Ibnu-Fadhlan-Penjelajah-Hebat-di-Masa-Kejayaan-Daulah-Abbasiyah-dakwah.id

Ibnu Fadhlan, Penjelajah Hebat di Masa Kejayaan Daulah ‘Abbasiyah

Terakhir diperbarui pada · 1,086 views

Petualangan panjang Ibnu Fadhlan dan timnya ini berhasil sampai tujuan setelah kurang lebih 11 bulan berjibaku menaklukkan berbagai tantangan dalam perjalanan.

***

Sejak awal kemunculannya, bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang sangat gemar berpetualang. Sejarah telah menunjukkan adanya jejak-jejak perjalanan dan penjelajahan mereka. Bahkan, dalam al-Quran surat Quraisy ayat kedua, Allah menyebutkan hobi mereka yang suka bepergian: ilafihim rihlata asy-syita’i wa ash-shayf. Menuju Yaman saat musim dingin, pergi ke Syam saat musin panas.

Maka begitu Islam datang dan mengangkat derajat mereka, tradisi ini kian berkembang. Jika dahulu tujuan utama mereka adalah untuk berniaga, setelah kaum muslimin Arab berhasil mendirikan khilafah, perjalanan ke berbagai wilayah dilakukan dengan membawa misi yang lebih berarti: dalam rangka dakwah, demi ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan peradaban di negara lain.

Bicara tentang penjelajahan yang melegenda, nama Ibnu Bathuthah tentunya sudah tidak asing lagi di kalangan umat Islam. Tapi, ada penjelajah lain yang hampir luput dari ingatan kita, padahal petualangannya tergolong istimewa dan layak diabadikan.

Dia bernama Ahmad bin Fadhlan bin Al-‘Abbas bin Rasyid bin Hammad, mawla (sahaya) Muhammad bin Sulaiman. Terkenal dengan nama Ibnu Fadhlan.

Catatan perjalanan yang ia susun, mampu memberikan gambaran tentang negara Rusia, Bulgaria, dan Turki pada abad ke-10 Masehi dengan suatu gambaran yang mungkin hanya ditemukan di dalamnya. Bangsa Rusia sendiri telah menjadikannya sebagai rujukan primer.

Mereka membaca, mengkaji, mengembangkan dan menerjemahkan Risalah Ibnu Fadhlan sejak seratus tahun yang lalu. Bagi mereka, dokumentasi perjalanan ini, merupakan sumber yang berharga: referensi pokok yang tidak tergantikan.

 

Potret Keagungan Kota Baghdad dalam Risalah Ibnu Fadhalan

Dengan berdirinya Daulah Abbasiyah pada 132 H/749 M, lembaran baru sejarah Islam telah dimulai. Kemajuan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang begitu pesat. Masa ini, sering dikenang oleh para sejarawan dengan sebutan The Golden Age: zaman keemasan.

Baghdad, sebagai ibu kota kekhilafahan, menjadi istana yang tampak sangat megah bagi para pemburu ilmu. Baitul Hikmah berdiri gagah di dalamnya. Ia menjadi sentral para peniliti dan penemu terkemuka. Tak heran jika ia menjadi destinasi para pelancong. Sungguh, kota itu, ibarat magnet dunia yang sangat kuat daya tariknya, saat itu.

Ahmad Al-Ya’qubi bertutur tentang pengalamannya saat berkunjung ke Baghdad pada masa pemerintahan Al-Ma’mun, abad ke-9, “Mereka datang ke dari seluruh penjuru negeri. Banyak orang yang lebih memilih tinggal di Baghdad dari pada kampung halamannya.”

Keterangan Al-Ya’qubi ini, ibarat sketsa terkecil dari gambaran agung Daulah Abbasiyah yang mempunyai kesan baik dalam ingatan publik. Kejayaan terus berlangsung selama ratusan tahun.

Ibnu Fadhlan, tokoh yang perjalanannya menjadi objek kajian dalam makalah ini, hidup di masa keemasan itu. Ia diutus untuk melakukan ekspedisi ke Bulgaria oleh Al-Muqtadir Billah, khalifah ke-18 yang saat dilantik usianya masih 13 tahun.

Artikel Fikih: Berapa Jarak Minimal Perjalanan Boleh Qashar Shalat bagi Musafir?

Terkisah pada 305 H, empat tahun sebelum perjalanan Ibnu Fadhlan dimulai, Baghdad kedatangan dua orang utusan dari kerajaan Romawi.

Ibnu Miskawaih dalam karya yang berjudul Tajarub Al-Umam, menceritakan bagaimana khalifah beserta para menterinya menerima tamu itu dengan  sambutan yang tidak ada tandingannya. Pasukan elit disiapkan. Para pelayan kerajaan, tentara, dan penjaga, semua diatur sangat rapi, dari pintu istana sampai tempat perjamuan.

Di dalam Dar Al-Bustan, istana yang gedungnya dilapisi emas, dibentangkan permadani halus nan indah, disediakan bantal duduk empuk, dipasangi tirai-tirai yang serasi dengan warna lantainya.

Semua aksesori ini, jelas barang-barang super mewah. Harganya mencapai 300.000 Dinar! Tidak ada satu inci pun bagian dari istana di negeri Seribu Satu Malam itu, yang luput dari sentuhan keindahan.

Kedua utusan Romawi benar-benar dibuat terpesona memandangnya. Apalagi setelah tugas mereka selesai, yakni menyerahkan sebuah surat kepada khalifah, mereka diberi cindera mata yang sangat berharga dan uang saku untuk perjalanan: surban dan kain sutera bermotif, dititipi uang 170.000 Dinar yang diambil dari Baitul Mal kaum muslimin, dan masing-masing mendapat 20.000 Dinar.

Demikialah gambaran keagungan dan keramahan kota Baghdad yang ditinggalkan Ibnu Fadhlan.

Potret kemajuan peradaban ini penting untuk ditampilkan, sebagai perbandingan dengan keadaan di beberapa daerah di Eropa yang dihampiri oleh Ibnu Fadhlan. Situasi dan kondisi yang membuatnya merasa aneh, saking terbelakangnya bangsa Eropa saat itu.

 

Perjalanan Ibnu Fadhlan

Penjelasan tentang keagungan Baghadad di atas, menjadi salah satu bukti bahwa para pemimpin di luar sana, berlomba-lomba ingin menjalin hubungan bilateral dan kerja sama yang baik dengan kekhalifahan Daulah ‘Abbasiyah. Dan faktanya, pendelegasian Ibnu Fadhlan pun tidak terlepas dari hal semacam itu.

Tersebutlah Raja Saqalibah (Volga Bulghars), Almisy bin Yiltawar, mengirim duta kepada Al-Muqtadir yang intinya mengajukan beberapa permohonan:

Pertama, bantuan tenaga da’i yang bisa mengajarkan dasar-dasar keislaman kepada masyarakat Saqalibah yang baru memeluk Islam.

Kedua, Almisy juga berharap agar kiranya khalifah mendirikan masjid-masjid.

Ketiga, minta dibangunkan benteng-benteng pertahanan untuk memperkuat wilayahnya dari serangan musuh.

Keempat, peralatan untuk meracik obat-obatan.

Ilustrasi Ibnu Fadhlan dari Jazeera - dakwah.id
Ilustrasi Ibnu Fadhlan dari al-Jazeera – dakwah.id

 

Saqalibah sendiri merupakan sebuah negeri di Eropa yang sekarang mencakup Bulgaria dan sekitarnya.

Secara geografis, sebenarnya, penduduk Saqalibah tergolong sangat beruntung karena mereka memiliki kekayaan alam yang melimpah dan wilayahnya sangat luas. Tetapi secara politik tidak demikian karena mereka berada di bawah bayang-bayang kerajaan Khazar.

Bisa dikatakan, orang-orang Khazar ini sebenarnya adalah Yahudi jadi-jadian. Sebab, mereka bukan keturunan Bani Israel tapi malah memeluk agama Yahudi.

Orang-orang Khazar memaksa Saqalibah untuk membayar pajak. Anak raja Khazar bahkan berani bertindak kurang ajar. Ia mengumumkan kepada setiap penduduk Khazar, bahwasannya mereka diperbolehkan mempersunting putri raja Saqalibah dengan cara ghasab (paksa).

Hati Al-Muqtadir sangat tersentuh mendengar informasi itu. Ia berusaha memenuhi permohonan tersebut.

Tercatat pada hari Kamis tanggal 11 Shafar 309 H, bertepatan pada 21 Juni 921 M, Ibnu Fadhlan diberangkatkan dari Baghdad menuju Saqalibah, bersama tiga orang lainnya yang dipilih langsung oleh khalifah: Sausan Ar-Rusy, Takin At-Turki, Baris As-Saqalabi. Tampak dari nama-namanya, dua dari mereka sengaja ditunjuk karena menguasai bahasa Rusia.

Kemudian Ibnu Fadhlan dan kawan-kawan, melintasi Jalan Khurasan yang menghubungkan Irak dan dataran tinggi Iran serta salah satu jalan yang membentuk Jalur Sutera.

Setelah melintasi sungai Oxus, Ibnu Fadhlan sampai di Transoxiana; sebuah wilayah kuno di Asia Tengah yang pada abad ke- 8 M—antara tahun 702-712—dibebaskan oleh Panglima Qutaibah bin Muslim.

Daerah itu juga dikenal dengan nama “Maa Wara’a An-Nahr.” Kini, sebagian besar wilayah Transoxiana terpecah menjadi beberapa negara, seperti: Uzbekistan, Kazakhstan, Tajikistan, dan Turkmenistan.

Di kampung halaman Imam Bukhari dan rumah Timur Lenk ini, Ibnu Fadhlan beristirahat selama satu bulan lamanya. Setiap adat dan istiadat asing yang dijumpai dalam perjalanannya, dicatat dengan baik. Salah satu hal yang membuatnya tertarik adalah koin perak khas Bukhara.

Ia juga melaporkan bahwa wilayah sebelah utara Jurjaniya (kota perbatasan antara Uzbekistan dan Turkmenistan modern), merupakan lahan terra incognita (unknown land– tanah tak dikenal) bagi Baghdad. Sebuah informasi yang berharga bagi orang yang mengutusnya.

Jangan dibayangkan bahwa perjalanan Ibnu Fadhlan berjalan mulus tanpa hambatan. Ia dan kawan-kawan harus berjuang menghadapi cuaca dingin yang ekstrem. Aliran sungai menjelma hamparan es batu. Bahkan, sisa-sisa air yang membasahi janggut Ibnu Fadhlan ikut membeku.

Rombongan ini juga melintasi Khawarizm, Hamadzan, dan Ray.

Petualangan panjang Ibnu Fadhlan dan timnya ini berhasil sampai tujuan setelah kurang lebih 11 bulan berjibaku menaklukkan berbagai tantangan dalam perjalanan. Mereka tiba di wilayah Saqalibah pada tanggal 11 atau 12 Mei 922 M.

Singkat cerita, ketika sampai di Saqalibah, sang Raja menyambut hangat rombongan Ibnu Fadlan. Raja sangat menghormati khalifah Al-Muqtadir. Ia berdiri ketika surat dari khalifah dibacakan, diikuti oleh seluruh penduduk yang hadir.

Raja Saqalibah bertubuh besar dan gemuk. Ia sangat dihormati rakyatnya. Ketika raja melintasi sebuah pasar, semua orang akan berdiri dan melepaskan penutup kepala dan kembali memakainya setelah raja berlalu.

Penduduk Saqalibah tinggal di tenda-tenda, termasuk sang Raja. Tentu saja tenda milik raja lebih besar dan mampu menampung lebih dari seribu orang.

Raja Saqalibah selalu didoakan oleh rakyatnya di atas mimbar-mimbar dengan sebutan Mulk (Raja). Hal inilah yang dikritisi Ibnu Fadlan dan ia bernasehat bahwa Allah adalah al-Mulk, tidak ada seorang pun selain-Nya yang boleh disebut dengan gelar tersebut di atas mimbar.

 

Kondisi Bangsa Bulgar, Rus, dan Turk

Di Bulgar, tulis Ibnu Fadhlan, waktu malamnya sangat pendek. Suatu ketika, ia pernah ketinggalan shalat Isya. Begitu bangun, sudah terdengar adzan shubuh.

Ia juga menyebutkan bahwa intensitas petir di sana sangat tinggi. Dan yang lebih menarik adalah kisahnya bahwa raja Bulgar hobi berburu salah satu jenis hewan unik di padang sahara di dekat sungai Jaushiz.

Di sekitarnya, ada banyak pohon yang tumbuh. Menurut keterangan Ibnu Fadhlan, penulis berasumsi, hewan unik yang dimaksud adalah Caribou.

Berikut ciri-ciri yang dikutip langsung dari Risalah, “…ukurannya lebih kecil dari Unta dan lebih besar dari Sapi jantan. Kepalanya mirip seperti kepala Unta. Badannya seperti Baghal (peranakan kuda dan keledai). Di tengah-tengah kepalanya, ada sebuah tanduk yang bulat (melingkar) dan tebal serta ujungnya lancip seperti ujung tombak…”

 

stempel perangko Bulgaria - dakwah.id
Stempel perangko Bulgaria – dakwah.id

 

Gambar di atas semakin memperkuat asumsi. Sebab, faktanya, Caribou merupakan hewan khas Bulgaria. Meskipun dalam risalah disebut, namanya adalah Karkaddan, yang hari ini ditransilt artinya; Badak. Disebutkan pula bagaimana cara warga Bulgar berburu Caribou atau Karkaddan: mereka memanjat pohon dan melempar tombak beracun dari atas.

Sang raja mempunyai koleksi tiga Thifuriyah; mangkuk yang terbuat dari tanduk hewan itu.

Tetapi, selain kisah seru dan menarik seperti ini, ada juga berita duka yang ditulis dalam risalah. Ibnu Fadhlan mendapati banyak orang yang meninggal setelah terkena penyakit, termasuk bayi-bayi yang masih menyusui. Syukurnya, setiap proses pengurusan jenazah tetap dilakukan secara syar’i. Dan uniknya, kaum wanita tidak menangisi kepergian para lelaki. Yang terjadi justru sebaliknya.

Adapun maksud dari “Ruusiyyah” dalam risalah Ibnu Fadhlan, masih simpang siur penafsirannya. Para peniliti berbeda pendapat. Ada yang mengatakan Ruusiyah di sini hanyalah orang-orang Rusia saja, dan ada juga yang memperluas maknanya: bahwa bangsa Arab ketika itu, pada umumnya, menyebut setiap bangsa Eropa dengan sebutan Ruusiyyah.

Dampaknya, menurut pendapat kedua ini, bangsa Viking di Skandinavia juga termasuk dalam orang Ruus yang dikisahkan dan didakwahi oleh Ibnu Fadhlan.

Teori ini diperkuat dengan informasi bahwa tradisi pemakaman bangsa Ruusiyyah, sama seperti kebiasaan orang Viking, yaitu membakar mayat.

Tapi, metode pembakaran yang dikisahkan Ibnu Fadhlan sungguh menyayat hati: mereka meletakkan kayu di atas sebuah rakit yang akan menelan mayat dalam kobaran api, ditemani seorang gadis budak pilihan, yang dibuat mabuk lalu diperkosa, sebelum dibakar hidup-hidup.

Diterangkan dalam risalah bahwa bangsa Ruusiyah menyembah patung-patung untuk penglaris dagangan.

Mereka juga mempunyai kebiasaan yang jorok dan menjijikkan seperti; berbagi bejana berisi air untuk mencuci muka, meludah dan membuang ingus di baskom itu secara bergiliran.

Selain itu, mereka juga vulgar: terbiasa berhubungan badan sambil disaksikan banyak orang.

Kendati demikian, Ibnu Fadlan tetap memuji karena mereka memiliki bentuk fisik terbaik. “Saya belum pernah melihat manusia dengan fisik yang lebih sempurna (melebihi mereka). Badannya setinggi pohon kurma, pirang dan kemerahan,” tulisnya.

“Setiap orang memiliki kapak, pedang, dan pisau dan disimpan setiap olehnya setiap saat. Pria-pria itu, menurut pengamatannya, ditato dengan sosok-sosok hijau tua dari kuku hingga leher.”

Selain itu, kelebihan orang Rusiyah juga dalam hal memberi hukuman kepada pencuri yang tidak main-main: digantung di pohon.

Sedangkan bangsa Turk dikisahkan sebagai orang-orang yang sudah mulai mengenal kata Allah walaupun sebatas ikut-ikutan. Setiap kali Ibnu Fadhlan berdzikir, mereka mengikuti bacaannya.

Mereka sangat senang mendengar lantunan tilawah Al-Quran. Tapi, sama seperti bangsa Eropa lainnya, mereka masih terbelakang: belum mengenal konsep thararah (bersuci) dan pentingnya menutup aurat. Bahkan lelaki dan perempuan mandi bersama di sungai.

Walau demikian, nilai baiknya, mereka tidak mentolerir perbuatan zina. Pelaku tindakan keji itu, akan dieksekusi mati secara sadis: tubuhnya dibelah menjadi dua!

 

Epilog: Hikmah dan Faidah

Ada beberapa hikmah dan faidah yang bisa dipetik dari perjalanan Ibnu Fadhlan.

Pertama, risalahnya yang berjudul Risalah Ibnu Fadhlan Fi Wasf ar-Rihlah ilaa Bilad at-Turki wa al-Khazar wa ar-Ruus wa as-Saqalibah bertahan hingga kini merupakan salah satu indikasi keberkahan dari keikhalasan dan kejujurannya sebagai sekertaris kerajaan Daulah Abbasiyah. Meski karyanya menyejarah, riwayat hidupnya tidak begitu diulas. Dia tidak sedang menonjolkan diri, melainkan sedang menjalankan tugas.

Kedua, tulisan tersebut melambangkan versi laporan resmi seorang utusan yang dikirim oleh khalifah Al-Muqtadir kepada bangsa Bulghar di wilayah Volga.

Artikel Sejarah: Dzulqarnain Penguasa Dunia yang Melegenda [bag.1]

Keempat, referensi yang asli dan valid, dapat membantah karya fiksi yang mencitra burukkan Ibnu Fadhlan. Film “The Thirteenth Warrior” yang dirilis pada 1999, bercerita tentang sebuah petualangan ke sebuah negeri di tepi Sungai Volga, sungai terpanjang di Eropa. Film ini diadaptasi dari novel berjudul Eaters of the Dead, karya Michael Crichton; penulis fiksi ilmiah kawakan asal Amerika. Ia menggambarkan bahwa; Ibnu Fadhlan diusir dari Baghdad karena telah jatuh cinta pada seorang wanita yang masih bersuami. Padahal, para sejarawan sepakat bahwa ia seorang ulama yang dicintai umara’. Judith Gabriel saja tahu bahwa Ibnu Fadlan adalah seorang muballig dan ahli fikih. Sebagaimana ia tulis dalam Among the Norse Tribes: The Remarkable Account of Ibnu Fadlan.

Kelima, perjalanan ke Eropa saat itu, menambah keyakinan betapa nikmat Islam adalah nikmat terbesar bagi manusia. Ketika kaum muslimin di abad pertengahan sedang jaya-jayanya, bangsa Eropa masih diselimuti kegelapan jahiliyah dan keterbelakangan peradaban. Fal hamdu lillahi ‘ala ni’matil Islam. (Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)

 

Referensi

Risalah Ibnu Fadhlan, Damaskus: Mathbu’at Al-Majma’ Al-‘Ilmiy Al-‘Arabiy, 1959. Tahqiq; Sami Ad-Dihan.

Risalah Ibnu Fadhlan, Narasi Ekspedisi dari Baghdad Sampai Eropa Utara, Yogyakarta: Relasi Inti Media, Terj. Nasih Burhani. 2017.

Muhammad Abdul Azhim Abu An-Nashr, Islam di Asia Tengah, Jakarta: Al-Kautsar, 2009.

Chase F. Robinson, Para Pembentuk Peradaban Islam Seribu Tahun Pertama, Jakarta: Alvabet, Cet.1, 2019. Terj. Fahmy Yamani

Philip K. Hitti, History of The Arab, Jakarta: Zaman, Cet.1, 2018. Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi.

 

 

Baca juga artikel tentang Sejarah atau artikel menarik lainnya karya Muhammad Faishal Fadhli.

 

 

Artikel berikutnya:
Asiyah Istri Firaun: Bidadari Dunia Akhirat

Topik Terkait

Muhammad Faishal Fadhli

Pengkaji Literatur Islami. Almnus Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor angkatan 14.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *