Goresan Api Fitnah dalam Lembaran Sejarah Islam Rapung Samudin Penerbit Taujih-dakwah.id

Goresan Api Fitnah dalam Lembaran Sejarah Islam

Terakhir diperbarui pada · 3,261 views

Goresan Api Fitnah dalam Lembaran Sejarah Islam

 

Merupakan sunnatullah, kehidupan suatu bangsa dan generasi akan terus berputar bagaikan roda. Itulah mengapa disebut dengan istilah roda kehidupan. Satu masa berada di atas dan pada masa yang lain akan berganti ke bawah. Terus menerus, silih berganti hingga jelang hari Kiamat kelak.

Demikian pula yang terjadi pada lembaran sejarah Islam. Berbagai bentangan episode dan fase kehidupan telah dilewati. Mulai dari fase penuh siksaan dan cobaan, fase kejayaan, kemunduran, lalu ketertindasan, hingga kelak kembali pada fase kejayaan, sebagaimana diwartakan Rasulullah dalam banyak haditsnya.

 

Lahirnya Api Fitnah dalam Lembaran Sejarah Islam

Sejarah Islam mencatat, fase paling memilukan yang dilalui umat ini yang kemudian menjadi pijakan lahirnya beragam fitnah dan kerusakan adalah masa setelah wafatnya khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Lebih spesifik lagi pasca wafatnya khalifah Utsman.

Peristiwa tersebut merupakan tragedi luar biasa yang menimpa umat Islam. Sebab tragedi itu menjadi sebab perselisihan, fitnah keji, dan berakhir pada pertumpahan darah.

Kendati sebelum masa Umar—tepatnya pasca wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam—gerakan fitnah telah mulai menggeliat. Golongan munafik, Nasrani, dan Yahudi, serta mereka yang lemah iman dari suku-suku Arab pedalaman telah berencana membuat makar kepada Islam dan kaum Muslimin.

Baca juga: Kemunduran Turki Utsmani Dipicu Oleh Beberapa Faktor Ini

Berkat usaha dan kerja keras khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dibantu oleh para pemuka sahabat yang mulia, seperti Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Az-Zubair bin Al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan selain mereka radhiyallahu ‘anhum, fitnah tersebut berhasil diredam. Taring-taring fitnah yang mencoba menodai kesucian sejarah Islam saat itu, seketika berhasil dipatahkan.

Berbeda dengan fitnah-fitnah yang terjadi pasca terbunuhnya khalifah Umar bin Al-Khattab. Sebagai benteng umat dari sergapan fitnah, sebagai mana tercatat dalam sejarah Islam, Umar bin Al-Khattab adalah sosok pribadi yang tegas dan tidak memberi toleransi terhadap segala hal yang berpotensi melahirkan bibit-bibit fitnah. Maka pasca beliau dibunuh, benteng itu pun otomatis hancur. Sosok yang begitu tegas menjaga umat dari fitnah telah tiada.

Olehnya, kendati para sahabat yang mulia masih banyak hidup saat Utsman bin Affan memegang tampuk kekhalifahan, namun gerakan fitnah yang begitu terorganisir dan masif menjadikan orang-orang bijak di kalangan mereka tidak bisa berbuat banyak. Dan puncak fitnah pasca wafatnya Umar tersebut adalah peristiwa pembunuhan khalifah ketiga, Utsman bin Affan yang didalangi Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi melalui gerakan Sabaiyyahnya.

Baca juga: Negeri Syam: Negeri Diberkahi Hingga Akhir Zaman yang Pernah Dikabarkan Oleh Rasulullah

Dari sinilah babak baru beragam fitnah yang teroganisir kembali mewarnai wajah sejarah Islam.

Perang Jamal antara pasukan khalifah Ali bin Abi Thalib dengan rombongan “Jamal” di bawah komando Thalhah bin Ubaidillah dan Az-Zubair bin Al-Awwam yang diikuti Ummu Al-Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Kemudian perang Shiffin antara pasukan Ali dengan pasukan Syam di bawah pimpinan Mu’awiyah. Kemudian perang Nahrawan menumpas kelompok Khawarij.

Disusul pembunuhan Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu Muljam, pembunuhan Al-Husain di Karbala, pemberontakan penduduk Madinah di Al-Harrah, dan sebagainya.

Semua itu merupakan rentetan peristiwa berdarah memilukan dala m sejarah perjalanan umat Islam yang tidak lepas dari makar tangan-tangan kotor.

Sejarah Islam Api Fitnah-dakwah.id
Ilustrasi: Lokasi Karbala/Google Maps

 

Dibutuhkan Pijakan yang Benar dalam Menyikapi Kobaran Api Fitnah yang Terserak Sepanjang Sejarah Islam

Membaca dan mengkaji sejarah Islam pada bab sahabat Nabi, terutama peristiwa-peristiwa terkait fitnah, butuh rambu-rambu dan pedoman.

Sebab, mengkajinya tanpa petunjuk memunculkan kekhawatiran: pembaca sejarah Islam terjatuh pada kesalahan penilaian atau terjebak dalam stigma negatif yang berujung pada penghinaan terhadap sahabat yang mulia.

Di samping itu, dalam membaca sejarah sahabat tidak hanya membutuhkan keluasan dan kedalaman kemampuan telaah. Lebih dari itu, membaca sejarah sahabat butuh pijakan pemikiran yang lurus, hati yang bersih, serta iman yang benar terhadap kemuliaan sahabat Nabi. Utamanya pada peristiwa-peristiwa fitnah ini.

Tanpa kompetensi tersebut, mustahil seorang pembaca sejarah Islam menemukan hikmah dan benang merah duduk perkara antara fenomena fitnah yang terjadi dengan fakta keutamaan mereka yang begitu mulia dalam kaca mata syariat.

Pembaca sejarah Islam juga akan kesulitan dalam mengungkap akar penyebab kobaran api fitnah, sikap para sahabat terhadap api fitnah tersebut, dan argumentasi logis sosio-historis dari peristiwa tersebut, tanpa harus mencederai predikat ‘adalah pada diri mereka.

 

 

Api Fitnah di Permulaan Sejarah Islam Sama Sekali Tidak Memengaruhi Kredibilitas Sahabat

Harus dipahami dengan seyakin-yakinnya bahwa fitnah yang terjadi di kalangan sahabat, sedikit pun tidak memengaruhi predikat ‘adalah mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa argumentasi:

Pertama: Para sahabat yang terlibat fitnah termasuk dalam keumuman ayat-ayat tentang pujian dan tazkiyah bagi sahabat Nabi. Bahkan sebagian mereka merupakan sahabat yang telah mendapat kabar gembira akan masuk surga.

Mustahil Allah ‘azza wajalla memuji dan menyucikan orang-orang yang tidak berhak atasnya. Dia Mahatahu akan ciptaan-Nya. Apa yang bakal terjadi kemudian terhadap mereka, dan selainnya.

Andai para sahabat yang terlibat fitnah tidak berhak mendapat pujian dan tazkiyah dari Allah, maka sudah pasti ada ayat-ayat yang mengecualikan mereka.

Kedua: Para sahabat yang terlibat fitnah bukanlah sosok-sosok yang ma’shum (terbebas dari salah). Sementara, bebas dari salah bukan syarat bagi sifat ‘adalah itu.

Mereka telah berijtihad dalam fitnah yang dahsyat.

Oleh karena itu, mereka berada di antara dua kebaikan; mendapat satu pahala (jika salah), atau dua pahala (jika benar), sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkait seorang Mujtahid yang mengerahkan segenap kemampuannya demi mencapai sebuah kebenaran.

Ketiga: Fitnah yang terjadi di antara para sahabat secara mutlak tidak memengaruhi riwayat hadits mereka.

Sebab pada dasarnya mereka semua jujur dan amanah. Ini tidak diragukan lagi. Siapa yang menyelisihi dasar ini, wajib atasnya mendatangkan hujjah dan dalil.

Baca juga: Trend Menyebarkan Berita Dusta di Era Sosial Media

Apalagi mereka tidak sendiri dalam meriwayatkan hadits. Ada sahabat lain yang juga meriwayatkan. Mereka juga tidak meriwayatkan hadits menyelisihi riwayat sahabat lain yang tidak terlibat fitnah. Bahkan sama sekali mereka tidak meriwayatkan hadits-hadits yang mencela seteru mereka.

Api Fitnah Sejarah Islam-dakwah.id
ilustrasi: Pexels

Lebih unik lagi, para sahabat yang terlibat fitnah sebagiannya meriwayatkan hadits dari sebagian lainnya yang merupakan seteru mereka dalam fitnah tersebut. Ini menguatkan bukti bahwa mereka dapat dipercaya dalam periwayatan tersebut, serta jauh dari tuduhan berdusta sebagaimana disangkakan sebagian kelompok menyimpang.

Keempat: Bukti lain yang menguatkan bahwa para sahabat yang terlibat dalam fitnah selamat dari perbuatan dusta, mereka tidak menggunakan nash-nash nabawi untuk melegitimasi/membenarkan posisi mereka atau untuk menjatuhkan lawan seterunya.

Ini menunjukkan kejujuran mereka, jauhnya mereka dari dusta, dan penghormatan terhadap nash-nash nabawi. Bahkan mereka tidak memaksakan diri menolak riwayat yang shahih kendati zahirnya berseberangan dengan sikap dan posisi salah seorang dari mereka.

Baca juga: Trend Menyebarkan Berita Dusta di Era Sosial Media

Demikianlah beberapa sulut api fitnah awal yang harus berkobar di kalangan beberapa sahabat.

Semua itu adalah kebenaran sejarah Islam yang semestinya diungkap dan dipahamkan kepada segenap umat Islam. Meski pilu dan menyesakkan, fakta itu bukan untuk diratapi, apalagi dipungkiri.

Kebenaran cara pandang dan ketepatan bertumpu pada pijakan yang benar terhadap fitnah yang terjadi akan mencegah terjadinya distorsi. Kredibilitas terhadap para pelaku sejarah yang tersulut api fitnah juga tidak akan ternodai. Apalagi hal itu memang sudah nubuwat yang memang akan terjadi di kemudian hari. Wallahu A’lam. (dakwah.id/adaptasi dari Buku Api Fitnah, Rapung Samudin, Lc, MA, Penerbit Taujih)

 

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *