Gambar Menjadi Muslim Sejati di Era Disrupsi dakwah.id

Sikap Muslim Sejati di Era Disrupsi

Terakhir diperbarui pada · 24 views

Artikel ini mengulas dampak era disrupsi, bagaimana sikap seorang muslim, serta menjelaskan bagaimana ajaran Islam—iman, ilmu, hikmah, akhlak, dan ukhuwah—tetap relevan untuk menjawab tantangan zaman.

Dalam 3 tahun terakhir, secara masif masyarakat Indonesia disodorkan dengan kemudahan teknologi yang menggantikan peran manusia. Lebih tepatnya saat terjadi pandemi Covid-19. Penggunaan teknologi yang sebelumnya sebagai alternatif berubah menjadi alat utama.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan disrupsi sebagai: hal tercabut dari akarnya.

Sedangkan dalam Oxford Dictionary, disruption adalah

A situation in which it is difficult for something to continue in the normal way. (Situasi atau masa ketika sesuatu hal sulit untuk dilanjutkan secara normal.) The act of stopping something from continuing in the normal way. (Tindakan menghentikan sesuatu agar berjalan normal.)

Jika dikaitkan dalam suatu periode atau era, era disrupsi bermakna sebagai berikut:

“Era yang ditandai dengan perubahan yang sangat cepat, disebabkan oleh inovasi dalam bidang teknologi, dan berakibat pada perubahan gaya hidup, cara pandang, serta hal-hal fundamental lainnya.”

Ada beberapa hal yang menandai perubahan era disrupsi.

Pertama, perubahan yang sangat cepat dan sulit diprediksi.

Kedua, inovasi mendalam.

Ketiga, pengaruh luas, meniscayakan adanya kompleksitas atau kerumitan hubungan antara berbagai faktor penyebab perubahan tersebut.

Keempat, resistensi dan adaptasi; ketidakjelasan dari akibat perubahan tersebut.

Era ini menyebabkan tercabutnya hal fundamental yang sebelumnya tertanam di sosial masyarakat, dan berganti dengan sesuatu yang belum pernah terpikirkan meski hal tersebut sangat tabu dan memalukan atau bisa disebut sebagai inovasi radikal. Era disrupsi memiliki tantangan dan peluang yang sangat serius. (Sri Ana Handayani, 2020, Humaniora dan Era Disrupsi Teknologi dalam Konteks Historis, E-Prosiding Seminar Nasional Pekan Chairil Anwar 1, no. 1, 19—30)

Ada beberapa contoh inovasi radikal di era disrupsi. Di bidang transportasi, calon penumpang tidak harus hadir di tempat pengemudi saat ingin memesan kendaraan atau memakai jasa. Cukup menggunakan aplikasi yang saling terhubung seperti Uber dan Grab.

Di bidang perdagangan, e-Commerce mengubah watak masyarakat menjadi lebih konsumtif dengan merombak industri ritel. Ia menawarkan layanan jual beli online. Selain itu, pembeli bisa langsung menerima barang di depan pintu rumah.

Di bidang perhotelan, masyarakat secara langsung bisa menyewakan rumah atau kamar kepada pelancong dan menciptakan pasar baru. Di bidang penerbitan dan media, media sosial mengambil alih sebagian besar pendapatan iklan produk.

Di bidang kesehatan, memungkinkan pasien memantau kesehatan mereka sendiri di aplikasi kesehatan. Di pendidikan, memungkinkan pendidikan yang lebih fleksibel dan personal (private). Disrupsi teknologi memiliki dampak yang sangat luas dan holistik dalam segala aspek kehidupan manusia. (Faisal Rahman Dongoran, Paradigma Pendidikan di Era Disrupsi Teknologi, hlm. 16—22)

Materi Khutbah Idul Fitri: Membangun Keluarga Surgawi di Era Disrupsi

Iman memiliki kedudukan penting dalam menghadapi era disrupsi. Pilihan untuk tidak beriman atau menjadi ateis adalah pilihan yang memungkinkan, tapi bukan pilihan yang baik apalagi terbaik. Karena perubahan akan terus ada setiap waktunya, dan tidak bisa diprediksi secara periodik yang pasti.

Hal yang pasti adalah Islam dengan fondasinya yang tsawabit (hal-hal prinsipiel dan fundamental yang tidak akan berubah) akan menjadi bukti eksistensi dan sekaligus bisa menjadi solusi. Akan tetapi, solusi Islam masih berupa embrional konsep yang harus “diperas” dan “dibedah” untuk menjawab setiap aspek. Karena tidak mungkin Islam dipahami secara letterlijk.

Sikap Seorang Muslim di Era Disrupsi

Berikut ini beberapa sikap yang harus dipegang oleh seorang muslim pada era disrupsi.

Pertama: Meningkatkan Iman dan Ilmu

Iman dan ilmu adalah prinsip dan nilai kebenaran. Secara garis besar, inovasi teknologi hanya bersifat luaran, bukan substansi. Manusia tanpa iman dan takwa, akan mudah terombang-ambing dalam menangkap kebenaran.

Dengan iman dan takwa, manusia akan memiliki standar baku dalam kehidupan: Tidak berstandar pada quotes,kata-kata hari ini, atau video pendek yang tersebar secara random di media sosial. Terlebih dengan mudahnya akses media sosial, memungkinkan manusia melakukan pembenaran di saat mereka dalam kebatilan.

Jika dilandasi iman dan ilmu yang benar, maka manusia memiliki prinsip yang tidak akan goyah dan berubah.

Hal ini diperintahkan Allah subhanahu wataala dalam firman-Nya,

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا

Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai,” (QS. Ali Imran: 103)

Kedua: Bijaksana dalam Segala Hal

Umat Islam bukan umat yang menerima ketertinggalan karena sikap kolot, tapi tetap mengikuti modernisasi. Hanya saja efektivitas teknologi menjadi poin prioritas seorang muslim dalam menebar kebenaran dan kebaikan.

Bijaksana di sini dimaksudkan menegakkan keadilan, kejujuran, dan tauhid (mengesakan Allah subhanahu wataala). Ini semua harus diusahakan dan dibiasakan. Bijaksana bukan sekadar penerapan kecerdasan, tapi melibatkan hati dan akal karena kebijaksanaan adalah karunia Allah.

يُؤۡتِي ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا كَثِيرٗاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

Dia (Allah) menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (darinya), kecuali ululalbab.” (QS. Al-Baqarah : 269)

Hikmah (bijaksana) menuntut tindakan, bukan sekadar ide pemikiran. Mujahid rahimahullah, seorang mufasir dari kalangan tabiin, memberikan keterangan tentang makna hikmah di ayat tersebut. Ia berkata bahwa hikmah bermakna al-ishabatu fil-qaul wal-amal (ketepatan dalam berkata dan bertindak).

Senada dengan ini, Ibnu Qutaibah rahimahullah ketika menjelaskan makna hikmah atau bijaksana, ia berkata

اَلْعِلْمُ وَالْعَمَلُ، لَا يُسَمَّى الرَّجُلُ حَكِيمًا إِلَّا إِذَا جَمَعَهُمَا.

Ilmu dan amal. Seseorang tidak dikatakan bijaksana jika tidak menggabungkan keduanya.” (Ibnu al-Jauzi, Zād al-Muyyasar fī al-Ilmi at-Tafsīr, hlm. 266)

Ketiga: Menjunjung tinggi akhlak karimah (akhlak yang mulia) dengan fondasi rasa malu

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mengingatkan dalam hadits,

إِنَّ مِمَّا أّدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ، فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ.

Sesungguhnya di antara hal yang diketahui manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah, jika engkau tidak malu maka lakukan sesukamu.” (HR. Al- Bukhari no. 6120)

Rasa malu sangat penting peranannya sebagai kontrol sosial. Perasaan malu akan berfungsi baik saat interaksi sosial berlaku secara tatap muka. Ketika hubungan sosial menjelma dalam jaringan (online) maka akan meminimalkan perasaan malu. (Ahmad Saifuddin, Psikologi Siber: Memahami Interaksi dan Perilaku Manusia dalam Dunia Digital, hlm. 133)

Baca juga: Jahiliyah Sebagai Sebuah Kondisi dan Sifat, Tidak Terbatas Pada Identitas Zaman dan Waktu

Pada era disrupsi, sangat memungkinkan seseorang menjadi manusia yang individualis. Karena bermodalkan teknologi, ia bisa memenuhi sebagian besar kebutuhan primernya tanpa bantuan orang lain sehingga berkurang waktu bertatap mukanya dengan teman dan tetangga. Selain itu, perasaan malunya melakukan kesalahan atau hal tabu berangsur hilang.

Contoh paling nyata adalah judi. Judi offline sepi peminat sedangkan judi online meningkat tajam peminatnya. Hal ini dikarenakan perasaan malu saat melakukan kesalahan. Ruang privasi judi online lebih terjaga daripada judi offline.

Kerusakan sosial adalah ketiadaan rasa malu saat melakukan kesalahan. Tidak lagi mengedepankan tenggang rasa saat menuntut haknya atas orang lain.

Malu merupakan integritas moral. Dengan rasa malu, secara signifikan akan membentuk watak sosial yang positif karena ia berperan sebagai filter dan pengatur perilaku. Tanpa rasa malu, manusia akan dikuasai hawa nafsunya yang cenderung merusak dan menyimpang. (Agus Rianto, Sosiologi: Suatu Pengenalan Ringkas, hlm. 61)

Hadits riwayat al- Bukhari, no. 6120, di atas menunjukkan ajaran Islam menjadi fungsi kontrol dalam masyarakat.

Keempat: Saling Menasihati dalam Kebenaran dan Kesabaran

Islam meniscayakan ukhuwah. Bukti paling kongkretnya ialah, bersatunya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara melawan penjajah tanpa memandang suku.

Ukhuwah islamiyah bukan komunitas yang merujuk pada keuntungan materi semata. Ukhuwah islamiyah bernilai dari dua hal. Pertama, saling menasihati untuk tetap dalam kebenaran; kedua, saling menasihati untuk bersabar dari rintangan serta cobaan di jalan kebenaran tersebut.

Ukhuwah akan tetap terjaga nilainya dengan saling menasihati. Karena komunitas tanpa saling menasihati akan mewujud kerusakan. Aturan yang ada akan mengekor tingkah laku manusianya yang cenderung salah dan mengikuti hawa nafsu. Nasihat bukan hanya tertuju pada kesalahan, tapi juga untuk keberhasilan yang kontinu agar tidak terjerumus sebagai pribadi antikritik dan narsistik.

Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatthab radhiyallahu anhu saat beliau mencopot Khalid bin Walid radhiyallahu anhu dari jabatan sebagai komandan utama kaum muslimin. Alasan utama Umar mencopot Khalid adalah karena takut kaum muslimin terlena dengan kehebatan Khalid dan akhirnya meyakini kalau kemenangan akan diraih jika peperangan dipimpin oleh Khalid bin Walid. Pencopotan ini bukan karena adanya ketegangan antara keduanya, riwayat yang mengungkapkan hal ini adalah riwayat palsu. (Nadir Muhammad Ismail, Saifullah al-Maslūl Khālid bin Wālid: Sīratuhu al-Syakhṣiyyah wa Funūnuhu al-ʻAskariyyah, hlm. 170)

Berbalik dengan hal itu, saat manusia selalu mendapatkan pujian dari setiap tindakan dan karyanya, maka akan berpotensi menjadi salah satu sebab pribadi yang narsistik. Dalam konteks komunitas (ukhuwah), narsistik akan mengarah kepada rusaknya hubungan sosial: lahirnya iri dan dengki, kejumudan, komunitas tidak berkembang dan bertumbuh.

فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Maka, tetaplah (di jalan yang benar), sebagaimana engkau (Nabi Muhammad) telah diperintahkan. Begitu pula orang yang bertobat bersamamu. Janganlah kamu melampaui batas! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud: 112)

Dinukil dalam kitab at-Taisīr fi at-Tafsīr, Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma memberikan keterangan bahwa ayat ini sangat berat dan keras sehingga membuat Nabi beruban. Keterangan ini dikuatkan oleh hadits, saat para sahabat Nabi menanyakan perihal Nabi beruban lebih cepat, beliau menjawab,

شَيَّـبَتْنِي هُودٌ وَالْوَاقِعَةُ وَأَخَوَاتُـهُمَا.

Telah membuatku beruban Surat Hud, Surat al-Waqiah, dan saudara keduanya.” (Hadits hasan riwayat at-Tirmidzi)

Yang dimaksud saudara dari kedua surat tersebut ialah Surat al-Mursalāt, an-Naba`, dan at-Takwīr. (Umar bin Muhammad an-Nasafi, at-Taisīr fī at-Tafsīr, hlm. 279)

Khutbah Jumat Singkat: Keutamaan Sahabat Shalih

Al-Quran Surat Hud: 112 merupakan larangan untuk berlebihan dan melampaui batas meski secara sadar dan yakin berada di atas kebenaran, serta sadar jika telah melakukan kesalahan dan bertobat. Karena dua hal tersebut bisa menjadi motif untuk bersikap narsistik dalam sosial.

Umar bin Khatthab berkata, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Baghawi, bahwa ayat ini berisi perintah agar tetap istiqamah dan tidak berlaku culas, curang, serta licik seperti rubah dalam beriman. Selain itu, berisi larangan untuk tidak melampaui batas dengan menambah hal-hal yang diperintahkan dan yang dilarang. (Al-Baghawi, Maālim al-Tanzīl fi al-Tafsīr al-Quran, 4/203)

Hal yang sering terjadi adalah pada merasa sadar akan kesalahan dengan kesadaran diri sendiri, lalu ia bertobat. Setelah itu, merasa dirinya mampu secara mandiri dalam mengontrol diri sendiri sehingga akan abai terhadap orang lain.

Hal ini bisa membentuk kepribadian narsistik, selalu memandang dirinya memiliki kelebihan dan keunikan secara ekstrem. Sehingga, memunculkan halusinasi dalam pikiran bahwa mereka memiliki keberhasilan yang disebabkan oleh kelebihan dan keunikan mereka. (Otto F. Kenrberg, Borderline Conditions and Panthological Narcissism, hlm. 227—228)

Al-Quran Surat Hud: 112 adalah perintah untuk istiqamah dalam mentauhidkan Allah subhanahu wataala (tauhid rububiyyah ataupun uluhiyah) dan tidak berbuat melampaui batas. Dalam hal ini, agar tidak seperti orang Yahudi dan Nasrani, yang keduanya melampaui batas dan narsistik secara ekstrem dalam beragama. Ini sesuai yang diungkapkan dalam diri para pemuka agama Yahudi dan Nasrani di beberapa ayat.

Pertama, ayat yang menunjukkan bahwa mereka dipenuhi fantasi dan angan-angan tentang kebenaran, keberhasilan, dan kesuksesan bahkan hingga di masa depan.

وَقَالُوْا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ اِلَّآ اَيَّامًا مَّعْدُوْدَةًۗ قُلْ اَتَّخَذْتُمْ عِنْدَ اللّٰهِ عَهْدًا فَلَنْ يُّخْلِفَ اللّٰهُ عَهْدَهٗٓ اَمْ تَقُوْلُوْنَ عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Mereka berkata, ‘Neraka tidak akan menyentuh kami, kecuali beberapa hari saja.’ Katakanlah,‘ Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan mengingkari janji-Nya ataukah kamu berkata tentang Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui?’” (QS. Al-Baqarah: 80)

Ayat kedua, orang Yahudi menganggap mereka adalah manusia suci. Hal ini tertera di ayat,

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يُزَكُّوْنَ اَنْفُسَهُمْۗ بَلِ اللّٰهُ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاۤءُ وَلَا يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.” (QS. An-Nisa`: 49)

Dalam Tafsir ath-Thabari disebutkan bahwa orang Yahudi menganggap suci diri mereka. Bahkan mereka berkata dalam ayat lain,

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصٰرٰى نَحْنُ اَبْنٰۤؤُ اللّٰهِ وَاَحِبَّاۤؤُهٗۗ 

Orang Yahudi dan orang Nasrani berkata,‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.’” (QS. Al-Maidah: 18) (Ath-Ṭhabari, Jāmi al-Bayān an Tawīl  Āyi al-Qur-ān, 7/124)

Ayat ketiga, orang Yahudi dan Nasrani memaksakan kebenaran mereka dan tidak menghendaki kebenaran yang lebih komprehensif. Seperti penolakan mereka terhadap Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan ajaran Islam, dan memaksanya untuk masuk ke dalam ajaran mereka dan menjadi bagian dari mereka. Dalam pergaulan, mereka terlalu eksploitatif.

Narsisisme mereka juga tertulis dalam al-Quran,

وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْۗ قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰىۗ وَلَىِٕنِ اتَّبَعْتَ اَهْوَاۤءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيْ جَاۤءَكَ مِنَ الْعِلْمِۙ مَا لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah,‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).’ Sungguh, jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah.” (QS. Al-Baqarah: 120)

Kritik yang baik dan konstruktif adalah wujud dari nasehat dan kepedulian. Dengan kritik, manusia sudah berhasil maju satu langkah; ia mengetahui kesalahannya. Langkah kedua, tinggal bagaimana mencari solusi dan bagaimana memperbaikinya. Mengkritik tidak bermakna harus memberikan solusi, karena menunjukkan kesalahan adalah satu kemajuan.

Penyampaian kritik tak lepas dari peran penting bahasa. Penyampaian kritik dapat lebih efektif jika cara penyampaiannya menggunakan bahasa santai, lugas, ataupun sindiran. (Abdullah Faqih dkk., Merayakan Keberagaman Berbahasa, hlm. 73)

Kritik bukanlah kekerasan. Kita tetap harus memperhatikan prinsip akademik yang ilmiah dan berdasarkan etika normatif. Mengkritik bukan berarti menjatuhkan, menyerang personal, atau mempermalukan.

Era disrupsi memiliki kelebihan dan kekurangan sekaligus. Memberi peluang untuk inovasi, tapi juga tantangan yang bisa menyebabkan kerusakan moral dalam sosial, agama, dan budaya. Perubahan yang ekstrem karena teknologi menjadi sebab tercabutnya hal-hal fundamental yang baik. Tergerusnya nilai secara perlahan karena dibalut oleh perubahan.

Tantangan zaman sekarang bisa menjadi bukti bahwa ajaran Islam tetap relevan. Ajaran-ajaran dari wahyu perlu dipelajari dan dipahami secara mendalam, agar bisa menjawab berbagai masalah kehidupan, termasuk tantangan di era disrupsi ini. (Syahid Ridwanullah/dakwah.id)

Baca juga artikel Makalah atau artikel menarik lainnya karya Syahid Ridwanullah.

Baca juga artikel Makalah terbaru:

Topik Terkait

Syahid Ridwanullah

Nama asli Eko Muji Rahayu, S.Pd. Mahasiswa pascasarjana UNIDA Gontor. Alumnus progam kaderisasi ulama gontor angkatan XII dan XIII. Pernah mengikuti Asian Africa Conference, Ushul Fikih International Conference, ICRIIM (konferensi isu-isu kontemporer keagamaan Indo dan Malaysia). Sangat antusias dengan displin ilmu Akidah, Filsafat Islam, dan Isu Islam kontemporer.

Discover more from Dakwah.ID

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading