Wafatnya Sultan Al-Fatih dan Bahaya Interpretasi Orientalisme dakwah.id

Wafatnya Sultan Al-Fatih dan Bahaya Interpretasi Orientalisme

Terakhir diperbarui pada · 1,262 views

Pada tahun 1953, seorang Profesor, Orientalis tersohor asal Jerman, Franz Babinger menulis buku fenomenal (yang sampai sekarang masih menjadi rujukan sejarah Islam) berjudul “Mehmed Der Eroberer und seine Zeit” (Sultan Muhammad al-Fatih dan Zamannya).

Tulisan tersebut dapat Anda baca secara online DI SINI.

Dalam karyanya itu, Babinger mengatakan bahwa Sultan Muhammad al-Fatih meninggal karena meminum racun yang dibawakan oleh salah satu dokternya yang Yahudi bernama Yakub Paşa.

Prof. Dr. Muhammad Harb, seorang Profesor Sejarah Khilafah Utsmaniyyah asal Mesir yang sekarang menetap di Turki sejak 1973 dan menjadi Profesor Sejarah Utsmaniyyah di Sabahattin Zaim Univ (IZÜ) Istanbul membantah syubhat halus yang dibawakan oleh orientalis Babinger tadi.

Bantahan ini dapat dibaca di buku beliau yang berjudul Al-Ustmaniyyun fi at-Tarikh wa al-Hadharah terbitan Markaz al-Mishri li ad-Dirasat al-Utsmaniyah wa Buhuts al-‘Alam at-Turki.

Buku ini dapat Anda unduh dalam format PDF DI SINI.

Muhammad Harb memperkirakan bahwa pernyataan Babinger soal sultan Fatih wafat karena diracun itu adalah buah dari kesalahan terjemah Babinger terhadap kalimat berbahasa Turki Osmanlıca (bahasa arab pegon Turki Utsmani) di literatur sejarah primer khilafah Utsmaniyyah berjudul “Tevārih Āl-i Osmān” (The Chronicles of The House of Osman) karya Sejarawan Resmi Utsmaniyyah; Aşıkpaşazade (Ejaan Indonesia: Asyiq Basya Zadah).

Entah Babinger benar-benar keliru dalam menerjemahkan atau memang sengaja menyelewengkan makna kalimat tersebut.

Artikel Sejarah: Membantah Syubhat Orientalis Tentang Keotentikan Hadits

 

Tevârîh-i_Âl-i_Osman_dakwah.id
Tampilan halaman sampul tulisan Tevârîh i Âl i Osman Karya Aşıkpaşazade

 

 

Kalimat yang dimaksud adalah;

“شراب فارغ”

Semua tenaga medis kekhilafahan yang menjadi dokter pribadi sang sultan Fatih telah bersepakat untuk memberikan obat bernama شراب فارغ (Obat untuk mengosongkan perut), yang di dalamnya juga ada seorang dokter Yahudi yaitu dokter Yakub Paşa. Dokter Yahudi inilah yang mengusulkan ide untuk memberikan obat pengosong tersebut.

Babinger secara ngawur menerjemahkan obat pengosong perut itu sebagai racun. Padahal itu adalah obat pengosong yang mengosongkan perut dari makanan yang telah masuk ke perut, alias obat yang bikin muntah.

Dalih karangan Babinger ini juga dinilai sangat lemah oleh Sejarawan Muslim, dr. Raghib as-Sirjani. Ada beberapa poin bantahan telak dari beliau soal ini.

Dr. Raghib menukil dari Prof. Akgündüz dan Prof. Yılmaz Öztuna bahwa sebenarnya pada bulan September 1480, Gedik Ahmed Paşa yang menjadi panglima militer di wilayah Otranto (Italia Selatan) pulang ke Istanbul dan mendapati sakit asam urat sultan Fatih sudah semakin parah.

Lalu, sebenarnya Yakub Paşa yang dituduh oleh Babinger itu sudah menjadi muslim dan tidak beragama Yahudi lagi. Yakub Paşa juga sudah menjadi dokter pribadi kesultanan sejak sultan al-Fatih masih kecil.

Ada juga yang menambahi takwil ngawur setelah wafatnya sultan al-Fatih. Diriwayatkan bahwa pasukan elit Inkisyariyya (Yeniçeri Ocağı) membunuh dokter Yakub Paşa.

Klaim ini lebih dusta lagi, karena tidak ada catatan sejarah Utsmaniyyah terkait hal itu. Catatan yang ada menunjukkan bahwa dokter Yakub Paşa masih tetap bertugas hingga era anak sultan al-Fatih yaitu Sultan Bayazid II.

Kembali lagi kepada Babinger tadi. Sebenarnya, Orientalis Babinger ini memiliki tujuan busuk di balik kesalahan penerjemahan itu.

Babinger menghendaki agar masyarakat internasional dan khususnya turki mengarahkan perhatiannya terhadap isu kematian sultan Fatih karena diracun ini dan mengharapkan munculnya seminar atau penelitian.

Dan diniatkan dari situ akan terjadi penggalian arkeologi terhadap kubur Sultan Fatih di komplek masjid Fatih yang juga dibangun di atas bekas pekuburan Byzantium.

Hingga akhirnya Babinger menginginkan agar komplek masjid Sultan Fatih berubah menjadi situs arkeologi sejarah dan ditutup untuk kegiatan beribadah umat Islam.

Kemudian, muncul Prof. Dr. Mehmed Cenab Şehabeddin Tekindağ yang memahami betul arah pikir kotor makar orientalis Franz Babinger tersebut.

Saat isu-isu mulai menyebar di berbagai media cetak, seperti koran, majalah dan seminar-seminar kebudayaan, Prof. Tekindağ merilis sebuah tulisan ilmiah 8 halaman berjudul “Fetih’in Ölümü Meselesi” (Masalah Wafatnya Sultan al-Fatih).

Tulisan tersebut dapat Anda unduh dalam format PDF di sini: Fetih’in Ölümü Meselesi

Dalam tulisan ilmiah berbahasa turki tersebut, Prof. Tekindağ menjelaskan bahwa Babinger menyandarkan isu diracunnya sultan al-Fatih itu kepada sejarawan utsmani; Aşıkpaşazade (sejarawan resmi kekhilafahan utsmaniyyah yang hijrah ke Konstantinople 81 tahun pasca penaklukkan 1453).

Prof. Tekindağ menyatakan bahwa semua sejarawan yang hidup pada masa sultan al-Fatih baik itu sejarawan Turki Utsmani, atau sejarawan asing telah sepakat soal penyebab kematian sultan Fatih.

Artikel Sejarah: Kemunduran Turki Utsmani Dipicu Oleh Beberapa Faktor Ini

Penyebab wafat beliau adalah puncak dari penyakit “al-Niqras” (gout/gouty arthritis; asam urat) dan itu adalah penyakit yang banyak merenggut nyawa para sultan Utsmaniyyah. Sultan terakhir yang wafat karena penyakit ini adalah Sultan Abdul Hamid II.

Prof. Tekindağ juga memaparkan panjang lebar terkait kesalahan penerjemahan Babinger terhadap literatur Aşıkpaşazade secara linguistik dan historis.

Prof. Tekindağ rahimahullah telah berhasil mematahkan secara telak fitnah Babinger, sosok orientalis dan konspirasi internasional, untuk mengubah masjid bersejarah Fatih Cami menjadi situs arkeologi yang tertutup untuk ibadah.

Sebagaimana Barat senantiasa tidak akan pernah melupakan keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi dalam mengambil kembali Masjid al-Haram al-Aqsha, begitu halnya dengan kekalahan Barat dengan jatuhnya Konstantinopel.

Hari pahit 29 Mei 1453 masih saja mereka kenang kegetirannya dan selalu mencari cara untuk membalas dendam. Hari di mana Konstantinopel berubah menjadi ibukota dunia Islam.

Begitulah bahayanya orientalis yang seringnya menghabiskan umur mempelajari berbagai manuskrip peradaban Islam selama bertahun tahun.

 

Nazharat fi Dirasati at-Tarikh al-Islami karya DR Abdurrahman Ali al HajjiNazharat fi Dirasati at-Tarikh al-Islami karya DR Abdurrahman Ali al Hajji
Kitab Nazharat fi Dirasati at-Tarikh al-Islami karya DR. Abdurrahman Ali al Hajji

 

Terkait Orientalis, dalam tulisannya yang berjudul Nazharat fi Dirasati at-Tarikh al-Islami (hal. 15), Dr. Abdurrahman Ali al-Hajji berpesan,

وَعَلَى كُلِّ حَالٍ فَإِذَا كَانَ لِزَامًا أَنْ نَشْكُرَ الْمُخْلِصِيْنَ مِنْهُمْ، فَيُمْكِنُ—تَجَوُّزًا—أَنْ نَشْكُرَ الْحَاقِدِيْنَ كَذَلِكَ، إِذْ أَنَّهُمْ نَبَّهُوْنَا إِلَى قِيْمَةٍ كَثِيْرٍ مِنْ تُرَاثِنَا حَيْثُ انْدَفَعْنَا إِلَى الْبَحْثِ عَنِ الْحَقِيْقَةِ الَّتِي تَتَحَطَّمَ أَمَامَ مُفْتَرِيَاتِهِمْ. وَهَكَذَا فَأَمْرُ الصِّنْفَيْنِ مِنَ الْمُسْتَشْرِقِيْنَ وَطَرِيْقَتِهِمَا تَكُوْنَانِ خَيْرًا لَنَا إِنْ أَحَسَنَّا الْاِنْتِفَاعَ.

Bagaimana pun, jika seharusnya kita berterima kasih kepada orientalis yang jujur, maka sebenarnya kita juga perlu berterima kasih sekedarnya kepada orientalis yang jahat juga. Sebab, mereka telah menyadarkan kita betapa besarnya nilai literatur sejarah peradaban Islam. Tindakan mereka telah memaksa kita melakukan penelitian untuk menemukan hakikat kebenaran atas distorsi sejarah yang mereka lakukan. Demikianlah, eksistensi dua golongan orientalis tersebut (orientalis jujur dan orientalis jahat) bisa jadi bermanfaat bagi kita jika kita bisa dengan baik memanfaatkan mereka.” Wallahu a’lam (Akbar Fachreza/dakwah.id)

 

Referensi:

Prof. Dr Muhammad Harb, Al-Utsmaniyyun fit Tarikh wal-Hadharah
Dr Abdurrahman Ali al Hajji, Nazharat fi Dirasat at Tarikh al-Islami
Jurnal Prof. M. C. Şehabeddin Tekindağ, Fetih’in Ölümü Meselesi (The Question of Fetih’s Death)
Prof. dr Raghib as Sirjani, Haqiqatu Wafatis Sulthan Muhammad al-Fatih
Britannica Encyclopedia
Anadolu Agency
TDV Islam Ansiklopedisi

Topik Terkait

Akbar Fachreza

Moslem Scholar, Syariah Council of Baitul Hikmah Kendal, Historian, Traveller, Pemerhati sejarah Otsmani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *