Fikih Tayamum Pengertian Syarat Tata Cara Tayamum dakwah.id

Ngaji Fikih #17: Tayamum: Pengertian, Syarat, Tata Cara

Terakhir diperbarui pada · 2,233 views

Umat Islam ini memiliki banyak keutamaan dibanding umat-umat sebelumnya. Satu di antaranya syariat tayamum yang Allah tetapkan sebagai ganti dari berwudhu. Umat-umat sebelumnya tidak pernah mendapatkan ketetapan syariat mulia ini.

Banyak hadits yang menjelaskan keutamaan umat Islam ini daripada umat-umat yang lain. Seperti hadits Hudzaifah bin Yaman, Rasulullah bersabda,

فَضَّلَنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلاَثٍ: جُعِلَتْ لَنَا الأَرْضُ مَسْجِدًا، وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُّوْرًا إِذَا لَمْ نَجِدِ المَاءَ، وَجُعِلَتْ صُفُوْفُنَا كَصُفُوْفِ المَلاَئِكَةِ

Kita diutamakan daripada umat-umat yang lain dengan tiga perkara: bumi dijadikan bagi kita sebagai masjid, debu-debunya dijadikan bagi kita sebagai alat yang menyucikan jika tidak mendapati air, dan barisan-barisan kita dinilai seperti barisan-barisan para malaikat.” (HR. Muslim)

Setiap umat Islam wajib mempelajari ilmu tentang ibadah-ibadah dharury, salah satunya adalah tentang tata cara shalat. Dan shalat tidak akan sah kecuali dikerjakan dalam keadaan suci, baik suci dari najis; dari hadats besar; atau hadats kecil.

Air menjadi alat utama untuk menyucikan diri dari najis atau hadats. Ketika tidak ada air (dan kondisi seperti ini sangat mungkin terjadi), maka untuk membersihkan diri yang berhadats cukup dilakukan dengan tayamum. Alat utama yang digunakan dalam tayamum adalah debu.

Oleh sebab itu, setiap muslim wajib belajar tentang tata cara tayamum sebelum dia melakukan tayamum itu sendiri.

Tema Ngaji Fikih dakwah.id kali ini membahas fikih tayamum, mulai dari pengertian tayamun, kapan boleh melakukan tayamum, syarat tayamum, rukun tayamum, pembatal tayamum, tata cara tayamum, dan hukum seputar tayamum.

Berikut ini penjelasan ringkas fikih tayamum dalam mazhab Syafii yang disarikan dari kitab Al-Mu’tamad fi Al-Fiqhi Asy-Syafi’i karya DR. Muhammad Az-Zuhaili.

 

Pengertian Tayamum

Tayamum adalah mengusapkan debu pada wajah dan kedua tangan sebagai ganti daripada wudhu atau mandi (besar), atau tayamum adalah mengusapkan debu pada bagian wajah dan kedua tangan, dimana semua itu dilakukan berdasarkan syarat-syarat tertentu.

 

Kapan Tayamum Mulai Disyariatkan?

Tayamum disyariatkan pada tahun ke-6 Hijiryah. Bertepatan dengan peristiwa Perang Bani Musthaliq. Ketetapan syariat Islam tentang tayamum telah dikukuhkan dalam Al-Quran, As-Sunah, serta Ijmak.

Tayamum dapat berfungsi sebagai cara bersuci ketika seseorang tidak mampu berwudhu, baik bersuci dari hadats kecil maupun hadats besar (junub dan haid).

Allah Ta’ala berfirman,

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ

Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6)

Diriwayatkan dari Ammar bin Yasir, dia berkata,

“Aku tengah dalam kondisi junub, kemudian aku menggosok-gosokkan debu (ke badanku), lalu aku ceritakan hal itu kepada Nabi. Dan Nabi bersabda,

إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ هَكَذَا وَضَرَبَ عَلَى الأَرْضِ وَمَسَحَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ

Cukup kamu lakukan seperti ini,’ kemudian beliau menepukkan tangan ke tanah dan mengusap wajah serta kedua tangannya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Sedangkan umat bersepakat bolehnya bertayamum. Tayamum adalah pengganti daripada thaharah wudhu dan mandi. Hanya saja tayamum tidak dapat menghilangkan najis, ia hanya berfungsi untuk menghilangkan hadats.

 

Kapan Boleh Melakukan Tayamum?

Seseorang boleh tayamum karena dua sebab, yaitu; ketika tidak mendapati air; dan ketika tidak mampu menggunakan air.

Berikut ini penjelasannya,

Boleh Tayamum jika Tidak Mendapati Air

Tayamum disyariatkan bagi orang yang tidak mendapati air atau tidak ada air yang dapat digunakan untuk berwudhu. Jika ada air yang dapat digunakan untuk berwudhu, maka tidak boleh melakukan tayamum.

Rasulullah bersabda,

الصَّعِيْدُ الطَيِّبُ وُضُوْءُ المُسْلِمِ مَا لَمْ يَجِدِ المَاءَ

Debu yang baik (suci) adalah alat bagi seorang muslim untuk (menggantikan) wudhu, yaitu selama dia tidak mendapati air.” (HR. Abu Dawud).

Seperti yang biasa terjadi saat perjalanan (musafir). Akan tetapi, disyaratkan safarnya bukan dalam rangka kemaksiatan, jika seseorang melakukan safar dalam rangka kemaksiatan maka dia tidak mendapatkan rukhshah bertayamum. Karena rukhshah tidak didapatkan dengan kemaksiatan.

Jika seseorang memiliki persediaan air namun hanya cukup untuk minum saja, atau jika ada sumber air namun di wilayah yang membahayakan jiwa, atau jika ada sumber air namun berada di tempat yang jauh (lebih dari satu farsakh/2,5 km), maka semua keadaan tersebut dihukumi sebagaimana tidak mendapati air. Boleh melakukan tayamum.

Dalam kondisi tidak mendapati air ini, seseorang tidak boleh bertayamum kecuali setelah ada usaha mencari keberadaan air di sekelilingnya. Jika dia tidak berusaha maka tidak boleh melakukan tayamum.

Apabila ada air yang dijual dengan harga wajar, maka seseorang yang kesulitan air tersebut wajib membelinya dan tidak boleh bertayamum, tentunya ketika dia mampu membelinya dan memiliki bekal yang cukup untuk melanjutkan perjalanannya.

Jika dia diberi air oleh orang lain, atau dipinjami alat untuk mengambil air, maka dia wajib menerimanya. Agar dia dapat berwudhu.

Jika hanya sisa air yang cukup untuk mencuci sebagian anggota wudhu, maka hendaknya dia mencuci anggota wudhu sesuai urutannya dan sisanya bertayamum.

 

Boleh Tayamum Tidak Mampu Menggunakan Air

Seperti dalam kondisi sakit, terluka, khawatir akan menambah sakit, khawatir akan memperlambat kesembuhan, atau khawatir justru akan memperburuk keadaan, dan uzur-uzur syari lain yang menunjukkan seseorang tidak mampu menggunakan air.

Dasarnya adalah hadits dari Ammar bin Yasir yang telah disebutkan di atas.

Dalam kondisi dingin yang mematikan; atau diperkirakan akan berakibat buruk pada badan, seseorang boleh melakukan tayamum.

Berdasarkan hadits Amru bin Al-‘Ash, dia mengisahkan, saat malam dingin dalam Perang Dzatu Salasil aku bermimpi basah, aku khawatir akan binasa jika memberanikan diri untuk mandi, lalu aku bertayamum dan mendirikan shalat Subuh bersama sahabatku. Peristiwa itu sampai di telinga Nabi.

Nabi bersabda,

ياَ عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ؟

Wahai Amru, apakah engkau mendirikan shalat bersama sahabatmu dan engkau sedang junub?”

Kemudian aku berkata, “Aku mendengar Allah telah berfirman (yang artinya): Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.’ (QS. An-Nisa’: 29). Dan Nabi tidak memberikan pengingkaran atasnya.” (HR. Abu Dawud)

 

Syarat Tayamum

Ada beberapa syarat tayamum yang harus diperhatikan sebaik mungkin, di antaranya adalah:

Syarat pertama, Alat yang digunakan untuk bertayamum harus berupa debu yang suci. Sebagaimana cara penggunaannya telah disebutkan dalam poin tata cara bertayamum.

Syarat kedua, Tayamum baru boleh dilakukan ketika telah tiba waktu shalat. Berlaku untuk shalat fardhu dan shalat nafilah mu’aqat (terikat dengan waktu tertentu). Tayamum adalah thaharah yang bersifat darurat, sehingga ia pun harus dilakukan tepat setelah waktu darurat, yaitu ketika telah tiba waktu shalat. Sebelum melakukan tayamum, seseorang harus mengetahui bahwa waktu shalat telah tiba, baik secara yakin maupun dzan (menduga).

Artikel Sejarah: Dzulqarnain Penguasa Dunia yang Melegenda

Syarat ketiga, Tayamum boleh dilakukan ketika seseorang tidak mendapati air dan tidak mampu menggunakan air, sebagaimana telah disinggung di atas. Seseorang yang tidak mendapati air dan juga tidak mendapati debu (yang dapat dia gunakan untuk bertayamum) maka dia tetap mendirikan shalat fardhu, hal itu sebagai bentuk pemuliaan terhadap waktu shalat. Setelah itu, dia diwajibkan untuk mengulangi shalatnya ketika telah mendapati alat untuk wudhu atau bertayamum.

Syarat keempat, Kemudian disyaratkan dalam bertayamum untuk “berusaha mendapatkan” debu, maknanya debu yang menempel kulit tangan/wajah oleh sebab hembusan angin dan kemudian diratakan maka tidak dianggap telah bertayamum.

Syarat kelima, Terakhir adalah syarat-syarat secara umum, seperti muslim, berakal, mumayyiz, dan lain sebagainya.

 

Empat Rukun Tayamum

Fardhu atau rukun Tayamum ada empat. Tidak boleh meninggalkan salah satu dari empat rukun tersebut jika ingin tayamumnya  dianggap sah.

Rukun tayamum tersebut antara lain: niat, mengusap wajah, mengusap kedua tangan, dan tertib.

Rukun Pertama: Niat

Berniat dalam hati bahwa dirinya akan melakukan tayamum. Disunahkan melafalkannya. Boleh juga berniat untuk melakukan ‘amalan’ yang membolehkan shalat, atau berniat untuk menunaikan shalat fardhu, atau berniat melakukan tayamum untuk dapat menjalankan amalan-amalan yang membutuhkan thaharah.

Tayamum yang diniatkan untuk melakukan shalat fardhu, boleh digunakan untuk melakukan shalat nafilah. Sebaliknya, tayamum yang diniatkan untuk melakukan shalat nafilah, tidak boleh digunakan untuk melakukan shalat fardhu.

Tayamum yang diniatkan untuk melakukan shalat (secara mutlak) maka tidak boleh digunakan untuk melakukan shalat fardhu. Kecuali shalat jenazah, sebab shalat jenazah hukumnya seperti shalat nafilah.

Tayamum tidak sah jika diniatkan untuk menghilangkan hadats besar, atau hadats kecil. Sebab tayamum tidak dapat mengangkat hadats. Tayamum bukan ibadah yang berdiri sendiri. Tayamum adalah ibadah yang boleh dilakukan dalam kondisi darurat. Tentu berbeda dengan wudhu. Maka dari itu, ada sunah berupa memperbarui wudhu, tetapi tidak ada sunah memperbarui tayamum.

Niat dilakukan bersamaan dengan menepukkan tangan pada debu dan mengusapkannya ke wajah. Begitu seseorang telah bertayamum maka dia boleh melakukan amalan yang boleh dilakukan setelah berwudhu. Kecuali melakukan dua shalat fardhu, seperti satu kali tayamum untuk shalat Zuhur dan Ashar sekaligus; demikian ini tidak boleh dilakukan dengan satu kali tayamum, sekalipun hal itu boleh dilakukan dengan satu kali wudhu.

Rukun Kedua: Mengusap Wajah

Caranya adalah mengusap seluruh wajah dengan debu yang ada pada kedua telapak tangan. Termasuk jenggot. Tidak cukup hanya menempelkan dua telapak tangan pada wajah saja, tetapi harus meratakan debu ke seluruh kulit wajah.

Begitulah Rasulullah mengajarkan bertayamum sebagaimana dalam hadits Ammar di atas. Bertayamum dengan dua tepukan debu. Satu tepukan untuk wajah dan tepukan yang lain untuk kedua tangan.

Rukun Ketiga: Mengusap Kedua Tangan.

Mengusap kedua tangan dilakukan setelah tepukan pada debu yang kedua. Tepukan pertama untuk wajah dan tepukan kedua untuk kedua tangan.

Berikut ini cara mengusap kedua tangan saat bertayamum:

Pertama, Menepukkan kedua tangan pada debu.

Kedua, Telapak tangan kiri diletakkan di punggung jari jemari.

Ketiga, Telapak tangan kiri mengusap punggung jari jemari, punggung lengan, sampai dengan kedua siku tangan. Saat mengusap lengan maka posisi ibu jari melingkari lengan tersebut.

Keempat, Memutar telapak tangan kiri menuju bagian bawah lengan tangan kanan. Tepatnya pada siku bagian bawah. Kemudian mengusap lengan tangan kanan bagian bawah sampai pergelangan tangan kanan.

Kelima, Setelah telapak tangan kiri sampai pada pergelangan tangan kanan, maka telapak tangan kanan meraih punggung jari jemari tangan kiri.

Keenam, Telapak tangan kanan melakukan pengusapan pada tangan kiri sebagaimana di atas.

Ketujuh, Setelah telapak tangan kanan sampai pada pergelangan tangan kiri, langkah selanjutnya adalah menjadikan jari jemari tangan bersilang tepuk. Mengusap sela-sela jari dan memastikan seluruh kulit terusap.

Diriwayatkan dari Aslam bin Syarik At-Tamimi—dia adalah pelayan Rasulullah, dia pernah menemani Rasulullah dalam sebuah perjalanan.

Aslam berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah, ‘Aku telah junub.”

Kemudian turunlah ayah tentang tayamum.

Ngaji Fikih #6 Cara Membasuh Tangan yang Buntung Saat Wudhu

Lalu Rasulullah bersabda, ‘Cukup lakukan seperti ini.’

Beliau memukulkan dua telapak tangan ke tanah, lalu mengusap wajah dengan dua telapak tangannya, mengusap jenggotnya, dan kembali menepukkan dua telapak tangan pada tanah, kemudian meratakan debu dengan satu tangan untuk tangan yang lain; begitu sebaliknya, mengusap seluruh bagian tangan dari jari sampai siku.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (1/179), disebutkan sebagai hadits yang dha’if.

Akan tetapi, Al-Baihaqi (1/207) juga meriwayatkan dari jalur dan dengan lafal yang lain, maka dari itu hadits ini boleh diamalkan. (Al-Mu’tamad, 1/104)

Wajib melepas cincin pada tepukkan telapak tangan yang ke dua. Tujuannya untuk memastikan bahwa semua kulit benar-benar terusap.

Rukun Keempat: Berurutan

Rukun yang terakhir adalah melakukan semua rukun di atas secara berurutan. Yaitu niat dan mengusap wajah terlebih dahulu, kemudian setelah itu mengusap kedua tangan.

Alasannya karena tayamum adalah ganti dari wudhu yang wajib dilakukan dengan berurutan, sehingga itu pun berlaku pada penggantinya, yaitu tayamum.

 

Empat Pembatal Tayamum

Berikut ini beberapa pembatal tayamum. Jika salah satunya terjadi atau dilakukan oleh orang yang bertayamum, maka tayamumnya batal, kemudian wajib berwudhu jika memungkinkan, atau mengulangi tayamumnya.

Pertama, segala hal yang membatalkan wudhu.

Segala hal yang membatalkan wudhu juga menjadi pembatal tayamum. Yaitu seperti keluarnya sesuatu dari kemaluan dan dubur, tidur, hilang akal, menyentuh wanita, dan menyentuh kemaluan.

Kedua, mendapati air.

Orang yang bertayamum lantaran karena tidak mendapati air, jika kemudian dia mendapati air maka tayamumnya batal. Sebagaimana telah dijelaskan pada poin ke-4 dalam hukum-hukum seputar tayamum.

Ketiga, hilangnya sebab yang menghalangi seseorang menggunakan air.

Sebab yang membolehkan seseorang bertayamum adalah ketika tidak mendapati air atau ketika tidak mampu menggunakan air untuk berwudhu. Jika penghalang dan sebab tersebut sudah tidak ada maka batallah tayamum yang dilakukannya.

Keempat, murtad (keluar dari agama Islam).

Jika seseorang murtad, atau keluar dari Islam, maka tayamum yang dia lakukan batal. Jika dia masuk kembali pada agama Islam, dia wajib melakukan tayamum kembali; yaitu ketika ada sebab-sebanya.

Tayamum dilakukan untuk membolehkan seseorang mengerjakan shalat dan ibadah sejenisnya, pembolehan tersebut secara langsung akan hilang dengan adanya kemurtadan.

 

Sunah-Sunah Tayamum

Sunah-sunah tayamum sangat banyak, di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, Apa yang disunah dalam berwudhu juga disunahkan dalam tayamum. Misalnya, mengawalinya dengan membaca basmalah, mengusap wajah bagian atas terlebih dahulu, mengusap tangan yang kanan dahulu, berkesinambungan dalam usapan, membaca doa sebelum dan sesudahnya, dan lain sebagainya.

Kedua, Disunahkan untuk merenggangkan jari-jemari saat menepukkannya ke tanah, agar debu menempel ke seluruh jari-jemari.

Ketiga, Disunahkan untuk tidak menepuk tanah lebih dari dua kali. Pertama untuk wajah dan kedua untuk kedua tangan.

Keempat, Disunahkan untuk tidak mengulangi usapan, baik pada wajah maupun pada kedua tangan. Sebab media yang digunakan dalam tayamum berbeda dengan wudhu.

Kelima, Menipiskan debu. Dapat dilakukan dengan cara mengibas-ngibaskan telapak tangan setelah menepukkannya pada tanah atau meniupnya.

Keenam, Tetap menempelkan telapak tangan pada anggota tayamum sampai benar-benar terusap dan tidak mengangkatnya jika belum terusap seluruhnya.

 

Tata Cara Tayamum

Tayamum tidak boleh dilakukan kecuali menggunakan debu. Boleh menggunakan debu yang sedikit tercampur dengan kerikil.

Tayamum tidak boleh dilakukan kecuali menggunakan debu yang sekiranya debu-debu tersebut dapat menempel di bagian tubuh yang akan diusap, yaitu debu yang halus.

Tidak boleh bertayamum dengan tanah basah, atau dengan debu yang tidak dapat menempel pada bagian tubuh.

Tidak boleh bertayamum menggunakan debu yang telah dicampur dengan tepung, sekalipun hal itu dapat membantu melekatkan pada bagian tubuh.

Debu yang digunakan untuk bertayamum pun harus dari debu yang suci, tidak boleh debu yang diketahui terkena najis. Sebab tayamum adalah salah satu bentuk thaharah, dan thaharah tidak boleh dilakukan dengan benda najis sebagaimana halnya berwudhu.

Boleh bertayamum dengan segala jenis dan warna tanah, baik tanah yang berwarna merah, hitam, atau cokelat.

Sekelompok orang boleh bertayamum (menepukkan kedua tangan) pada satu tempat, sebagaimana boleh menepukkan kedua tangan untuk mencari debu yang menempel pada pakaian, dinding, kaca, dan lain sebagainya.

Gambaran tayamum secara global adalah sebagai berikut:

  1. Menepukkan kedua tangan ke tanah.
  2. Mengusapkannya ke wajah.
  3. Menepukkan kedua tangan ke tanah (untuk yang ke dua kalinya).
  4. Tangan kiri mengusap tangan kanan.
  5. Disambung dengan tangan kanan mengusap tangan kiri.

 

Hukum Seputar Tayamum

Berikut ini adalah hukum-hukum seputar tayamum:

Pertama, satu kali tayamum untuk satu shalat fardhu.

Satu kali tayamum hanya boleh digunakan untuk satu shalat fardhu. Sebab tayamum adalah ibadah yang bersifat darurat, karena itulah ia tidak dapat digunakan untuk dua ibadah fardhu sekaligus.

Berdasarkan hadits Ibnu Umar,

يَتَيَمَّمُ لِكُلِّ صَلاَةٍ وَإِنْ لَمْ يَحْدِث

Bertayamum untuk setiap shalat (yang akan dilakukan) sekalipun dia tidak berhadats.” (HR. Al-Baihaqi)

Sebagaimana tidak boleh menggunakan satu tayamum untuk mengerjakan satu shalat fardhu dan satu thawaf fardhu. Jika satu kali wudhu dapat digunakan untuk berbagai macam kegiatan ibadah fardhu, namun hal itu tidak berlaku dalam tayamum.

Satu kali tayamum boleh digunakan untuk mengerjakan satu shalat fardhu dan shalat nafilah sebanyak yang dikehendaki. Baik shalat nafilahnya dilakukan sebelum shalat fardhu maupun setelahnya. Boleh juga digunakan untuk mengerjakan satu shalat fardhu dan satu thawaf sunah.

Artikel Fikih:  Shalat Nafilah Dan Shalat Fardhu, Apa Bedanya?

Satu kali tayamum dapat digunakan untuk mengejakan shalat nafilah sebanyak mungkin, tidak ada pembatasan. Seperti satu kali tayamum untuk mengerjakan shalat beberapa jenazah.

Misalnya, ada orang yang belum mengerjakan salah satu shalat lima waktu dan dirinya lupa shalat yang manakah itu, maka dia boleh mengqadha’ satu shalat tersebut dengan mengerjakan kelima shalat fardhu secara bersamaan dengan satu kali tayamum.

Kenapa demikian?

Karena sejatinya yang dilupakan olehnya adalah satu shalat fardhu saja.

Kedua, mandi besar dapat diganti dengan tayamum.

Bagi orang yang tidak mendapati air, atau tidak mampu menggunakan air sebagai sarana untuk bersuci, maka dia boleh menjadikan tayamum sebagai ganti dari mandi, seperti halnya ganti dari berwudhu. Sebab tayamum dapat berfungsi menyucikan dari hadats kecil maupun hadats besar.

Sekalipun tayamum dapat menghilangkan hadats besar dan kecil, namun tidak boleh diniatkan untuk menghilangkan hadats besar maupun kecil; sebagaimana disebutkan dalam pembahasan rukun.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6)

Diriwayatkan dari Imran bin Hushain, dia mengisahkan:

“Kami bersama Rasulullah dalam sebuah perjalanan, beliau mengerjakan shalat bersama rombongan yang ikut serta, namun ada seseorang yang memisahkan diri dari rombongan shalat.

Nabi berkata: ‘Apa yang menyebabkan dirinya tidak ikut shalat?’

Dia menjawab: ‘Aku sedang junub, tapi tidak ada air.’

Nabi berkata: ‘Gunakanlah debu (bertayamumlah), itu cukup bagimu.’” (HR. Al-Bukhari)

Ketiga, berusaha mencari air.

Bagi orang yang tidak mendapati air, saat hendak bertayamum ia harus berusaha mencari keberadaan air terlebih dahulu. Memeriksa lokasi yang ada di sekitarnya. Arah kanan, kiri, atas, maupun bawah.

Tidak perlu berjalan menelusuri seluruh lokasi jika dapat dijangkau dengan pandangan. Namun jika terhalang oleh bukit kecil dan tidak akan mengundang mudarat lain, hendaknya memeriksa keberadaan air di balik bukit tersebut.

Jika seseorang hendak mengulangi tayamumnya, baik karena telah tiba waktu shalat fardhu yang kedua atau karena berhadats, maka dia wajib mencari air untuk yang ke dua kalinya.

Sebab boleh jadi pada kesempatan kedua ini dia akan mendapati sumber air yang tadinya tidak terlihat. Demikian ini juga berlaku pada tayamum yang ketiga, dan seterusnya.

Jika seseorang merasa yakin bahwa dia akan mendapatkan air di akhir waktu, dimana dia dapat menggunakannya untuk berwudhu dan mengerjakan shalat di akhir waktu, maka hendaknya dia menunggu sampai akhir waktu tersebut. Sebab demikian itu lebih utama dan lebih sempurna.

Keempat, melihat air setelah bertayamum.

Bagi orang yang bertayamum lantaran tidak mendapati air, bukan lantaran tidak mampu menggunakan air, kemudian setelah bertayamum dia melihat keberadaan air, maka ada tiga gambaran dalam persoalan ini:

 

Gambaran Pertama

Gambaran Orang yang melihat air setelah tayamum atau ketika tayamum, dan belum melakukan shalat, maka tayamumnya batal. Orang tersebut hendaknya berwudhu dengan air yang didapatinya, tentunya ketika tidak ada hal lain yang menghalanginya; seperti lokasi air jauh dari serangan binatang buas, dan lain sebagainya.

Gambaran Kedua

Orang yang melihat air setelah selesai mengerjakan shalat maka ada tiga keadaan:

  1. Jika dia mukim, shalatnya batal dan dia wajib berwudhu kemudian mengulangi shalat. Sebab tidak adanya air dalam kondisi mukim sangat jarang terjadi.
  2. Jika dia musafir, baik safar yang jauh atau dekat, maka shalatnya sah dan tidak perlu mengulanginya. Sebab tidak adanya air dalam kondisi safar adalah hal yang sangat mungkin terjadi.
  3. Lain halnya dengan safar yang dilakukan untuk kemaksiatan, maka dia wajib mengulangi shalatnya. Sebab tayamum adalah rukhshah, dan rukhshah tidak diperoleh oleh orang yang berbuat kemaksiatan.
  4. Begitu juga dengan musafir yang berniat akan bermukim di sebuah daerah, ketika dia telah sampai di daerah tersebut maka dalam hal tayamum dihukumi sebagai orang yang bermukim.

Artikel Fikih Ramadhan: Rukhsah Tidak Puasa Karena Safar

Gambaran Ketiga

Sedangkan bagi orang yang mendapati air ketika sendang mengerjakan shalat maka dihukumi sebagaimana poin ke-2 di atas. Hanya saja disunahkan baginya untuk keluar dari shalat dan berwudhu. Dan itu lebih utama menurut sebagian ulama. Wallahu a’lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)

 

 

 

Artikel sebelumnya:
Ngaji Fikih #16: Hukum Mengusap Khuf

Topik Terkait

Arif Hidayat

Pemerhati fikih mazhab Syafi'i

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *