materi kultum ramadhan tadabbur ayat birrul walidain dakwah.id

Materi Kultum 16: Tadabbur Ayat Birrul Walidain

Terakhir diperbarui pada · 5,929 views

Tulisan yang berjudul Tadabbur Ayat Birrul Walidain adalah seri ke-16 dari serial Materi Kultum Ramadhan yang ditulis oleh ustadz Muhammad Faishal Fadhli.

Sungguh mulia pengorbanan seorang ibu dalam membesarkan anaknya. Ia mengalami kepayahan ketika hamil selama sembilan bulan. Saat sedang melahirkan, ia mempertaruhkan nyawanya antara hidup dan mati. Kemudian ia menyusui anak itu. Merawatnya dengan penuh kasih sayang. Mengasuhnya hingga tumbuh dewasa.

Begitu juga dengan perjuangan sang ayah dalam mencari nafkah. Siang dan malam tak kenal lelah. Memeras keringat, dan terkadang harus bersimbah darah. Meski penat dirasa, ia harus tetap tersenyum saat pulang ke rumah. Semua itu dilakukan demi menunaikan amanah dan mendapatkan rida Allah.

Mengingat begitu besar peranan dan jasa orang tua, wajar kiranya jika dalam ajaran Islam, mereka mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi.

Dalam al-Quran, ada banyak ayat yang menyebutkan kewajiban birrul walidain; berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua. Berikut ini di antara ayat-ayat tentang birrul walidain disertai dengan tadabur; perenungan dan penghayatan, agar lebih meresap ke dalam jiwa.

Birrul Walidain Kewajiban Utama Setelah Tauhid

Setiap nabi dan rasul, diperintahkan untuk mendakwahkan tauhid. Sebagaimana firman Allah azza wajalla yang berbunyi,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah tagut.’” (QS. An-Nahl: 36)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa; Seorang hamba mempunyai kewajiban untuk bertauhid: mengesakan Allah dalam segala sesuatu dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Sebagai gantinya, dia mempunyai hak untuk masuk surga selama tidak berbuat syirik.

Inilah urgensi tauhid dalam Islam. Ia merupakan ajaran paling penting, paling pokok dan mendasar. Tauhid berbicara tentang kewajiban menunaikan hak Allah. Ada pun birrul walidain, berbicara tentang kewajiban menunaikan hak orang tua.

Dua hal ini sama pentingnya, hingga disandingkan dalam satu ayat. Karena menjaga adab kepada orang tua, sama pentingnya dengan beradab kepada Allah.

وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا

Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. An-Nisa’: 36)

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ

Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.” (QS. Al-Isra’: 23)

Larangan Mendebat Orang Tua

Masih dalam ayat yang sama, surah al-Isra; 23, al-Quran menjelaskan adab dalam berbicara dengan orang tua,

…فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

“… maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al-Isra’: 23)

Dalam bahasa Arab dan ilmu tahsin, huruf Hijaiah dengan karakter paling kuat adalah huruf  “Tha” (طَ). Karena ia terbebas dari sifat-sifat huruf lemah, seperti: al-Hams, ar-Rakhawah, al-Layyin.

Sedangkan huruf Hijaiah yang karakternya paling lemah adalah huruf “Fa” (فَ). Karena ia tidak mempunyai sifat-sifat huruf kuat seperti: al-Jahr, asy-Syiddah, al-Ithbaq.

Dari sinilah kita mendapatkan satu faedah, bahwa di antara kelembutan dan keindahan bahasa al-Quran, ketika melarang perbuatan durhaka kepada kedua orang tua, kita semua dilarang mengucapkan kata “Uff” (أُفٍّ) yang terdiri dari huruf paling lemah.

Berkata Uff secara pelan-pelan saja tidak boleh, membantah dengan kata paling lemah saja dilarang, apalagi sampai membentak, menghardik, mengumpat, atau dengan ketus berani mendebat mereka.

Hati mereka pasti tersayat-sayat, saat anak yang mereka ajari bicara sewaktu kecil, begitu tumbuh dewasa, justru menggunakan kefasihan lidahnya untuk menyudutkan mereka. Nastaghfirullah Al-‘Adzhiim.

Tetap Merendah Meski Telah Sukses

Masih erat kaitannya dengan poin di atas tentang larangan berdebat dengan orang tua. Anak yang sudah sukses, walaupun memiliki segudang presatasi, harta dan tahta yang tinggi, tetap harus merendah dan mengalah di hadapan orang tuanya. Ia harus merendahkan kepak sayap kesuksesan hidupnya di hadapan ayah bunda yang menjadi sebab utama kesuksesan itu.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ

Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Rabbku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” (QS. Al-Isra’: 24)

Wa akhfidh la humā, artinya: dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya.

Hal menarik dalam ayat ini, saat kita diperintahkan untuk tunduk kepada orang tua, terdapat kata جَنَاحَ janāh yang artinya sayap.

Secara eksplisit Allah berfirman, rendahkanlah kepak sayapmu. Para ulama menyebutkan bahwa maksudnya adalah tawaduk dan lemah lembut dalam bergaul.

Seekor burung, ketika hendak memukul lawan atau menyerang mangsanya, ia tinggikan sayapnya terlebih dahulu. Nah, seorang anak yang sudah tumbuh dewasa, dilarang ‘mengepakkan dan mengangkat sayapnya’ di hadapan orang tua, karena itu termasuk simbol perlawanan terhadap mereka.

Frasa ‘sayap’, bisa diartikan kekuatan, juga bisa dimaknai kesuksesan. Seorang anak yang sudah berjaya, tidak diperbolehkan merasa lebih hebat dari kedua orang tuanya, apalagi sampai menyombongkan diri.

Masyarakat Nusantara mengenal dongeng Malin Kundang dari Sumatera Barat, si anak durhaka yang dikutuk jadi batu karena menyaikiti hati ibu. Dalam sejarah peradaban Islam, kita mengenal sosok Abu Hanifah dari Kufah. Meski sukses dan sudah jadi orang hebat, ia tetap sayang dan rendah hati pada ibunya.

Alkisah, suatu ketika, sang ibu minta diantarkan ke rumah Umar bin Dzar untuk meminta fatwa. “Biar aku saja yang memberi fatwa kepadamu, duhai Ibunda.” Kata Abu Hanifah pelan.

Tetapi sang ibu menolak, “Tidak. Aku mau minta fatwa kepada Umar bin Dzar.” Maka Abu Hanifah menuruti permintaan sang ibu. Ditemaninya ke rumah Umar dengan menaiki keledai.

Umar bin Dzar pun dibuat kaget. Apa tidak salah seorang imam datang kepadanya untuk meminta fatwa? “Bagaimana mungkin aku bisa memberi fatwa, sementara engkau berada di sini?” tanya Umar.

Tidak masalah. Ini demi permintaan ibuku.” Jawab Abu Hanifah.

Lihatlah bagaimana sikap Abu Hanifah terhadap ibunya. Seorang imam yang agung, ahli fikih paling disegani, semua orang takzim kepadanya. Dan ia memilih untuk sabar, menuruti apa maunya sang ibu, tidak menyombong, merendahkan diri. Semua itu karena rasa sayangnya pada sang ibu.

Masyaallah.

Alangkah mulia akhlakmu wahai imam. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari teladan birrul walidain yang agung ini. Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq. (Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)

Baca juga artikel Materi Kultum Ramadhan atau artikel menarik lainnya karya Muhammad Faishal Fadhli.

Penulis: Muhammad Faishal Fadhli
Editor: Ahmad Robith

Artikel Materi Kultum Ramadhan sebelumnya:

Topik Terkait

Muhammad Faishal Fadhli

Pengkaji Literatur Islami. Almnus Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor angkatan 14.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *