serial ngaji fikih 44 tempat buang hajat dakwah.id

Ngaji Fikih #44: Tempat Buang Hajat Tidak Boleh Sembarangan

Terakhir diperbarui pada · 143 views

Pada serial sebelumnya, dakwah.id telah mengupas Menjauh dari Keramaian Saat Buang hajat. Kali ini, pembahasan serial Ngaji Fikih selanjutnya adalah Tempat Buang Hajat Tidak Boleh Sembarangan.

Seri adab buang hajat disarikan dari kitab al-Bayan wa at-Ta’rif bi Ma’ani wa Masa’ili wa Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, karya Syaikh Ahmad Yunus an-Nishf, dengan perubahan dan tambahan.

Untuk membaca serial Ngaji Fikih secara lengkap, silakan klik tautan berikut:

Buang hajat tidak boleh dilakukan di sembarang tempat yang dapat mengganggu orang lain. Misalnya, buang hajat di tempat orang-orang biasa menggunakannya untuk berkumpul karena hal ini akan mengganggu orang lain.

Larangan ini berlaku untuk semua tempat umum yang dipakai. Ulama mazhab Syafii menyebutkan beberapa contoh tempat yang tidak boleh digunakan sebagai tempat buang hajat.

Berikut beberapa tempat yang tidak boleh digunakan untuk buang hajat dalam mazhab Syafii.

Pertama: Jalan Bukan Tempat Buang Hajat

Semua jalan yang biasa digunakan untuk berlalu lalang tidak boleh digunakan untuk buang hajat. Baik jalan di wilayah banyak penduduknya, jalan di hutan belantara, bahkan jalan di padang pasir sekalipun.

Begitu menyadari itu adalah jalan tempat lalu lalang maka tidak boleh buang hajat di tempat tersebut.

Dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ قَالُوا وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ

Takutlah kalian terhadap perihal dua orang yang terlaknat.”Para sahabat bertanya,“Wahai Rasulullah, siapa dua orang yang terlaknat itu?”Beliau menjawab:“Orang yang buang hajat di jalan manusia atau di tempat berteduhnya mereka.” (HR. Muslim No. 397)

Dalam hadits lain, Mu‘adz bin Jabal radhiyallahu anhu mengatakan Rasulullah bersabda:

اتَّقُوا الْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَةَ الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَالظِّلِّ

Takutlah kalian terhadap tiga hal yang terlaknat; buang air besar di sumber air, tengah jalanan, dan tempat berteduh.” (HR. Abu Dawud No. 24)

Bagaimana dengan buang hajat di jalan yang sudah tidak dipakai? Boleh, akan tetapi yang lebih utama adalah mencari tempat lain selain jalan tersebut.

Kedua: Tempat Perteduhan atau Peristirahatan Tidak Boleh Dijadikan Sebagai Tempat Buang Hajat

Tempat umum apa saja yang biasa digunakan untuk berteduh dan beristirahat, baik di musim panas, musim hujan, maupun musim dingin maka tidak boleh menggunakannya untuk buang hajat, kecuali di sana telah disediakan tempat khusus untuk buang hajat.

Buang hajat di tempat yang biasa digunakan untuk berkumpul hukumnya makruh jika perkumpulannya mubah, jika perkumpulannya haram maka sebagian mazhab Syafii membolehkan buang hajat di tempat tersebut.

Ketiga: Bawah Pohon yang Berbuah Juga Bukan Tempat Buang Hajat

Ketiga adalah tidak boleh buang hajat di bawah pohon yang berbuah. Dikhawatirkan akan mengotori buah yang jatuh dari pohonnya dan membuat orang yang akan memakannya merasa jijik.

Larangan ini berlaku baik saat pohon sedang berbuah maupun sedang tidak berbuah. Jika merasa yakin akan turun hujan atau ada air yang membersihkan kotoran sebelum buah jatuh dari pohon, maka hukumnya tidak makruh.

Artikel Fikih: Buah Jatuh di Jalan Umum, Bagaimana Hukum Mengambil dan Memakannya?

Larangan ini hanya berlaku pada pohon yang buahnya dapat dimakan atau dimanfaatkan, tidak berlaku pada buah yang tidak dimakan atau tidak dimanfaatkan.

Larangan ini juga hanya berlaku pada tanah yang mubah, seperti tanah di hutan belantara, atau tanah hak miliknya sendiri. Sedangkan buang hajat di bawah pohon berbuah yang tumbuh di tanah milik orang lain maka hukumnya haram menurut mazhab Syafii, kecuali sudah mendapat izin dari pemiliknya. Wallahu alam. (Arif Hidayat/dakwah.id)

(Disarikan dari kitab al-Bayan wa at-Tarif bi Maani wa Masaili wa Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, Syaikh Ahmad Yunus an-Nishf, hal. 87–88, cet. 2/2014 M, Kuwait: Dar Adh-Dhiya’, dengan perubahan dan tambahan)

Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.

Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith

Artikel Ngaji Fikih Terbaru:

Topik Terkait

Arif Hidayat

Pemerhati fikih mazhab Syafi'i

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *