Daftar Pustaka:

  1. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Al-Fiqhi Al-Islami, 1/126-128, Dar Al-Fikr, cet. 2005.
  2. Muhammad Az-Zuhaili, Al-Mu’tamad fi Al-Fiqhi Al-Islami, 1/115, Dar Al-Qalam, cet. 3/2011.

 

Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.

 

 

Serial Ngaji Fikih sebelumnya:
Ngaji Fikih #19: Wanita Haid Dan Nifas Dilarang Melakukan 9 Hal Ini

Topik Terkait

Arif Hidayat

Pemerhati fikih mazhab Syafi'i

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *