Majelis Ramadhan #7 Tradisi Menulis Para Ulama dakwah id

Majelis Ramadhan #7: Tradisi Menulis Para Ulama

Terakhir diperbarui pada · 497 views

Artikel yang berjudul Tradisi Menulis Para Ulama ini adalah seri #7 dari serial Majelis Ramadhan.

***

 

Dalam khazanah intelektual para ulama, menulis merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas keilmuan mereka. Selain kemampuan verbal dalam penyampaian, menulis juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi para Ulama sejak kurun abad pertama Hijriyah.

Tradisi menulis para Ulama Islam telah menjadi salah satu akar peradaban yang memberikan sumbangsih transformasi ilmu dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini terbukti dengan karya-karya Ulama generasi awal yang masih dapat kita nikmati sampai hari ini.

Ini tidak mungkin terjadi jika dahulu para ulama tidak membangun tradisi menulis. Walhasil, tradisi menulis ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan intelektual para ulama Islam yang lestari sampai hari ini.

 

Melacak Tradisi Menulis

Munculnya tradisi menulis bisa kita lacak semenjak era Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Para sahabat dahulu sudah mulai melakukan penulisan atas wahyu yang turun kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam.

Penulisan al-Quran merupakan awal tradisi menulis yang dilakukan oleh sahabat ketika itu. Selain menghafalkan al-Quran mereka juga menuliskan ayat-ayat al-Quran melalui media penulisan yang sangat seadanya; di pelepah kurma, potongan kulit, batu cadas, ataupun tulang-tulang Unta.

Ahwal tulis-menulis ini sudah menjadi perhatian Nabi shalallahu alaihi wasallam sejak tahun kedua Hijriyah. Salah satu bukti historis yaitu; Nabi shalallahu alaihi wasallam menjadikan tebusan bagi para tawanan perang Badar adalah mengajarkan anak-anak kaum Muslimin Madinah belajar baca—tulis.

Para tawanan perang Badar dimintai tebusan untuk kebebasan mereka. Adapun mereka yang tidak mampu menebus dirinya, diminta untuk mengajarkan sepuluh anak-anak Madinah untuk belajar membaca dan menulis sebagai ganti tebusannya. (As-Sirah an-Nabawiyah ash-Shahihah, Akram Dhiya’ al-Umari, 368)

Materi Khutbah Jumat: Sahabat Muadz bin Jabal, Pemimpin para Ulama

Ini merupakan bentuk perhatian Nabi shalallahu alaihi wasallam guna membangun tradisi intelektual bagi perkembangan ilmu pengetahuan kaum muslimin di masa depan. Walhasil Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sukses membuat gebrakan anti buta huruf kaum muslimin Madinah kala itu.

Seperti penuturan Syaikh Ali ash-Shalabi, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berhasil memulai gerakan literasi (baca-tulis) di tengah kaum muslimin dan mengikis fenomena buta huruf. Kelak hal ini akan menjadi embrio dimulainya gerakan intelektual menulis di abad-abad berikutnya. (Sirah Nabawiyah, Ali Ash-Shalabi, 599)

Semangat literasi dalam Islam ini sudah seharusnya demikian. Hal ini didukung dengan perintah berupa wahyu yang Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam terima pertama kali, yaitu surat Al-Alaq ayat 1-5 yang berisi urgensi membaca dan menulis.

Ada ulasan menarik yang disampaikan oleh Imam Al-Qurthubi ketika menjelaskan ayat keempat dalam surat Al-Alaq. Allah subhanahu wata’ala berfirman,

ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ

Yang mengajar (manusia) dengan pena.” (QS. Al-Alaq: 4)

“Maksud dari pena dalam ayat ini adalah tulisan; bahwa Allah mengajarkan manusia melalui tulisan. Sebagaimana penjelasan dari riwayat Qatadah, ia berkata, ‘pena adalah nikmat besar yang Allah berikan, sekiranya bukan karenanya (tulisan) tidak akan tegak agama ini, dan tidak akan baik kehidupan manusia.”

Beliau melanjutkan, “(Melalui ayat ini pula) Allah mengingatkan kita akan keutamaan ilmu dan menulis yang di dalamnya terdapat manfaat yang besar, tanpanya banyak kemanfaatan tidak akan kita dapat. (Tanpa menulis) Ilmu-ilmu tidak tersusun, hikmah-hikmah tidak didapat, dan sejarah umat terdahulu tidak tercatat.” (Al-Jami Li Ahkami Al-Quran, Imam Al-Qurthubi, 22/377)

Ayat inilah yang menjadi landasan teologis dimulainya gerakan penulisan ilmu pada era Rasulullah dan para sahabat. Melalui gerakan ini pula tonggak awal perubahan; dari buta huruf menjadi generasi melek literasi.

Tradisi menulis kurang populer di tengah bangsa Arab. Bukan berarti tidak ada. Ada, akan tetapi sangat sedikit sekali. Hanya suku-suku Arab Utara yang lebih dominan dalam tradisi menulis, karena dekatnya mereka dengan peradaban Romawi dan Persia.

Orang-orang Arab pra-Islam banyak menulis di batu-batu sebagai media penulisan. Data sejarah terkait ini sudah ada sejak abad ketiga Masehi. Selain itu, pada masa pra-Islam juga telah ada beberapa kuttab (tempat belajar) yang digunakan untuk mengajarkan anak-anak belajar menulis syair dan sejarah bangsa Arab.

Meskipun telah ada beberapa kuttab, tradisi menghafal tetap lebih dominan di tengah bangsa Arab dan hal tersebut menjadi keunggulan sekaligus kebanggaan tersendiri bagi mereka. Bahkan saking tidak populernya keahlian menulis pada masa itu, kemampuan menulis bagi sebagian orang-orang Arab dianggap sebagai aib yang memalukan. (Usul al-Hadist: Ulumuhu wa Musthalahuhu, Muhammad ‘Ijaj al-Khatib, 139-140)

Akhirnya, tradisi baca-tulis yang tidak populer dalam kebiasaan masyarakat Arab, dan pola berpikir seperti itulah yang berhasil Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ubah. Pada kemudian hari, hal ini justru menjadi bagian tradisi intelektual yang menjadi wariskan lintas generasi.

 

Aktivitas Menulis pada Masa Nabi dan Sahabat

Pada masa Nabi, para sahabat sudah terbentuk dan mendapat tugas secara khusus untuk menulis sesuai keperluan yang berbeda-beda. Sahabat yang menulis al-Quran saja ada 40 orang. Ada juga yang mendapat tugas menulis surat diplomatik, ada yang menjadi penulis data harta zakat, dsb.

Islam menaruh perhatian yang begitu besar dalam penulisan ilmu, ini terbukti dengan adanya hadits khusus terkait ini. Seperti riwayat Abdullah bin Amru bin ‘Ash, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,

قَيِّدُوا الْعِلْمَ، قُلْتُ: وَمَا تَقْيِيدُهُ؟ قَالَ: كِتَابَتُهُ

Ikatlah ilmu. Aku bertanya, ‘Apa pengikatnya?’, beliau menjawab, ‘(dengan cara) menuliskannya.” (HR. Al-Hakim No. 309)

Pada masa Nabi shalallahu alaihi wasallam, para sahabat lebih fokus pada penulisan al-Quran, dan hal ini yang menjadi prioritas utama. Bahkan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang para sahabat untuk menulis sabda-sabda beliau.

Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda,

لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ

Janganlah kalian menuliskan (hadits) dariku, dan barang siapa yang menulis sesuatu dariku selain al-Quran hendaklah ia menghapusnya.” (HR. Muslim No. 5326)

Pada mulanya Nabi shalallahu alaihi wasallam melarang melakukan penulisan kecuali untuk menulis al-Quran, sebagai langkah kehati-hatian agar tidak tercampur antara firman Allah dan sabda beliau.

Akan tetapi larangan dalam hadis ini kemudian di-mansukh (dihapus) dengan hadis lainnya yang membolehkan untuk melakukan penulisan hadits. (Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi, 10/127-128)

Selain menulis al-Quran, beberapa sahabat lebih memfokuskan diri menulis hadits-hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam, seperti Abdullah bin Amru bin al-Ash. Menukil riwayat  dari Abu Hurairah,

“Tidak ada sahabat Nabi shalallahu alaihi wasallam yang lebih banyak mengambil hadis Nabi daripada aku selain Abdullah bin Amru. Adapun dia mencatatnya sedangkan aku tidak.” (Fath al-Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani, 1/217)

Artikel Tsaqafah: Definisi, Hukum, Macam, Dalil, dan Keutamaan Sedekah

Perlahan tapi pasti, iklim literasi semakin besar dan melebar. Suasana intelektual pun semakin hangat. Para sahabat menjadikan masjid Nabawi sebagai sentral kegiatan keilmuan; sebagai tempat belajar al-Quran dan ilmu syar’i sekaligus belajar membaca dan menulis.

Para sahabat yang memiliki kemampuan literasi yang baik mengajarkan sahabat-sahabat lainnya, serta anak-anak Madina untuk belajar baca-tulis. Sehingga generasi sahabat junior menjadi generasi-generasi yang melek literasi. (Usul al-Hadist: Ulumuhu wa Musthalahuhu, Muhammad ‘Ijaj al-Khatib, 142-143)

Pasca-wafatnya Nabi shalallahu alaihi wasallam, para sahabat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Mereka mengajarkan ilmu kepada umat di masjid-masjid dan halaqah-halaqah ilmu. Ilmu pun tersebar, iklim intelektual kaum muslimin semakin pekat, dan kemudian lahirlah para ulama-ulama produktif yang menghasilkan banyak karya di berbagai cabang keilmuan yang memberi manfaat bagi dunia.

 

Tradisi Menulis Pasca-Era Sahabat dan Puncak Gerakan Literasi Islam

Setelah era sahabat, generasi setelah mereka melanjutkan tradisi menulis ini. Shalih bin Kisan rahimahullah meriwayatkan, pada satu kesempatan beliau berdiskusi dengan Ibnu Syihab az-Zuhri. Terkisah bahwa mereka berdua dalam masa-masa mencari ilmu bersama dimana keduanya mencatat hadits-hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam.

“Setelah kami menyelesaikan pencatatan hadits, dia (az-Zuhri) mengajakku untuk mencatat perkataan para sahabat, akan tetapi aku enggan melakukannya. Hingga akhirnya ia sukses mengungguliku, sedangkan aku kalah.” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir , 9/376-377)

Pada era setelah sahabat ada sekian nama yang banyak mencatat riwayat-riwayat tentang maghazi (peperangan) Nabi, sebut saja seperti Aban bin Utsman bin Affan (w. 96 H) yang memiliki catatan periwayatan tentang maghazi Nabi yang beliau himpun dalam lembaran-lembaran kulit.

Nama sahabat lain yang juga melakukan hal yang sama adalah; Urwah bin Zubair, Wahb bin Munabbih, Ashim bin Umar bin Qatadah, dan termasuk az-Zuhri.

Nama-nama inilah yang termasuk penghulu para ulama. Mereka menulis riwayat hidup Nabi dalam bentuk tulisan yang lebih rapi dalam pembagian bab dan kronologi peristiwa. Penulisan riwayat-riwayat ini masih tergolong klasik sekali, ditulis di lembaran-lembaran kulit pada abad pertama Hijriyah. (Mashadir as-Sirah an-Nabawiyah wa Taqwimuha, Faruq Hamadah, 65-69)

Tradisi menuntut ilmu yang kental dalam khazanah peradaban Islam ditambah dengan iklim intelektual yang semakin menggebu, menjadikan tradisi literasi Islam seperti cendawan di musim hujan.

Keadaan seperti ini menemui puncaknya pada masa kekhalifahan Abbasiyah; gerakan intelektual terakomodasi dan didukung oleh negara sehingga menciptakan tradisi literasi yang semakin kuat dan khazanah keilmuan yang lebih luas.

Pada masa kekhalifahan Harun ar-Rasyid dan anaknya, al-Ma’mun, kegiatan penulisan ilmu dan iklim keilmuan begitu digalakkan. Sejarah mengenalnya sebagai zaman keemasan Islam. Para ulama berlomba-lomba menuliskan karya mereka yang diakomodasi oleh negara, melalui perpustakaan yang bernama Baitul Hikmah.

Para penulis, penerjemah, dan pengarang menulis kitab-kitab di perpustakaan ini. Mereka bekerja di bawah naungan divisi penulisan dan penelitian perpustakaan. Di tempat inilah para Ulama mempublikasikan hasil penelitian mereka dalam banyak bidang disiplin ilmu.

Setelah selesai, buah dari karya-karya tulis tersebut disumbangkan untuk perpustakaan, kemudian dimanfaatkan seluas-luasnya demi kemaslahatan kaum muslimin. Sebagai wujud apresiasi, negara memberikan bayaran yang besar atas jerih payah penulisan karya ilmiah mereka. (Sumbangan Peradaban Islam Pada dunia, Radghib as-Sirjani, 245)

Semangat mencari ilmu yang tinggi dan diselaraskan dengan kebijakan negara yang mendukung gerakan ilmiah tersebut, menciptakan iklim keilmuan yang begitu harmoni. Gerakan keilmuan melaju pesat sehingga menjadikan peradaban Islam maju dengan ilmu pengetahuan melampaui peradaban lainnya pada masa itu.

Perhatian besar Harun ar-Rasyid terhadap ilmu pengetahuan membuat setiap orang berlomba untuk mencari ilmu, berkarya, dan menyebarkan ilmunya. Harus ar-Rasyid berhasil menciptakan atmosfer keilmuan yang luar biasa.

Hal ini diakui oleh Abdullah bin Mubarak yang memberikan komentar tentang perhatian pemerintah terhadap ilmu di era Harun ar-Rasyid,

“Tidak ada yang memberikan pemeliharaan dan perhatian (terhadap ilmu dan perangkatnya) setelah zaman Rasulullah dan khulafa’ rasyidin melebihi zaman Ar-Rasyid.”

Indikasi yang menjadi perhatian Ibnu Mubarak adalah; banyak lahirnya ulama-ulama muda yang pakar di berbagai bidang keilmuan. Beliau melanjutkan,

“(Pada masanya) seorang bocah 12 tahun sudah menghafal al-Quran. Banyak anak belia telah menjadi pakar dalam bidang fikih dan ilmu. Mereka meriwayatkan hadits, mengumpulkan diwan-diwan (kitab sya’ir), dan menjadi pengajar atau penasihat. Padahal umur mereka masih belasan tahun.” (Al-Imamah wa as-Siyasah, Abdullah bin Muslim ad-Dainuri, 2/157)

Majelis Ramadhan #2: Belajar Agama, Emang Penting?

Pada masa kekhalifahan Abbasiyah (132 H – 656 H), lahir juga ulama-ulama besar dengan karya fenomenal yang bertahan hingga hari ini. Sebut saja Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (w.310 H), ulama ahli tafsir dan sejarah yang selama hidupnya berhasil membuahkan karya sebanyak 358.000 lembar! (Kisah hidup Ulama Rabbani, Abdul Fattah bin Muhammad, 64)

Adalah Al-Hafidz Ibnu Syahin (w.385 H), Imam adz-Dzahabi menyebutkan biografi beliau, mengutip pengakuan muridnya, Abul Hasan al-Muhtadibillah,

“Ibnu Syahin pernah mengatakan kepada kami bahwa ia telah menyusun 330 karya ilmiah, di antaranya at-Tafsir al-Kabir (1000 jilid), Al-Musnad (1300 jilid), at-Tarikh (150 jilid), az-Zuhdu (100 jilid).” (Tadzkiratu al-Huffadz, Imam Adz-Dzahabi, 3/987)

Di antara ulama yang begitu semangat menulis, yang paling menakjubkan adalah Abul Wafa’ Ibnu Aqil al-Baghdadi (w.513 H). Beliau pernah menulis sebuah kitab kolosal yang berisi tafsir, fikih, usul fikih, hikayat, tarikh, dan syair. Kitab yang diberi nama al-Funun ini terdiri dari 800 jilid! (Kisah hidup Ulama Rabbani, Abdul Fattah bin Muhammad, 77)

Ini hanya beberapa nama para ulama yang punya tradisi menulis yang begitu luar biasa, masih ada ribuan nama ulama dengan karya tulis yang tidak kalah besar dan megahnya. Tentu tulisan singkat ini tidak mampu untuk memuatnya.

Tradisi menulis dalam khazanah keilmuan Islam telah berjalan dalam kurun ribuan tahun. Meskipun harus kita akui, produktivitasnya semakin ke sini semakin menurun. Hal ini semestinya menjadi cambuk bagi para penuntut ilmu guna terus menjaga semangat menghidupkan tradisi menulis ini.

Sebagai wujud menjaga tradisi mulia para ulama terdahulu dan bagian dari upaya melestarikan khazanah keilmuan Islam yang selalu dibutuhkan umat setiap zaman. Wallahu alam (Fajar Jaganegara/dakwah.id)

 

Baca juga artikel ADAB atau artikel menarik lainnya karya Ustadz Fajar Jaganegara.

 

Penulis: Ustadz Fajar Jaganegara
Editor: Sodiq Fajar

Topik Terkait

Fajar Jaganegara, S.pd

Pengagum sejarah, merawat ingatan masa lalu yang usang tertelan zaman. Mengajak manusia untuk tidak cepat amnesia. Pengagum perbedaan lewat khazanah fikih para ulama. Bahwa dengan berbeda, mengajarkan kita untuk saling belajar dan berlapang dada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *