Ibunda Aisyah radhiyallahu 'anha Tertuduh Tapi Tak Bersalah-dakwah.id

Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, Tertuduh Tapi Tak Bersalah

Terakhir diperbarui pada · 1,812 views

Sudah menjadi kebiasaan Nabi mengundi nama-nama istrinya sebelum berangkat perang. Kali ini, tepatnya pada perjalanan Ghazwah Bani Musthaliq yang terjadi di bulan Sya’ban 6 Hijriyah, giliran Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dan Aisyah radhiyallahu ‘anha yang ikut.

Saat matahari tenggelam, kafilah jihad di bawah pimpinan Rasulullah itu, beristirahat setelah menempuh perjalanan yang melelahkan. Ketika malam semakin gelap, Aisyah baru tersadar bahwa kalung unik yang dipakainya terlepas di lokasi pemberhentian.

Mau tidak mau, karena Aisyah bersikeras hendak mencari kalung yang hilang sampai ketemu, perjalanan tidak bisa dilanjutkan. Nabi memerintahkan untuk menginap. Padahal, rencana awal hanya singgah sejenak sebab tempat itu jauh dari sumber air.

Tidak sedikit pasukan yang merasa kesal dengan keputusan ini.

Abu Bakar sendiri merasa malu akan keteledoran putrinya yang menyusahkan banyak orang karena harus menunggu lebih lama di tempat tak menyenangkan, hanya demi seuntai kalung. Adapun Aisyah radhiyallahu ‘anha punya alasan tersendiri: itu kalung kesayangan, pemberian ibunya, hadiah pernikahan.

Baca juga: Aisyah Istri Rasulullah yang Sangat Dibenci Kaum Syiah

Qaddarallah wa maa sya’a fa’ala. Persediaan air para pasukan sudah tinggal tetes terakhir.  Akibatnya, mereka tidak dapat berwudhu untuk melaksanakan shalat Subuh.

Tapi Allah Yang mengatur semua kejadian, mempunyai rencana tersendiri. Di detik-detik terakhir malam itu, wahyu tentang tayammum diturunkan kepada Nabi.

Keteledoran ini tak terkira akan menjadi pengantar sebuah syariat yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat.

Jika kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang suci. Sapulah mukamu dan tanganmu.” (QS. An-Nisa’: 43)

Setelah itu, mereka yang semula sempat mencibir Abu Bakar, balik berterima kasih kepadanya.

Inilah seuntai hikmah dari kekhilafan Ibunda Aisyah.

Lucunya, sampai siang hari dicari, kalung itu belum juga ditemukan. Namun pada saat Aisyah hendak mengikhlaskannya, unta yang ia tumpangi bangkit berdiri setelah berlutut sepanjang malam. Ternyata, kalung itu tergeletak di bawah unta tersebut.

Karena Ghazwah Bani Mushtaliq bukan termasuk perang besar, tidak ada kecamuk pertempuran yang berlangsung panjang. Hanya saja, pada perang ini, tampaklah watak asli kaum munafik yang ikut berperang semata memburu ghanimah. Dan apabila mereka bergabung di tengah-tengah pasukan kaum muslimin, mereka akan membuat onar dan kekacauan, serta menyebarkan api fitnah yang melemahkan persatuan. Di perang inilah satu per satu karakter licik mereka terungkap sampai turun firman Allah berkenaan dengan hal tersebut dalam QS. At-Taubah: 47.

 

Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha dan Kalung yang Hilang

Saat hendak pulang ke Madinah dari perang ini, untaian kalung Aisyah radhiyallahu ‘anha yang tidak terikat kuat, kembali terurai. Lagi-lagi ia terlambat menyadari bahwa perhiasaan berharganya itu terlepas dari lehernya.

Ketika itu, Ummu Salamah dan Aisyah diketahui sudah memasuki haudaj alias sekedup: semacam bilik kamar di atas unta. Orang-orang tidak sadar bahwa Aisyah sempat keluar dari haudajnya untuk mencari kalung.

Mereka juga kurang jeli; tidak merasakan bahwa haudaj Aisyah menjadi lebih ringan karena tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Sehingga mereka pun berangkat begitu saja menggiring unta-unta itu ke arah Madinah.

Setelah Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha berhasil menemukan kalungnya, ia bersegera menyusul pasukan dan kembali ke perkemahan. Sesampainya di sana, ternyata sudah tidak ada siapa-siapa.

Materi Khutbah Jumat: Yakinlah, Pertolongan Allah itu Dekat!

Mungkin karena kelelahan, mata Aisyah terkantuk. Ia pun sempat tertidur selama beberapa saat. Ketika itulah Shafwan bin Mu’atthal yang juga tertinggal dari pasukan melihat Ibunda Aisyah. Ia langsung terbangun saat mendengar suara Shafwan mengucap istirja’, “Inaalillahi wa innaa ilaihi raji’unIni istri Rasulullah!”

Shafwan menawarkan untanya kepada Ibunda Aisyah. Sedangkan pasukan yang lebih dahulu beranjak ke Madinah, kini sudah sampai di pos pemberhentian berikutnya.

Mereka menurunkan haudaj Aisyah dari untanya dan diletakkan di atas tanah. Karena Ibunda Aisyah tidak segera keluar dari sekedup itu, mereka kira ia sedang tertidur di dalamnya. Namun, alangkah terkejutnya mereka tatkala melihat Aisyah datang menunggangi unta yang dikawal oleh Shafwan bin Mu’atthal.

Pemandangan ini menjadi isu yang digoreng oleh golongan munafik.

Skandalisasi dimulai. Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha dituduh selingkuh. Fitnah mereka jauh lebih keji daripada gosip receh kaum lambe turah hari ini.

Betapa tidak, hoax yang diviralkan komplotan Abdullah bin Ubay bin Salul ini mengguncang Madinah. Kelanggengan rumah tangga Nabi pun berada di ujung tanduk. Berita palsu menyebar dari mulut ke mulut dengan cepatnya.

Saat Nabi menyadari keluarganya diperbincangkan oleh masyarakat, sikapnya terhadap Aisyah sedikit berubah.

Tatkala Aisyah jatuh sakit sepulang dari Ghazwah Bani Mushtaliq, Nabi yang biasanya memanjakan Aisyah, kini bersikap agak dingin. Maka Aisyah pun berpamitan untuk pulang ke rumah orang tuanya.

Alih-alih ikut menyebarkan propaganda jahat, istri-istri Nabi yang lain justru mengakui kelebihan dan kebaikan Aisyah. Betapapun mereka sering merasa cemburu kepadanya, hati mereka tidak buta. Inilah salah satu hal paling menarik saat peristiwa Haditsul Ifki terjadi.

Adapun sahabat Nabi yang paling vokal ikut berkontribusi besar menyebarkan tuduhan ini ada tiga orang: Hasan bin Tsabit, Mishtah bin Utsatsah dan Hamnah binti Jahsy. Radhiyallahu ‘anhum. Apa motif keterlibatan mereka?

Hamnah binti Jahsy, mengharapkan agar posisi Aisyah sebagai istri tercinta Nabi, bisa digeser dan digantikan oleh saudarinya: Zainab binti Jahsy.

Sedangkan Mishtah, hanya Allah yang tahu kenapa ia ikut termakan isu. Yang jelas, penyebar-luasan cerita dusta sangat gencar dilakukan kaum munafik. Sehingga siapa pun bisa terpengaruh.

Baca juga: Golongan Munafik Lebih Berbahaya dari Musuh, Kenali Sifat dan Karakter Mereka!

Adapun Hasan bin Tsabit, sebagaimana diketahui, ia adalah seorang penyair. Fungsi syair ketika itu persis seperti fungsi media masa dan media sosial hari ini: bisa digunakan untuk menyanjung orang setinggi-tingginya, bisa juga untuk menjatuhkan orang serendah-rendahnya.

Hasan, sebagai awak media, agaknya kurang berhati-hati dalam memilih berita.

Kita pun terkadang seperti Hasan. Menyesal belakangan karena ikut meramaikan sesuatu yang sedang viral sebelum memastikan validitasnya. Bukan begitu?

 

Jaminan Allah ‘azza wajalla Atas Kehormatan Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha

Rasulullah berjalan menuju rumah Aisyah. Satu bulan telah berlalu. Sedangkan wahyu yang menjelaskan tentang kasusnya belum kunjung turun. Sungguh berat hari-hari yang harus dijalani oleh baginda Nabi.

Ada kebingungan, kegalauan, dan rasa sakit tersebab fitnah yang disebarkan oleh orang-orang munafik. Sangat dramatis memang. Sebab, selama Aisyah sakit, baru hari ini Rasulullah datang menjenguknya.

Aku menangis semalam suntuk,” kata Aisyah.

Aku pun menangis di malam-malam berikutnya. Sampai-sampai, ayah ibuku berkata bahwa tangisanku kelak akan menghancurkanku.”

Sangat wajar jika kedua orang tua Aisyah mengkhawatirkan hal buruk itu terjadi. Mengingat ia hampir tidak mau makan dan minum. Yang dilakukannya hanya menangis dan terus menangis.

Badai fitnah telah merenggut keceriaannya.

Adakah fitnah yang lebih besar daripada kedustaan yang menuduh kehormatan wanita mulia, padahal ia tidak bersalah? Dan ia adalah putri dari seorang “Ash-Shiddiq”, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!

Rasul masuk ke kamar Aisyah. Terlihat di sana, Aisyah terbaring lemas di atas ranjang. Hampir-hampir ia tak sanggup menggerakkan anggota tubuhnya.

Rasulullah memandanginya. Sungguh, perempuan yang sedang terkulai itu adalah si periang yang sangat ia cintai. Istri tersayang yang sering mencandainya, menggodanya, dan memanjakannya.

Sebelum desas-desus menyudutkan keluarga mereka, kehidupan Nabi Muhammad dan Ibunda Aisyah berjalan dengan indah. Ketika Nabi ditanya siapa manusia yang paling beliau cintai, nama Aisyah-lah yang disebut. Istri paling istimewa yang pernah digendong dan diajak lomba lari.

Kisah kasih yang manis sekali.

Baca juga: Begini Karakter Munafik Ketika Ada Isu

Namun, keharmonisan itu mendadak sirna ketika fitnah tersebar demikian luasnya ke seantero Madinah.

Wahai Aisyah,” kata Nabi.

Jika Engkau tidak bersalah, Allah akan membelamu. Namun jika Engkau berbuat dosa, maka bertaubatlah. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan penerima taubat.”

Setelah sebulan penuh tidak saling menyentuh dan tidak saling duduk bersanding, bukan kalimat seperti ini yang diharapkan Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Maka tersebab mendengar pertanyaan Nabi, “Seketika air mataku mengering,” kata Aisyah.

Wahai Rasul, mungkinkah engkau memercayai kata-kata mereka?”

Kemudian Aisyah melihat ayahnya, “Ayah, tolong jawab pertanyaan Rasulullah.”

Abu Bakar pun menangis, “Putriku, demi Allah, aku tidak tahu bagaimana menjawabnya.”

Lalu Aisyah mendatangi ibunya, “Ibu, tolong jawab pertanyaan Rasulullah. Demi Allah, aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.”

Aisyah terdiam. Lalu ia melanjutkan kata-katanya, “Aku tahu, kalian telah mendengar berita ini dan informasi tersebut memengaruhi hati kalian. Maka, jika aku katakan bahwa aku memang melakukannya, padahal Allah tahu aku tidak melakukannya, kalian akan langsung percaya. Namun sekiranya aku katakan aku tidak melakukannya, dan Allah pun tahu aku memang tidak melakukannya, kalian tidak akan mempercayai kata-kataku. Demi Allah, tidak ada lagi yang bisa aku katakan kecuali apa yang dikatakan ayahnya Yusuf (Nabi Ya’qub), Fashabrun jamiilSabar itu indah…”

Setelah itu Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha kembali berbaring di atas kasur. Sekiranya ia tahu bahwa Nabi pernah membelanya di depan publik dari mimbar, tidak pelak lagi, ia pasti akan senang.

Tapi, hari itu, ia mengira Nabi telah terpengaruh hasutan mereka. Padahal, Nabi sendiri sangat menanti-nati wahyu yang dapat menjawab permasalahannya.

Tidak lama kemudian, ketika Rasul masih di rumah sahabat dan bapak mertuanya, beliau diliputi rasa sesak mendadak yang kerap beliau alami saat menerima wahyu. Keringatnya bercucuran, meskipun cuaca hari itu agak dingin.

Setelah beliau pulih dari rasa sesak, beliau berkata dengan nada suara bergetar penuh kegembiraan, “Wahai Aisyah, segala puji bagi Allah, karena Dia telah mengumumkan bahwa engkau tidak bersalah.”

Baca juga: Trend Menyebarkan Berita Dusta di Era Sosial Media

Aisyah menceritakan kejadian ketika itu, “Lantas ibuku berkata, ‘Bangunlah dan temuilah Rasulullah. Berterima kasihlah kepadanya.”

Namun aku menjawab, “Tidak, aku hanya akan berterima kasih kepada Allah. Aku tidak pernah mengira Allah akan menurunkan sebuah ayat dalam Al-Quran terkait masalahku ini. Karena menurutku, kasusku terlalu ringan untuk diungkapkan dalam Al-Quran. Namun, aku berharap, semoga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sebuah gambaran dalam mimpinya yang membersihkanku dari tuduhan itu.”

Turunlah ayat-ayat yang membela kehormatan Aisyah. Yaitu surat An-Nuur ayat 11, dan 15-17.

Dalam Al-Quran, ada tiga orang yang dituduh berzina dan Allah menolong mereka: Nabi Yusuf, ‘alaihissalam, Maryam ibu Nabi Isa ‘alaihissalam dan Aisyah binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma.

Jika Yusuf ‘alaihissalam ditolong Allah dengan wasilah kesaksian salah seorang anggota keluarga kerajaan dan Maryam dibebaskan dari tuduhan dengan perantara putranya, Aisyah radhiyallahu ‘anha dibela langsung oleh Allah dengan menurunkan beberapa ayat dalam Al-Quran.

Maka, tak berlebihan kiranya jika dikatakan, bahwa dalam hal ini, Ibunda Aisyah lebih istimewa di antara mereka bertiga. Orang-orang yang tertuduh, tapi tak bersalah. (Muhammad Faishal Fadhli a.k.a Ichang Stranger/dakwah.id)

 

REFERENSI:

Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiq Al-Makhtum Sirah Nabawiyah, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan Ke-24, tahun 2007.
Al-Hafidzh Imaduddin Abu Ismail Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil ‘Adzhim, Darul Aqiidah, jilid Ke-3, tahun 2008.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoril Ibaad, jilid 3 “Al-Jihad wal Ghozawat”, Mu’assasah Ar-Risalah, tahun 1998.

 

 

Topik Terkait

Muhammad Faishal Fadhli

Pengkaji Literatur Islami. Almnus Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor angkatan 14.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *