Gambar Aurangzeb bukan Diktator Mengungkap Fitnah Sejarah Terhadap Sultan Mughal Dakwah.id

Mengungkap Fitnah Sejarah Terhadap Aurangzeb Sultan Mughal

Terakhir diperbarui pada · 62 views

Aurangzeb bukanlah seorang diktator. Artikel ini akan mengungkap fitnah sejarah terhadap Aurangzeb, Sultan Mughal Keenam.

India, yang secara konstitusional menggambarkan dirinya sebagai negara demokrasi, justru semakin memperlihatkan sikap eksklusif terhadap masyarakat muslim yang minoritas. Terlebih beberapa dekade terakhir dengan dominasi ideologi Hindutva (nasionalisme Hindu) yang berkembang.

Tahun 2019, Pemerintah India mengeluarkan Citizenship Amendment Act (CAA) yang memberikan kemudahan kewarganegaraan kepada imigran dari Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan. Masalahnya dalam UU tersebut secara jelas mengecualikan muslim di dalamnya.

Tahun 2020, ketika masyarakat muslim protes atas CAA, justru terjadi bentrokan yang menewaskan puluhan orang yang mayoritasnya muslim. Ironisnya, dalam beberapa laporan, aparat di sana justru membiarkan dan bahkan terlibat dalam kekerasan yang terjadi.

Sejarawan Audrey Truschke dalam serangkaian tweet-nya, membaca kondisi India tersebut sebagai hasil kepercayaan kaum nasionalis Hindu bahwa, “Umat Muslim menindas umat Hindu selama ratusan tahun (pada masa Kerajaan Mughal), sehingga mereka pantas ditindas hari ini sebagai pembalasan atas masa lalu.”

Baca juga: Ibnu Fadhlan, Penjelajah Hebat di Masa Kejayaan Daulah ‘Abbasiyah

Puncaknya 17 Maret 2025 lalu, masyarakat Hindu membuat kerusuhan untuk menuntut makam Aurangzeb, Sultan Mughal, dipindahkan. Nama Aurangzeb Alamgir jadi kambing hitam.

Sultan keenam dari Kerajaan Mughal itu dianggap sebagai pelaku utama dari diskriminasi Muslim atas Hindu dalam sejarah. Wajar jika hari ini masyarakat Hindu menuntut balas.

Namun, benarkah tuduhan sejarah atas Aurangzeb itu? Atau… jangan-jangan sejarah sebenarnya telah dikurasi dan dipelintir oleh lensa kolonialisme dan kepentingan politik modern?

Siapa Aurangzeb itu?

Aurangzeb Alamgir, lahir dengan nama Muhammad Muazzam pada 3 November 1618. Ia adalah sultan keenam dari Kerajaan Mughal. Putra dari Sultan Shah Jahan, yang terkenal dengan pembangunan Taj Mahal, dan Empress Mumtaz Mahal.

Aurangzeb naik takhta setelah mengalahkan kakaknya, Dara Shikoh, dalam sebuah perebutan kekuasaan pada 1658.

Aurangzeb memerintah dari 1658 hingga 1707. Selama hampir 50 tahun itu, wilayah Kesultanan Mughal mencapai puncak terluasnya—dari Kashmir di utara hingga Tamil Nadu di selatan.

Ia adalah sosok yang taat beragama, hafal al-Quran, dan hidup sederhana meski memegang tampuk kekuasaan yang begitu besar.

Baca juga: Mehrunnisa: Cahaya Dunia dari Takhta Mughal

Fakta Sejarah yang Disembunyikan

Sejarah, seperti biasa, tidak selalu disampaikan dengan keadilan. Pada masa kolonial Inggris, khususnya sejak abad ke-19, penguasa muslim seperti Aurangzeb diposisikan sebagai “penjahat sejarah” demi membenarkan penjajahannya.

Narasi populer berulang kali digaungkan bahwa Aurangzeb adalah penindas umat Hindu. Padahal jika membaca lembar-lembar sejarah itu dengan lebih jujur, maka catatan itu tampak tak lebih sekadar propaganda dan cenderung salah kaprah.

Faktanya, sekitar 90% pejabat administratif di bawah pemerintahan Aurangzeb justru berasal dari kalangan Hindu, terutama dari kalangan Rajput. Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam lingkaran kekuasaannya adalah Raja Jai Singh, seorang jenderal Hindu yang dipercaya mengemban misi penting negara.

Lalu bagaimana dengan perobohan kuil-kuil Hindu? Memang ada beberapa kuil yang dihancurkan pada masa Aurangzeb, namun konteksnya bukanlah kebencian agama, melainkan langkah politik dan keamanan.

Kuil-kuil di Kashi dan Mathura, misalnya, dihancurkan karena dikaitkan dengan aktivitas pemberontakan atau menjadi pusat mobilisasi politik antikerajaan. Dalam logika negara, tindakan ini serupa dengan pembekuan aset atau penertiban simbol perlawanan dan bukan dalam rangka persekusi agama.

Aurangzeb justru tercatat memberikan hibah tanah kepada banyak kuil Hindu, termasuk Kuil Mahakal di Ujjain. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam sumber primer Maasir-i-Alamgiri dan dikonfirmasi oleh sejarawan terkemuka R. C. Majumdar.

Fakta ini tentu tak sejalan dengan gambaran hitam-putih yang menuduhnya sebagai ikon intoleransi.

Aurangzeb juga memang menghidupkan kembali pajak jizyah untuk non-Muslim pada tahun 1679. Tapi ini tentu bukan alasan kuat untuk menuduh ia intoleran. Sebaliknya, jizyah adalah kompensasi pajak sebagai bagian dari sistem keuangan kerajaan, yang memungkinkan non-Muslim tidak wajib ikut wajib militer dan tetap terlindungi hukum.

Menariknya, jizyah tidak diterapkan kepada perempuan, anak-anak, lansia, dan fakir miskin. Hal ini bahkan lebih ringan jika dibandingkan dengan pajak modern hari ini.

Aurangzeb sendiri wafat pada tahun 1707. Berbeda dengan rata-rata kaisar sebelumnya yang membangun makam megah, ia justru hanya meminta dikuburkan di pemakaman sederhana, di samping seorang wali di Khuldabad, Maharashtra.

Sejarah Aurangzeb dan Kepentingan Penjajahan

Kolonialisme Inggris sangat berkepentingan membenturkan Hindu dan Muslim, dan membingkai sejarah Mughal sebagai “penindasan Islam atas India”.

Dalam teks-teks sejarah versi British Raj, Aurangzeb ditampilkan sebagai ekstremis, untuk mengontraskan dengan Sultan Akbar, kakeknya, yang mereka branding sebagai seorang “muslim pluralis ideal”.

Fitnah ini diperkuat pada masa kini oleh kelompok nasionalis Hindu. Mereka menjadikan sejarah sebagai alat pembenaran untuk menjustifikasi kekerasan terhadap minoritas Muslim.

Aurangzeb tentu bukan malaikat. Ia adalah seorang raja, politisi, dan manusia. Ia mengambil keputusan sulit, menegakkan hukum, dan juga melakukan kesalahan. Tapi menyederhanakannya menjadi “tirani Islam atas Hindu” adalah kekeliruan serius.

Artikel Sejarah: 3 Strategi Ulama Nusantara dalam Menghadapi Penjajah

Sejarah bukan soal membenci atau mengagungkan—tapi memahami. Kita tidak bisa membenarkan ketidakadilan hari ini atas narasi keliru masa lalu.

Sudah waktunya kita, dan masyarakat India khususnya, melihat Aurangzeb tidak sekadar dari jalan yang samar, tapi dari titian sejarah yang jujur. Sejarah seharusnya bukan hanya milik pemenang, tapi juga milik mereka yang suaranya tertimbun oleh kepentingan politik dan narasi kolonial.

Pertanyaannya: masihkah kita mencari kebenaran? Atau jangan-jangan kita memang terlalu nyaman dengan kebohongan yang diwariskan? Wallahu alam. (M. Wildan Arif Amrulloh/dakwah.id)

Baca juga artikel Sejarah atau artikel menarik lainnya karya M. Wildan Arif Amrulloh.

Penulis: Muhamad Wildan Arif Amrulloh

Referensi:

1. Dr. Jamal ad-Dīn al-Shayyāl, Tārīkh Dawlat Abāṭirah al-Mughūl al-Islāmīyah fī al-Hind.

2. Audrey Truschke, Aurangzeb: The Life and Legacy of Indias Most Controversial King.

3. R. C. Majumdar, The Mughul Empire.

Artikel Sejarah terbaru:

Topik Terkait

Discover more from Dakwah.ID

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading