Hadits Puasa Rajab Apakah Ada yang Shahih dakwah.id

Hadits Puasa Rajab Apakah Ada yang Shahih Sebagai Dalil Pembolehannya?

Terakhir diperbarui pada · 87,966 views

Banyak sekali didapati pernyataan para ulama yang menyebutkan tidak adanya hadits puasa Rajab yang shahih sehingga bisa dijadikan dalil dalam pembolehan puasa Rajab.

Bulan Rajab adalah bulan yang mulia. Bulan ini termasuk salah satu di antara empat bulan haram yang Allah muliakan, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, al-Muharram, dan Rajab.

Allah ‘azza wajalla berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah adalah 12 bulan di dalam kitab Allah pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dari antaranya terdapat empat bulan Haram (bulan mulia). Demikian itu adalah ketentuan dalam agama yang lurus (Islam). Maka janganlah kalian berbuat zalim kepada diri kalian sendiri (yaitu berbuat kemaksiatan) dalam bulan-bulan Haram tersebut.” (QS. At-Tawbah: 36)

Memang banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan puasa Rajab, namun seluruh hadits tersebut derajat haditsnya dha’if, bahkan maudhu’, bahkan ada juga yang munkar.

Ada beberapa hadits yang dianggap memiliki kandungan hukum pembolehan puasa Rajab.

Namun pembolehan di sini dalam arti pembolehan secara umum, bukan pembolehan yang berangkat dari pemahaman bahwa puasa Rajab memiliki keutamaan khusus atau lebih utama dari puasa di bulan-bulan yang lain. Hadits ini pun jumlahnya juga tidak banyak.

 

Hadits Puasa Rajab yang Derajatnya Shahih

Sebagaimana hadits puasa Asyura, hadits puasa Rajab juga ada yang shahih.

Berikut ini beberapa hadits shahih yang menunjukkan bolehnya puasa Rajab dalam arti puasa umum sebagaimana puasa sunnah lainnya, bukan puasa khusus yang memiliki keutamaan disbanding puasa lainnya.

Dari Utsman bin Hakim al-Anshari radhiyallahu anhu, ia berkata, Aku pernah bertanya kepada Said bin Jubair tentang puasa Rajab, saat itu kami sedang berada di bulan Rajab. Lalu beliau menjawab, “Aku pernah mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa hingga kami menyangka beliau tidak berbuka; dan beliau berbuka hingga kami menyangka beliau tidak berpuasa.”

Dalam riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,

كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ، وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ.

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa hingga kami menyangka beliau tidak berbuka; dan beliau berbuka hingga kami menyangka beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali di bulan Ramadhan. Dan aku juga tidak pernah melihat satu bulan yang beliau banyak berpuasa padanya kecuali Sya’ban.” (Shahih Muslim, 6/37, no. 1960. Sunan Abu Daud, 6/406, no. 2075)

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma, beliau berkata, aku berkata,

يا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalan satu bulan seperti halnya puasamu di bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Itulah bulan yang dilalaikan manusia yang terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan yang padanya amal perbuatan diangkat kepada Rabb semesta Alam. Dan aku senang seandainya amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.” (Sunan an-Nasa-i, 8/59, no. 2317. Musnad Ahmad, 44/228, no. 20758, hadits hasan)

Hadits di atas mengandung makna penyerupaan bulan Rajab dengan Ramadhan. Pada bulan tersebut orang-orang menyibukkan diri dengan ibadah layaknya saat Ramadhan, sehingga mengalihkan perhatian mereka dari bulan Sya’ban dengan amalan puasa.

Pengkhususan bulan Rajab tersebut dengan puasa mengandung makna adanya keutamaan puasa Rajab dan itulah yang menjadi kebiasaan mereka. (Mawahibul Jalil, 2/408)

Dari Abdullah sahaya Asma’ binti Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Asma’ pernah mengutusku kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma untuk menyampaikan sebuah pesan. Beliau berkata,

بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَرِّمُ أَشْيَاءَ ثَلَاثَةً الْعَلَمَ فِي الثَّوْبِ وَمِيثَرَةَ الْأُرْجُوَانِ وَصَوْمَ رَجَبٍ كُلِّهِ

“Telah sampai kepada saya bahwasanya engkau telah mengharamkan tiga hal; pakaian yang terbuat dari campuran sutra, pelana sutra yang berwarna merah tua, dan berpuasa di bulan Rajab seluruhnya.”

فَقَالَ لِي عَبْدُ اللَّهِ أَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ رَجَبٍ فَكَيْفَ بِمَنْ يَصُومُ الْأَبَدَ وَأَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ الْعَلَمِ فِي الثَّوْبِ   فَإِنِّي سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا يَلْبَسُ الْحَرِيرَ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فَخِفْتُ أَنْ يَكُونَ الْعَلَمُ مِنْهُ وَأَمَّا مِيثَرَةُ الْأُرْجُوَانِ فَهَذِهِ مِيثَرَةُ عَبْدِ اللَّهِ فَإِذَا هِيَ أُرْجُوَانٌ

Abdullah bin ‘Umar berkata kepadaku; ‘Mengenai berpuasa di bulan Rajab yang telah kamu singgung tadi, maka bagaimana dengan orang yang berpuasa selama-lamanya? Adapun mengenai campuran sutera pada pakaian, maka sebenarnya aku pernah mendengar Umar bin Khaththab berkata; ‘Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya orang yang memakai kain sutra, niscaya ia tidak akan mendapat bagian di akhirat kelak.’ Oleh karena itu, saya khawatir kalau-kalau sutera pada kain itu termasuk bagian darinya. Sedangkan mengenai pelana sutra yang berwarna merah tua, maka ketahuilah bahwasanya itu adalah kasur ‘Abdullah yang ternyata berwarna merah tua.

فَرَجَعْتُ إِلَى أَسْمَاءَ فَخَبَّرْتُهَا فَقَالَتْ هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْرَجَتْ إِلَيَّ جُبَّةَ طَيَالِسَةٍ كِسْرَوَانِيَّةٍ لَهَا لِبْنَةُ دِيبَاجٍ وَفَرْجَيْهَا مَكْفُوفَيْنِ بِالدِّيبَاجِ فَقَالَتْ هَذِهِ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ حَتَّى قُبِضَتْ فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى يُسْتَشْفَى بِهَا

Lalu sayapun kembali kepada Asma’ binti Abu Bakar, untuk memberitahukan kepadanya tentang informasi yang telah saya peroleh. Tak lama kemudian ia memperlihatkan kepada saya sebuah jubah kekaisaran yang berwarna hijau dan berkerah sutera, sedangkan kedua sisinya dijahit dengan sutera seraya berkata; ‘Hai Abdullah, ini adalah jubah Rasulullah.’ Setelah itu, ia meneruskan ucapannya; ‘Jubah ini dahulu ada pada Aisyah hingga ia meninggal dunia. Setelah ia meninggal dunia, maka aku pun mengambilnya. Dan dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengenakannya. Lalu kami pun mencuci dan membersihkannya untuk orang sakit agar ia lekas sembuh dengan mengenakannya.” (Shahih Muslim, 10/411, no. 3855. Musnad Ahmad, 1/180, no. 176)

Hadits dari Zaid bin Aslam dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa Rajab. Beliau bersabda,

وَأَيْنَ هُمْ مِنْ صِيَامِ شَعْبَان؟

“Di mana mereka dari puasa Sya’ban?” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/513, Musnad Ibnu Rahawaih, 3/954)

Dalam lafadz yang lain, “Diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sebuah kaum yang melaksanakan puasa Rajab. Lalu beliau bersabda,

فَأَيْنَ هُمْ مِنْ شَعْبَان؟

Lalu di mana mereka dari puasa Sya’ban?”

Lalu Zaid berkata, “Puasa yang paling banyak dilaksanakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa Sya’ban.” (Mushannaf Abdur Razaq, 4/292, no. 7858)

 

Hadits Puasa Rajab yang Derajatnya Dha’if dan Maudhu’

Berikut ini beberapa hadits puasa Rajab yang derajatnya Dha’if dan Maudhu’. Perlu menjadi catatan, hadits yang ditampilkan di sini tidaklah semuanya. Masih banyak lagi hadits Dha’if dan Maudhu’ tentang puasa Rajab yang disebutkan dalam berbagai kitab hadits.

 

Hadits tentang Keutamaan Bulan Rajab

Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu,

فَضْلُ شَهْرِ رَجَبٍ عَلَى الشُّهُورِ كَفَضْلِ القُرآنِ عَلى سَائِرِ الكَلامِ، وَفَضْلُ شَهْرِ شَعْبانَ عَلَى الشّهُورِ كَفَضْلِي عَلَى سَائِرِ اْلأَنْبِياءِ، وَفَضْلُ شَهْرِ رَمَضانَ كَفَضلِ اللهِ عَلى سَائِرِ الْعِبَادِ

Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan lainnya seperti keutamaan al-Quran atas seluruh perkataan. Dan Keutamaan bulan Sya’ban atas bulan-bulan lainnya seperti keutamaanku atas seluruh Nabi. Keutamaan bulan Ramadhan seperti keutamaan Allah atas seluruh hamba-Nya.”

Hadits puasa Rajab ini derajatnya Maudhu’. Ibnu Hajar berkata, “Ini Hadits Maudhu’,” (Al-Fatawa-id al-Majmu’ah, 1/440) penulis kitab Kasyful Khafa’ juga mengatakan, “Ini Hadits Maudhu’, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Tabyinul Ajab.” (Kasyful Khafa’, 2/817) dalam kitab Tazkiratul Maudhu’at 1/810 juga disebutkan, itu hadits Maudhu’.

 

Puasa Satu Hari Sama dengan Puasa Seribu Tahun

Dari Harun bin ‘Intarah, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنّ شَهرَ رجبٍ شهرٌ عظيمٌ مَنْ صامَ مِنهُ يَوماً كَتبَ اللهُ لَه صومَ أَلْفِ سَنَةٍ وَمَنْ صامَ يَومَيْنِ كَتَبَ الله له صيامَ أَلْفَيْ سَنَةٍ وَمَنْ صام ثلاثةَ أيّامٍ كَتب الله له صيامَ ثلاثةِ ألفِ سَنة ومَن صامَ مِن رجبٍ سَبعةَ أيّامٍ أُغْلِقَتْ عنه أبوابُ جهنّمَ وَمَن صامَ مِنهُ ثَمانِيَةَ أيّامٍ فُتِحَتْ له أبوابُ الْجَنّةِ الثّمانِيةُ يَدخُلُ مِن أَيِّها يَشَاءُ وَمَنْ صَامَ مِنْهُ خَمْسَ عَشَرَ يَوْماً بُدِلَتْ سَيِّئَاتُهُ حَسَنَاتِ وَنَادَى مُنَادٍ مِنْ السَّمَاءِ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ فَاسْتَأْنَفَ الْعَمَلُ زَادَ زَادَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang agung, siapa saja yang puasa satu hari di bulan tersebut, Allah menetapkan untuknya puasa seribu tahun. Dan barangsiapa puasa dua hari, Allah tetapkan baginya puasa dua ribu tahun. Dan barangsiapa puasa tiga hari, Allah tetapkan baginya puasa tiga ribu tahun. Dan barangsiapa tujuh hari di bulan Rajab, Allah tutupkan baginya pintu Jahannam. Barangsiapa puasa delapan hari, Allah bukakan baginya delapan pintu Jannah yang dia bebas masuk dari pintu manapun. Barang siapa puasa 15 hari, Allah akan mengganti keburukannya dengan kebaikan lalu seruan dari langit terdengar, ‘Allah telah mengampunimu, maka amalan itu terus bertambah, dan Allah akan terus menambahnya.’”

Hadits puasa Rajab ini juga diriwayatkan dari Abu Said al-Khudhri radhiyallahu anhu. Sebagian ada yang menambahkan lafadz,

وَ فِي رَجَبٍ حَمَلَ اللهُ نُوْحًا فِي السَّفِيْنَةِ فَصَامَ رَجَب وَأَمَرَ مَنْ مَعَهُ أَنْ يَصُوْمُوا فَجَرَتْ بِهِمْ السَّفِيْنَةَ سَبْعَةَ أَشْهُرٍ أَخِرُ ذَلِكَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ أَهْبَطَ عَلَى الجُوْدِي فَصَامَ نُوْح وَمَنْ مَعَهُ وَالْوَحْشُ شُكْرًا للهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَفِي يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَلَقَ اللهُ الْبَحْرَ لِبَنِي إِسْرَائِيْلَ، وَفِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ تَابَ اللهُ عَزَّ وَجَلَ عَلَى آدَمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى مَدِيْنَةِ يُوْنُس، وَفِيْهِ وُلِدَ إِبْرَاهِيْمُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dalam bulan Rajab, Allah membawa Nuh dalam sebuah kapal. Lalu dia puasa Rajab dan memerintahkan orang-orang yang bersamanya untuk puasa. Kemudian berjalanlah tujuh bulan yang akhirnya adalah hari ‘Asyura. Maka dia turun ke bukit Judiy, lalu Nuh dan orang-orang yang bersamanya serta binatang buas puasa sebagai tanda syukur pada Allah Azza wa Jalla. Pada hari Asyura Allah membelah lautan untuk bani Israil, pada hari Asyura Allah menerima taubat Adam dan penduduk kota Yunus, dan pada hari itu dilahirkannya Ibrahim.”

Hadits puasa Rajab ini derajatnya Maudhu’. Para ulama hadits tidak ragu bahwa hadits ini bukan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tentang perawinya, Abu Hatim bin Hibban menyatakan, “Tidak boleh berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Harun.

Sebab ia dikenal banyak meriwayatkan perkataan munkar sampai-sampai hati para pendengarnya terpengaruh seolah-olah apa yang ia sampaikan adalah benar.

Asy-Syaukani berkata, “Hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dari Ali secara marfu’. Dalam kitab Al-La-ali’ al-Mashnu’ah fil Ahadits al-Maudhu’ah disebutkan, “Hadits itu tidak shahih, Harun bin Intrah dikenal meriwayatkan hadits munkar.”

Al-Haitsami mengatakan, “Hadits itu diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam kitab Al-Kabir. Di dalamnya ada perawi Abdul Ghafur, di adalah perawi yang matruk.” (Majma’uz Zawa-id, 3/433 no 5132)

Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Abu Bakar an-Niqash, dari Ahmad bin al-Abbas ath-Thabari, dari al-Kasa-i, dari Abi Mu’awiyah, dari al-A’masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abu Said Al-Khudhri. (Tabyinul ‘Ajab bi ma Warada fi Syahri Rajab, 41, Al-Fawa-id al-Majmu’ah fil Ahadits al-Maudhu’ah, no. 40)

Syaikh Nashiruddin al-Albani juga menghukumi hadits tersebut dengan maudhu’. (Silsilah adh-Dha’ifah, 5413, Al-Maudhu’at, 2/119, Al-La-ali’ al-Mashnu’ah fil Ahadits al-Maudhu’ah, 2/115, Tazihusy Syari’ah, 2/152, Mizanul I’tidal, no. 5540)

 

Puasa Sehari Sama dengan Puasa Setahun Penuh

Ada sebuah riwayat tentang hadits puasa Rajab ,

مَن صامَ يوماً مِن رجب كانَ كَصِيامِ سَنةٍ، ومن صام سَبعةَ أيّامٍ غُلِّقَتْ عَنهُ أبوابُ جَهَنّمَ ومَن صامَ ثَمانِيةَ أيّامٍ فُتِحَتْ لَه ثَمَانِيةُ أبوابِ الْجَنّةِ وَمن صامَ عَشْرَةَ أيّامٍ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ شيئاً إلاّ أعطاهُ اللهُ ومَن صامَ خَمسةَ عَشَرَ يوماً نَادى مُنادٍ فِي السّماءِ قَدْ غُفِرَ لَكَ مَا سَلَفَ

“Barangsiapa puasa sehari di bulan Rajab maka itu seperti puasa setahun penuh. Barangsiapa puasa tujuh hari, ditutupkan baginya pintu Jahannam. Barangsiapa puasa delapan hari, dibukakan baginya pintu jannah. Barangsiapa puasa sepuluh hari, Allah tidak ada permintaan apapun kecuali Allah beri. Barangsiapa puasa 15 hari, akan muncul seruan dari langit, ‘Telah diampuni dosa di masa lalumu.”

Dalam riwayat lain juga disebutkan, dari Abu Dzar ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍ عَدَلَ صِيَامَ شَهْرٍ وَمَنْ صَامَ مِنْهُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ غُلِقَتْ عَنْهُ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ السَّبْعَةِ وَمَنْ صَامَ مِنْهُ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ وَمَنْ صَامَ عَشَرَ أَيَّامٍ بَدَلَ اللهُ سَيِّئَاتَهُ حَسَنَاتِ وَمَنْ صَامَ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ نَادَى مُنَادٍ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا مَضَى فَاسْتَأْنَفَ الْعَمَلُ

“Barangsiapa puasa sehari di bulan Rajab, itu setara dengan puasa selama sebulan. Dan barangsiapa puasa tujuh hari, ditutupkan baginya pintu Neraka Jahim yang jumlahnya tujuh. Dan barangsiapa puasa delapan hari, dibukakan baginya pintu Jannah yang jumlahnya delapan. Dan barangsiapa puasa sepuluh hari, Allah mengganti keburukannya dengan kebaikan. Barangsiapa puasa delapan belas hari, seseorang akan berseru, “Allah telah mengampunimu, lalu lanjutkanlah beramal.”

Hadits puasa Rajab ini derajatnya maudhu’. Di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Al-Furat bin As-Sa-ib, dia status riwayatnya matruk. Ibnu Hajar dalam kitab Amaliyat menyebutkan bahwa para Ulama hadits sepakat akan kedha’ifan riwayat dari Furat bin as-Sa-ib. Risydin bin Saad dan Al-Hakam bin Marwan, keduanya juga dha’if (lemah) periwayatannya. (Al-Fawaid al-Majmu’ah, no. 41, 1/101)

Hadits itu diriwayatkan juga oleh al-Hakam bin Marwan, dari Furat bin Sa-ib, dari Maimun bin Mihran. Ada pula yang mengatakan dari Ibnu Abbas, sebagai ganti Abu Dzar, dikeluarkan oleh al-Hafizh Abu Abdullah al-Husain bin Fathawaih, dari Ibnu Syaibah, dari Saif bin Mubarak, Risydin dan Al-Hakam keduanya adalah matruk. (Tabyinul Ajab bi ma warada fi Syahri Rajab, 58)

Syaikh Nashiruddin al-Albani mengatakan, ‘Maudhu’.’ (Silsilah adh-Dha’ifah, no. 5413)

Dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu bin Mathar, dari Abdul Ghafur bin Abdul Aziz, dari ayahnya, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ مِنْ رَجَبٍ يَوْماً كَانَ كَسَنَةٍ

“Barangsiapa Puasa sehari di bulan Rajab, itu seperti (puasa) setahun.”

Adz-Dzahabi mengatakan, “Ini hadits mursal.” (Mizanul I’tidal fi Naqdir Rijal, 5/70) Al-Haitsami menyebutkan, “Ada yang mengatakan hadits itu diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam al-Kabir. Di dalamnya ada Abdul Ghafur dan dia statusnya matruk. (Majma’uz Zawa-id, 3/188)

Ali bin Zaid ash-Shada’i meriwayatkan, dari Ibnu Harun bin ‘Intarah, dari ayahnya, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu secara marfu’,

مَنْ صَامَ مِنْ رَجَبٍ يَوْمًا كُتِبَ لَهُ صَوْمٌ أَلْفَ سَنَةٍ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ يَوْمَيْنِ كُتِبَ لَهُ صَوْمٌ أَلْفَيْ سَنَةٍ

“Barangsiapa puasa sehari di bulan Rajab ditetapkan baginya puasa seribu tahun. Dan barangsiapa puasa dua hari di bulan Rajab maka ditetapkan baginya puasa dua ribu tahun.”

Hadits puasa Rajab ini derajatnya Dha’if. Dalam hadits tersebut terdapat dua perawi yang majhul. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abdul Malik bin Harun.

Ibnu Hajar menyebutkan, Shalih bin Muhammad mengatakan bahwa kebanyakan hadits yang diriwayatkannya adalah dusta (kidzb), Harun, bapaknya tsiqah, sementara Ya’kub bin Sufyan menagnggapnya dha’if. Al-Harbi dan lainnya mengatakan, lebih tsiqah darinya. Disebutkan pula dalam Al-Madkhal, dia meriwayatkan dari bapaknya banyak hadits maudhu’. As-Saji, al-‘Uqaili, Ibnu al-Jarud, dan Ibnu Syahin juga menyebutkan demikian dalam Adh-Dhu’afa’. (Lisanul Mizan, 4/72)

Asy-Syaukani sendiri juga mengklasifikasikan hadits tersebut sebagai hadits maudhu’. (Al-Fawa-id al-Majmu’ah, no. 40)

 

Puasa Sehari, Melihat Tempatnya di Jannah Sebelum Mati

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍ وَصَلَّى فِيْهِ أَرْبَعَ ركَعَاتِ يَقْرَأُ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ مِائَةَ مَرَّةٍ آيَةَ الْكُرْسِي، وَفِي الركْعَةِ الثَّانِيَةِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد مِائَةَ مَرَّةٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنُ الْجَنَّةَ أَوْ يَرَى لَهُ

“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan shalat empat rakaat, di rakaat pertama baca ‘ayat Kursiy’ seratus kali dan di rakaat kedua baca ‘surat al-Ikhlas’ seratus kali, maka dia tidak mati hingga melihat tempatnya di Surga atau diperlihatkan kepadanya (sebelum ia mati).”

Hadits puasa Rajab ini derajatnya Maudhu’. Al-Hafidz mengatakan, “Ini adalah hadits maudhu’ yang mayoritas perawinya adalah majhul, sementara salahsatu perawinya yang bernama ‘Utsman statusnya matruk di hadapan para ahli Hadits. (Tabyinul ‘Ajab bi ma warada fi syahri Rajab, 51)

Asy-Syaukani berkata, “Itu adalah hadits Maudhu’ dan kebanyakan perawinya majhul.” (Al-Fawa-id al-Majmu’ah fil Ahadits al-Maudhu’ah, no. 105)

 

Puasa Sehari Setara Sebulan

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ شَهْرِ رَجَبٍ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ شَهْراً، وَمَنْ صَامَ أَيَّامَ العَشَرِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ حَسَنَةً

“Barangsiapa puasa sehari di bulan Rajab maka Allah tetapkan baginya setiap hari seperti setiap bulan. Dan barangsiapa puasa sepuluh hari maka baginya setiap hari seperti satu tahun.”

Hadits puasa Rajab ini derajatnya Munkar. Pentahqiq kitab Fadha-il Syahri Rajab mengatakan, “Sebab kemunkaran hadits ini karena Ibrahim bin Abi Habbatil Yasa’ bin al-Asy’ats statusnya matruk.” Imam Al-Bukhari mengatakan hadits ini munkar. Imam an-Nasa-i mengatakan dha’if. Ad-Daruquthni mengatakan matruk.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

صَوْمُ أَوَّلِ يَوْمٍ مِنْ رَجَبٍ كَفَّارَةٌ ثَلَاثَ سِنِيْنَ، وَالثَّانِي كَفَّارَةٌ سِنْتَيْنِ، وَالثَّالِثُ كَفَّارَةٌ سَنَةً ثُمَّ كُلُّ يَوْمٍ شَهْراً

“Berpuasa di hari pertama bulan Rajab adalah penebus (dosa) selama tiga tahun, di hari kedua adalah penebus dua tahun dan di hari ketiga adalah penebus satu tahun, kemudian setiap satu hari (setelah itu) penebus satu bulan.”

Artikel terkait: Umrah di Bulan Rajab Apakah Ada Dalil yang Menganjurkannya?

Hadits puasa Rajab ini derajatnya Dha’if. Syaikh Nashiruddin al-Albani melemahkan hadits ini. (Dha’if al-Jami’, no. 3500, Mausu’ah al-Ahadits wal Atsar Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, no. 13407)

Dalam sebuah riwayat juga disebutkan,

صَوْمُ أَوَّلِ يَوْمٍ مِنْ رَجَبٍ كَفَّارَةٌ سِنْتَينِ، وَالثَّالِثُ كَفَّارَةٌ سَنَةً، ثُمَّ كُلُّ يَوْمٍ شَهْراً

“Puasa hari pertama di bulan Rajab menjadi kafarat selama dua tahun, dan puasa di hari ketiga menjadi kafarat selama setahun, lalu setelah itu setiap hari (menjadi kafarat) selama sebulan.”

Hadits puasa Rajab ini derajatnya Dha’if (Al-Kasyful Ilahi, no. 490, Mausu’ah al-Ahadits wal Atsar Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, no. 13408, Dha’if al-Jami’, no. 3500)

Demikian beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa selain ada hadits shahih, ada pula hadits dha’if dan maudhu‘ yang memuat seputar keutamaan bulan Rajab dan puasa di bulan tersebut. Wallahu a’lam. (Sodiq Fajar/dakwah.id)

 

Artikel Terbaru:

 

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

3 Tanggapan

Setelah membaca penjelasan dr hadis diatas puasa rajab tidak dianjurkan namun sepertinya masyarakat sudah menjadi kewajiban dalam berpuasa dibulan rajab ini,jadi bagaimana solusinya tentang puasa rajab ini ustaz,mohon pencerahan,jazakumullah bikhair

Setahu sy dr ceramah kajian ustadz2 salaf di bulan rajab kita perbanyak amalan Sholenya yaitu dgn puasa Senin Kamis, puasa ayyammul bid sholat Dhuha sholat tahajud. JD TDK ada kekhususan puasa bln Rajab dan sholat khusus bln Rajab. Itu yg saya tau. Wallahu ‘alam bishawab. Jika kurang yakin silahkan dengarkan ceramah imam masjidil haram/Mekkah ttg keutamaan di bulan rajab

Jadi gimana soal melaksanakan puasa rajab boleh tidak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *