Strategi Ulama Nusantara dalam Menghadapi Penjajah dakwah.id

3 Strategi Ulama Nusantara dalam Menghadapi Penjajah

Terakhir diperbarui pada · 1,503 views

Para ulama Nusantara dan umat Islam hampir 350 tahun lamanya berjihad melawan penjajahan di bumi Nusantara. Perang terbuka, perang gerilya, perundingan, jihad literasi, dan strategi lainnya sudah dipakai untuk mengusir penjajah.

Dari sekian banyak cara tersebut, setidaknya ada tiga perlawanan yang bisa disebut sebagai strategi dan diplomasi ulung dari para ulama Nusantara.

 

Strategi Ulama Nusantara Pertama: Uzlah

Pertama adalah uzlah. Secara umum uzlah dimaknai sebagai pengasingan atau penyendirian. Strategi uzlah para ulama, selain dikarenakan perlawanan secara fisik tidak memungkinkan, juga karena senjata sudah tidak ada.

Faktor utama lainnya adalah mereka hendak menyusun kekuatan dan membuat basis perlawanan di tempat-tempat yang terpencil, pedalaman, dan sulit dijangkau penjajah.

Di tempat uzlah itulah para ulama melakukan hijrah secara mental (rūḥan) dan fisik (jasadan). Mereka mengajak para pengikutnya yang mayoritas para pemuda untuk menepi ke pinggir-pinggir kota, ke desa-desa, ke pegunungan, atau ke pantai.

Di tempat yang belum terkontaminasi dan terintervensi penjajah itulah mereka mendirikan pesantren-pesantren. Mendidik dan mengkader para santri pejuang. Strategi uzlah adalah bukti kepiawaian para ulama dalam menyusun kekuatan umat.

Tokoh bangsa sekaligus perdana menteri pertama Republik Indonesia, Muhammad Natsir dalam komentarnya atas strategi uzlah ini beliau mengatakan:

Pesantren bukan saja lembaga pendidikan, tetapi mempunyai peran yang penting dalam perjuangan Nasional. Waktu itu misalnya, dalam rangka menanamkan jiwa anti penjajah, para santri tidak boleh memakai dasi, haram hukumnya, karena menyerupai penjajah, orang-orang Barat. Pantalon juga haram, mesti pakai sarung.

Kita memang melakukan uzlah baik secara fisik ataupun secara spiritual. Pesantren-pesantren ini mempunyai alam pikiran sendiri, alam perasaan sendiri, yang berbeda dengan apa yang di kota-kota yang dipengaruhi asosiasi dari Belanda. Mungkin kalau kita memandang larangan pakaian itu dari segi fikih dan dalam konteks sekarang, kita akan tersenyum.

Tapi sebagai metode pejuangan, dan dalam konteks penjajahan waktu itu, cara yang dipakai para ulama kita dengan uzlahnya ini merupakan pemikiran yang amat cerdik, kalau tidak kita katakan brilliant.” (Pesan Perjuangan Seorang Bapak; Percakapan Antar Generasi, Muhammad Natsir, 42)

Perlawanan KH. Hasyim Asy‘ari dan Para Santrinya

Sejarah telah mencatat heroiknya perlawanan para Kyai dan santri menghadapi penjajah yang dimulai dari pelosok-pelosok desa. Misalkan perlawanan KH. Hasyim Asy’ari dan para santrinya.

Dari pedalaman Jombang, Jatim, tepatnya Tebuireng beliau kumandangkan Resolusi Jihad. Tidak hanya santri Tebuireng saja yang bergerak menyambut resolusi tersebut. Sejarawan mencatat, seluruh santri dan pejuang rakyat wilayah Jawa Timur dan Madura saat itu berbondong-bondong ikut serta.

Perlawanan KH. Zaenal Musthafa dan Para Santrinya

Contoh lainnya, perlawanan ulama muda KH. Zaenal Musthafa pimpinan pesantren Sukamanah. Dari pedalaman desa Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya beliau beserta santrinya mengobarkan perlawanan melawan penjajahan.

Sikapnya yang keras terhadap penjajah menyebabkan pada 17 November 1941, beliau ditangkap oleh Belanda. Kemudian, beliau dijebloskan ke dalam penjara Sukamiskin, Bandung, selama 53 hari.

Ketika Jepang mengalahkan sekutu dan datang ke Indonesia, pada 31 Maret 1942 KH. Zaenal Mustafa dibebaskan. Tetapi, sikapnya ke Jepang tidak kurang kerasnya. Puncak perlawanan itu terjadi pada Jumat, 25 Februari 1944. Atau lebih dikenal sebagai Pertempuran Singaparna. Inilah pertama kalinya perlawanan terjadi atas pemerintah pendudukan Jepang di Jawa.

Masih banyak catatan sejarah perlawanan para ulama dan santri yang dimulai dari pelosok-pelosok desa, pedalaman, dan tempat-tempat yang tidak terjangkau lainnya. Melalui strategi uzlah, mereka berhasil menggalang kekuatan dan melakukan perlawanan.

 

Strategi Ulama Nusantara Kedua: Haji

Strategi kedua adalah haji. Selain strategi uzlah, model perlawanan lainnya yang menunjukkan kecerdasan politik perlawanan ulama adalah haji.

Membuka hubungan internasional

Haji bisa dikatakan sebagai strategi ulama membuka hubungan internasional dalam rangka mendobrak isolasi politik pihak penjajah Belanda saat itu. Relasi internasional ini ditujukan kepada negara-negara Islam, terutama Timur Tengah.

Selama di tanah suci, para tokoh pergerakan yang mayoritasnya adalah para ulama melakukan hubungan dengan orang-orang luar dan mengembangkan opini internasional terkait fakta penjajahan di Nusantara.

Munculnya solidaritas internasional

Dari sini muncullah solidaritas internasional, terutama dari negara-negara Islam Timur Tengah atas perjuangan umat Islam Nusantara. Selain itu, ulama Nusantara yang berada di tanah suci juga memegang peranan penting dalam konsolidasi para jamaah haji yang baru datang.

Mereka saling bertukar pikiran serta menyusun strategi perlawanan di tanah suci untuk kemudian diaplikasikan ketika nanti pulang ke tanah air. Sejarah mencatat, sampai akhir abad ke-19 banyak muncul perlawanan di berbagai daerah ternyata dipimpin oleh para ulama yang telah bergelar haji.

Momentum haji tak sekedar ibadah

Haji adalah bagian politik luar negeri (foreign policy) para ulama Nusantara dengan membuka hubungan internasional dan konsolidasi kekuatan umat, di wilayah netral atau aman dari intervensi negara penjajah saat itu.

Dari sini, diketahui betapa ulungnya politik perlawanan ulama melawan penjajahan.

Bagi mereka, haji tidak sebatas ibadah ritual untuk meningkatkan spiritual, namun ada aspek lain, yaitu menumbuhkan solidaritas muslim global dan semangat perlawanan terhadap penjajah.

 

Strategi Ulama Nusantara Ketiga: Korespondensi

Ketiga adalah korespondensi. Di era penjajahan, salah satu inisiatif ulama Nusantara dalam membangun jaringan kekuatan adalah korespondensi. Surat menyurat ini dilakukan dengan jaringan ulama Nusantara di Timur Tengah maupun ulama asli sana.

Pada zaman itu, korespondensi tidak hanya berfungsi membangun jaringan intelektual (intellectual networks) tapi juga membangun jaringan kekuatan (power networks).

Materi Khutbah Jumat: Ulama Pewaris Nabi Jangan Dizalimi

Orientalis sekaligus penasihat Belanda Snouck Horgronje mengamini adanya upaya yang ia narasikan sebagai “provokasi perlawanan” terhadap Belanda yang menjajah saat itu melalui korespondensi jaringan ulama Nusantara di Timur Tengah, baik dengan ulama maupun penguasa lokal.

Korespondensi kepada para murid Syaikh Nawawi al-Bantani

Dalam kajian Turats di Islamic Nusantara Center (INC), A. Ginanjar Sya’ban menjelaskan pada sekitar tahun 1884, Snouck Horgronje berada di Makkah dan dalam laporannya menyatakan ulama Nusantara di Makkah selalu memberikan “provokasi” semangat perlawanan kepada murid Syaikh Nawawi al-Bantani yang berhaji dan berhasil berkunjung ke rumah beliau.

Syaikh Abdusshamad al-Palimbangi dan Sultan Jogja

Sebelumnya, Syaikh Abdusshamad al-Palimbangi di Haramain pernah menuliskan surat kepada Sultan Jogjakarta yang dititipkan kepada dua orang peserta haji dari Jogjakarta. Surat tersebut ditemukan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda di Semarang.

Surat itu isinya berkaitan dengan kitab Syaikh Abdusshamad yang berjudul “Nasihatul Muslimin” tentang anjuran berjihad. “Jadi jika melihat dari jaringan global ulama Nusantara, perannya sangat besar sekali.” tandas A. Ginanjar.

Haji dan korespondensi berdampak besar dalam membangun opini internasional dan solidaritas muslim global. Akhirnya bisa disaksikan dalam fakta sejarah, ulama-ulama dan pemimpin dunia Islam saat itu memberikan respon dan dukungan sangat besar ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Uraian singkat ini menerangkan kepada kita betapa ulung dan piawainya para ulama dalam menyusun strategi perlawanan terhadap penjajah. Uzlah, haji, dan korespondensi tiga model dari sekian banyak strategi yang digunakan para ulama untuk mengusir penjajah.

Semoga Allah subhanahu wataala merahmati para ulama dan umat Islam yang telah berjuang melawan penjajahan. Āmīn. (Muhammad Ridwan/dakwah.id)

 

Baca juga artikel Sejarah atau artikel menarik lainnya karya Ustadz Muhammad Ridwan, M.Ag.

Penulis: Muhammad Ridwan
Editor: Ahmad Robith

Topik Terkait

Muhammad Ridwan, M.Ag

Alumnus pascasarjana UNIDA Gontor. Alumnus Program Kaderisasi Ulama di Gontor. Konsen di bidang Tsaqafa Islamiyah. Pernah mengikuti seminar Nasional Pemikiran Program Kaderisasi Ulama. Penikmat kitab karya KH. Hasyim Asy’ari yang berjudul Irsyadus Sari fi Jam'i Mushannafat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *