Fikih Puasa Syawal Pengertian, Dalil, Hukum, Tata cara Puasa Syawal-dakwah.id

Puasa Syawal Pengertian, Dalil, Hukum, Tata caranya

Terakhir diperbarui pada · 6,332 views

Banyak yang bertanya perihal masalah yang terdapat pada pelaksanaan puasa Syawal. Alhamdulillah, semoga ini menjadi pertanda semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap penerapan syariat Islam. Dalam konteks ini kesadaran dalam mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Berikut ini penulis ringkaskan penjelasan sederhana tentang fikih puasa Syawal.

Jika ada permasalahan puasa enam hari bulan Syawal yang belum terangkum dalam tulisan ini, silakan tuliskan dalam kolom komentar di bawah.

Semoga bermanfaat.

 

Pengertian Puasa Syawal

Adalah puasa selama enam hari yang dianjurkan untuk dilaksanakan setiap bulan Syawal.

Bulan Syawal adalah bulan yang penuh berkah. Bulan Syawal adalah bulan pemula menuju bulan Haji, Zulhijjah.

Pada bulan Syawal terdapat anjuran untuk melaksanakan puasa sebanyak enam hari dan qadha’ i’tikaf bagi yang kehilangan kesempatan untuk i’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Selain itu, bulan Syawal juga dikenal dengan bulan saling memaafkan dan bulan pernikahan. (21 Faidah min Shiyam as-Sitt min Syawwal, Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid, 4)

Puasa ini adalah bagian dari syariat Islam. Untuk memahami lebih jauh tentang syariat Islam, silakan baca tulisan dakwah.id berikut ini:

Pengertian Syariat Islam

 

Kembali ke pembahasan. Syariat puasa Syawal didukung oleh banyak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Puasa Syawal adalah bagian dari puasa tathawwu’ muqayyad, yaitu puasa sebagai ibadah tambahan dalam rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah subhanahu wata’ala yang terikat dengan waktu yang terbatas.

Disebut muqayyad karena memiliki keterikatan waktu yang terbatas; pelaksanaannya hanya di bulan Syawal.

Contoh puasa tathawwu’ muqayyad yang lain di antaranya puasa delapan hari pertama bulan Zulhijjah, puasa hari Arafah bagi yang tidak melaksanakan haji, puasa ‘Asyura’, puasa bulan Muharram, puasa Senin Kamis, dan puasa Yaumul Bidh.

 

Dalil Puasa Syawal

Ada dua hadits shahih yang menjadi dalil puasa Syawal, antara lain,

Hadits Puasa Syawal yang Pertama

Dari Abu Ayyub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ ‌أَتْبَعَهُ ‌سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Siapa yang berpuasa Ramadlan kemudian diiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa.” (HR. Muslim No. 1164)

 

Hadits Puasa Syawal yang Kedua

Dari Tsauban, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صِيَامُ ‌رَمَضَانَ ‌بِعَشَرَةِ ‌أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ السِّتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ، فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ

Puasa Ramadhan pahalanya sama dengan sepuluh bulan, dan puasa enam hari di bulan Syawal sesudahnya pahalanya sama dengan dua bulan. Maka yang demikian itu pahalanya sama dengan puasa setahun penuh.” (HR. Ibnu Khuzaimah No. 2115; HR. An-Nasa’i No. 2873. Hadits ini sanadnya shahih)

 

Hukum Puasa Syawal

Hukum puasa Syawal adalah sunnah. Ini adalah pendapat jumhur ulama fikih dari mazhab Syafi’i, mazhab Hanbali, mazhab Maliki, dan ulama mutaakhir mazhab Hanafi.

Dalil puasa sunnah Syawal adalah dua hadits puasa Syawal sebagaimana disebutkan pada sub judul sebelumnya (Dalil Puasa Syawal).

Ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali menegaskan bahwa puasa sunnah Syawal enam hari setelah Ramadhan setara dengan puasa setahun penuh, sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam hadits Tsauban.

 

Ada beberapa kalangan ulama yang menyatakan hukum puasa Syawal adalah makruh.

Ini adalah pendapat al-Hasan, Imam Abu Hanifah, at-Tsauri, dan Imam Malik.

Dalam mazhab Hanafi, ada nukilan pernyataan ulama yang menyebutkan bahwa hukum puasa enam hari bulan Syawal adalah makruh.

Ibnu al-Hamam al-Hanafi menyebutkan,

صَوْمُ ‌سِتَّةٍ ‌مِنْ ‌شَوَّالٍ ‌عَنْ ‌أَبِي ‌حَنِيفَةَ وَأَبِي يُوسُفَ كَرَاهَتُهُ، وَعَامَّةُ الْمَشَايِخِ لَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا

Puasa enam hari bulan Syawal hukumnya makruh menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, sedangkan para ulama mazhab Hanafi rata-rata membolehkannya.” (Fathul Qadir, Ibnu al-Hamam, 2/349)

Materi Khutbah Jumat: Al-Quran dan as-Sunnah: Pedoman dan Ruh Kehidupan

Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat puasa enam hari bulan Syawal hukumnya makruh karena faktor masyarakat awam yang meyakininya sebagai sebuah kewajiban karena puasa tersebut dilaksanakan bersambung dengan puasa Ramadhan.

Dan perbuatan ini terdapat unsur tasyabuh dengan Ahlul Kitab di mana Ahlul Kitab memiliki kebiasaan suka menambah-tambah ibadah yang diperintahkan kepada mereka.

Sementara alasan mayoritas ulama mazhab Hanafi yang membolehkan adalah karena telah ada pemisah hari tidak puasa—yakni hari Idul Fitri—antara puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawal. Sehingga, tasyabuh dengan Ahlul Kitab tidak lagi menjadi alasan yang relevan. (Fathul Qadir, Ibnu al-Hamam, 2/349)

Imam Malik juga berpendapat puasa enam hari bulan Syawal hukumnya makruh.

Imam Yahya al-Laitsi mengatakan, aku pernah mendengar Malik berkata tentang puasa enam hari setelah Idul Fitri usai Ramadhan,

إِنَّهُ ‌لَمْ ‌يَرَ ‌أَحَداً ‌مِنْ ‌أَهْلِ ‌الْعِلْمِ ‌وَالْفِقْهِ ‌يَصُومُهَا. وَلَمْ يَبْلُغْنِي ذلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ. وَإِنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ ذلِكَ، وَيَخَافُونَ بِدْعَتَهُ.

Tidak pernah didapati seorang pun dari ahli ilmu dan fikih yang mengamalkan puasa tersebut. Dan belum pernah sampai kepadaku seorang pun dari ulama salaf yang mengamalkannya. Sesungguhnya para ahli ilmu memakruhkannya dan mereka khawatir terhadap bid’ah di dalamnya.” (Muwaththa’ Imam Malik No. 1103)

Namun, pendapat yang memakruhkan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal ini telah banyak dibantah oleh para ulama mazhab seperti imam an-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syar hal-Muhadzdzab (6/379), Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid (2/71), Ibnu Abdil Barr, dan lainnya.

Ibnu Rusyd mengatakan,

أَنَّ مَالِكًا كَرِهَ ذَلِكَ، إِمَّا مَخَافَةَ أَنْ يُلْحِقَ النَّاسُ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ فِي رَمَضَانَ، وَإِمَّا لِأَنَّهُ ‌لَعَلَّهُ ‌لَمْ ‌يَبْلُغْهُ ‌الْحَدِيثُ أَوْ لَمْ يَصِحَّ عِنْدَهُ وَهُوَ الْأَظْهَرُ

Imam Malik telah menghukumi makruh puasa enam hari di bulan Syawal barangkali karena khawatir orang-orang yang memasukkan ibadah puasa lain yang bukan dari bagian puasa Ramadhan, atau hadits tentang puasa tersebut belum sampai kepadanya, atau telah sampai kepadanya namun dianggap tidak shahih, inilah yang paling tampak.” (Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd, 2/71)

Artikel Fikih: 9 Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Hari Jumat

Ibnu Abdil Barr memiliki sanggahan yang cukup menarik terhadap pendapat Imam Malik tersebut,

لَمْ ‌يَبْلُغْ ‌مَالِكًا ‌حَدِيثُ ‌أَبِي ‌أَيُّوبَ عَلَى أَنَّهُ حَدِيثٌ مَدَنِيٌّ وَالْإِحَاطَةُ بِعِلْمِ الْخَاصَّةِ لَا سَبِيلَ إِلَيْهِ وَالَّذِي كَرِهَهُ لَهُ مَالِكٌ أَمْرٌ قَدْ بَيَّنَهُ وَأَوْضَحَهُ وَذَلِكَ خَشْيَةَ أَنْ يُضَافَ إِلَى فَرْضِ رَمَضَانَ وَأَنْ يَسْتَبِينَ ذَلِكَ إِلَى الْعَامَّةِ وَكَانَ – رَحِمَهُ اللَّهُ – مُتَحَفِّظًا كَثِيرَ الِاحْتِيَاطِ لِلدِّينِ

“Hadits Abu Ayub (tentang sunnah puasa Syawal) ini belum sampai kepada imam Malik meskipun hadits itu kategorinya hadits Madani (hadits yang diriwayatkan oleh ahli Madinah), karena mengetahui suatu disiplin ilmu secara keseluruhan adalah sesuatu yang tidak mungkin, dan perkara yang telah dihukumi makruh oleh imam Malik adalah perkara yang telah ia paparkan dengan jelas alasannya, yakni khawatir puasa Syawal tersebut dianggap sebagai ibadah fardhu yang serangkai dengan Ramadhan, sehingga perkara ini jelas di mata umum. Dan imam Malik adalah tipikal ulama yang sangat berhati-hati dalam urusan agama.” (Al-Istidzkar, Ibnu Abdil Barr, 3/380)

 

4 Keutamaan Puasa Syawal

Puasa enam hari bulan Syawal  memiliki keutamaan yang luar biasa. Berikut ini keempat keutamaan  tersebut.

 

Keutamaan puasa Syawal yang pertama: Mendapat pahala seperti puasa setahun penuh

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa besarnya pahala puasa Syawal menyamai pahala puasa setahun penuh.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ ‌أَتْبَعَهُ ‌سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barang siapa melaksanakan puasa Ramadhan, lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti melaksanakan puasa Dahr (puasa sepanjang masa).” (HR. Muslim No. 1164)

Maksud dari puasa Dahr adalah puasa yang dikerjakan selama setahun penuh.

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ ‌صَامَ ‌سِتَّةَ ‌أَيَّامٍ ‌بَعْدَ ‌الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ، مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

Barang siapa puasa enam hari setelah hari Idul Fitri, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh. Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya.” (HR. Ibnu Majah No. 1715. Hadits shahih)

 

Keutamaan yang kedua: Menggenapi puasa Ramadhan yang belum sempurna.

Pada bab pengertian puasa Syawal telah disinggung bahwa puasa enam hari bulan Syawal adalah bagian dari puasa tathawwu’. Dan salah satu fungsi ibadah tathawwu’ adalah menggenapi ibadah fardhu yang belum sempurna.

Dalam konteks ini, shaum Syawal berfungsi menggenapi puasa Ramadhan yang belum sempurna.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلَاةُ،

Sesungguhnya yang pertama kali akan di hisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalat.”

قَالَ: يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا؟ فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ: انْظُرُوا ‌هَلْ ‌لِعَبْدِي ‌مِنْ ‌تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ،

Rasulullah bersabda, ‘Allah berfirman kepada Malaikat—Dan Dia lebih mengetahui amalan seseorang, ‘Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang? Sekiranya sempurna, maka catatlah baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan, Allah berfirman, ‘Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah? Jikalau terdapat shalat sunnahnya.”

قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ

Allah berfirman, ‘Cukupkanlah kekurangan yang ada pada shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.’ Selanjutnya semua amal manusia di hisab dengan cara demikian.” (HR. Abu Daud No. 864. Hadits Shahih)

 

Keutamaan yang ketiga: Sebagai salah satu tanda diterimanya amalan di bulan Ramadhan, insyaallah.

Ketika Allah subhanahu wata’ala telah menerima amalan seorang hamba, maka Allah subhanahu wata’ala akan memberinya kemudahan untuk beramal saleh lagi setelahnya.

Ketaatan akan melahirkan ketaatan. Pahala kebaikan akan diikuti dengan pahala kebaikan berikutnya.

Maka, barang siapa melakukan kebaikan kemudian ia ikuti dengan kebaikan lain setelahnya, semoga itu menjadi salah satu tanda diterimanya amal kebaikan yang pertama kali ia kerjakan.

 

Keutamaan yang keempat: Wujud syukur kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala nikmat-Nya.

Ibadah puasa Ramadhan menjanjikan ampunan dari dosa yang telah lalu dan yang akan datang bagi yang melaksanakannya.

Sementara orang yang puasa Ramadhan, akan Allah subhanahu wata’ala lunasi pahalanya pada hari Idul Fitri. Oleh sebab itu Idul Fitri juga disebut dengan Yaumul Jawa-iz, hari pembagian pahala.

Dan kembali melaksanakan puasa di bulan Syawal adalah salah satu wujud syukur atas nikmat tersebut.

Tidak ada nikmat yang lebih besar dari nikmat berupa ampunan Allah subhanahu wata’ala dari segala dosa.

Oleh sebab itulah kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat bersungguh-sungguh dalam melaksanakan qiyamul lail hingga kakinya pecah-pecah. Tujuannya satu: ingin menjadi hamba yang bersyukur.

Artikel Fikih: 3 Amalan Sunnah di Hari Raya Idul Fitri

Di sisi lain, Allah subhanahu wata’ala juga memerintah hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat berupa kesempatan untuk menjalankan puasa Ramadhan dengan banyak-banyak berzikir dan mengagungkan-Nya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Salah satu bentuk zikir dan mengagungkan Allah adalah dengan melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.

Sebagian ulama salaf pun demikian. Ketika Allah subhanahu wata’ala beri kesempatan untuk melaksanakan qiyamul lail, maka di pagi harinya mereka melaksanakan puasa sebagai wujud syukur kepada Allah subhanahu wata’ala.

Wuhaib bin al-Wardi pernah ditanya tentang pahala amalan seperti Thawaf dan semisalnya. Beliau menjawab,

لَا تَسْأَلُوْا عَنْ ثَوَابِهِ وَلَكِنْ اِسْأَلُوْا مَا الَّذِيْ عَلَى مَنْ ‌وُفِّقَ ‌لِهَذَا ‌الْعَمَلِ مِنَ الشُّكْرِ لِلتَّوْفِيْقِ وَالْإِعَانَةِ عَلَيْهِ

Jangan tanyakan pahalanya, tapi tanyakan amalan apa yang dilakukan sebagai wujud syukur karena telah diberi kesempatan dan kemampuan untuk beramal.” (Lathaif al-Ma’arif, Ibnu Rajab al-Hanbali, 221)

 

Berapa Hari Jumlah Puasanya?

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih tentang jumlah hari shaum Syawal. Seluruhnya sepakat puasa enam hari di bulan Syawal adalah enam hari.

Jumlah ini berdasar pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan secara jelas tanpa ada dalil lain yang menjadikannya samar,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ ‌أَتْبَعَهُ ‌سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa.” (HR. Muslim No. 1164)

Meski demikian, para ulama ikhtilaf soal kapan puasa ini mulai dilakukan, dan apakah  dilakukan secara berturut-turut atau boleh dipisah-pisah harinya.

 

Kapan Mulai Dilaksanakan?

Puasa ini dilakukan setelah hari Idul Fitri 1 Syawal hingga hari terakhir bulan Syawal.

Puasa sunnah Syawal ini tidak boleh disambung dengan puasa Ramadhan. Karena puasa di hari Idul Fitri hukumnya haram.

Dalilnya, dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌عَنْ ‌صَوْمِ ‌يَوْمِ ‌الفِطْرِ ‌وَالنَّحْرِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang puasa di hari Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Al-Bukhari No. 1991)

Haramnya puasa di hari Idul Fitri ini telah menjadi ijmak ulama.

Ulama yang menukil ijmak ini antara lain Imam Abu Ja’far ath-Thabari dalam Fathul Bari (4/234), Ibnu Mundzir dalam Al-Isyraf (3/153), Imam ath-Thahawi dalam kitab Syarh Ma’ani al-Atsar (1/402), Imam Ibnu Hazm dalam kitab Maratib al-Ijma’ (40), Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Istidzkar (3/332), Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid (1/309), Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni (3/169), dan Imam an-Nawawi dalam kitab Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim (8/15).

Imam al-Kasani menduga, penyebab shaum Syawal dihukumi makruh—dalam mazhab Hanafi—adalah karena pada pelaksanaannya puasa ini dimulai dari tanggal 1 Syawal di mana hari itu adalah hari Idul Fitri, lalu diteruskan puasanya pada lima hari setelahnya. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 28/92)

Adapun jika memulai pelaksanaannya pada hari kedua Idul Fitri, maka ini tidaklah makruh.

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali menjelaskan,

وَأَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهُ لَا يُكْرَهُ ‌صِيَامُ ‌ثَانِي يَوْمِ الْفِطْرِ وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ حَدِيْثَ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لِرَجُلٍ: “إِذَا أَفْطَرْتَ فَصُمْ”.

Mayoritas ulama sependapat tidak makruh puasa hari kedua Idul Fitri. Sebuah hadits telah mengisyaratkan tentang itu, hadits Imran bin Hushain radhiyallahuanhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda kepada seseorang, ‘Jika engkau telah berbuka, maka puasalah.’” (Lathaif al-ma’arif, Ibnu Rajab al-Hanbali, 391)

 

Tata Cara Puasa Syawal

Tata cara shaum Syawal tidak jauh berbeda dengan tata cara puasa Ramadhan atau pun tata cara puasa sunnah lainnya.

Dimulai dengan niat, kemudian makan sahur, menahan lapar dan dahaga mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, lalu diakhiri dengan buka puasa.

Perbedaannya terdapat pada sifat niat dan pelaksanaan puasa enam hari di bulan Syawal.

 

Niat puasa Syawal

Pada bab Pengertian Puasa Syawal telah dijelaskan bahwa puasa enam hari di bulan Syawal adalah bagian dari puasa tathawwu’. Sehingga, hukum yang berlaku pada puasa sunnah ini mengikuti hukum yang berlaku pada puasa tathawwu’, termasuk dalam hal niat.

 

Pertama, kapan niat puasa Syawal dilakukan?

Para ulama menjelaskan, pada puasa enam hari di bulan Syawal tidak ada syarat untuk melakukan niat pada malam hari menjelang puasa.

Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah sebagaimana dikutip dalam kitab Tabyin al-Haqaiq (1/313), ulama dari kalangan Syafi’iyyah sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Majmu’ (6/302), dan ulama Hanabilah sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Inshaf (3/211) dan Al-Mughni (3/113).

Dalilnya, hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata,

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ

Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke rumah.”

فَقَالَ: ‌هَلْ ‌عِنْدَكُمْ ‌شَيْءٌ؟

Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau memiliki suatu makanan?”

فَقُلْنَا: لَا

Lalu kami menjawab, “Tidak.”

قَالَ: فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ

Beliau pun bersabda, “Kalau begitu, aku puasa.” (HR. Muslim No. 1153)

 

Kedua, bolehkah melakukan niat puasa Syawal di siang hari?

Para ulama menjelaskan, siapa pun yang ingin puasa tathawwu’ ia boleh melakukan niat di siang hari, baik sebelum matahari tergelincir atau pun setelahnya. Dengan syarat, sejak terbit matahari, ia sama sekali belum makan atau minum.

Ini adalah pendapat mazhab Hanbali (Al-Inshaf, 3/211), satu pendapat dalam mazhab Syafi’i (Al-Majmu’, Imam an-Nawawi, 6/292), Imam ats-Tsauri (Al-Istidzkar, Ibnu Rajab, 10/35), dan Ibnu Taimiyah (Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, 25/120)

Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.

Jadi, jika tiba-tiba di siang hari seseorang berniat untuk puasa Syawal, dan dia belum makan atau minum sejak terbit fajar, maka melaksanakannya pada hari tersebut adalah sah.

 

Ketiga, apakah harus melakukan niat puasa Syawal secara khusus (ta’yin niyat)?

Para ulama fikih sepakat, tidak ada syarat harus melakukan niat puasa ini secara khusus.

Puasa Syawal tetap sah dengan niat mutlak. Namun jika ingin melakukan niat secara khusus, maka itu lebih baik. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/87; Tabyin al-Haqa-iq, 1/316; Mawahib al-Jalil, 1/515; Al-Majmu’, 7/295; Al-Qalyubi, 2/53; Al-Inshaf, 3/293)

 

Pelaksanaan puasa Syawal harus dilakukan berurutan atau boleh terpisah harinya?

Ulama fikih ikhtilaf soal pelaksanaan puasa ini, apakah harus berurutan, atau boleh dipisah-pisah. Ikhtilaf ini terkait erat dengan pandangan tentang keutamaan masing-masing cara.

Mazhab Syafi’i dan sebagian ulama mazhab Hanbali berpendapat, lebih utama mengerjakan puasa ini secara berurutan harinya setelah Idul Fitri.

Mazhab Hanbali tidak membedakan mana yang lebih utama antara melaksanakan shaum Syawal secara berurutan atau dipisah-pisah harinya. Menurut mazhab ini, dua cara pelaksanaan itu sama saja.

Mazhab Hanafi berpendapat puasa enam hari bulan Syawal dianjurkan untuk dilaksanakan secara terpisah. Setiap pekan dua hari puasa.

Mazhab Maliki berpendapat, makruh melaksanakan puasa enam hari bulan Syawal secara berurutan tanpa jeda dengan bulan Ramadhan (tanggal 1 Syawal tetap puasa). Ada pula pendapat dalam mazhab ini yang menyatakan bahwa puasa Syawal lebih utama dilakukan di sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 28/93)

 

Sengaja Membatalkan Puasa Syawal

Bolehkah membatalkan shaum Syawal dengan sengaja?

Boleh. Puasa enam hari bulan Syawal hukumnya sunnah, bukan wajib. Puasa sunnah ini adalah bagian dari puasa tathawwu’ sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam bab Pengertian Puasa Syawal.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‌الصَّائمُ ‌المُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ صَامَ وإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

Orang yang melaksanakan puasa tathawwu’ adalah pemimpin bagi dirinya, jika ia berkehendak ia puasa, jika ia berkehendak ia boleh berbuka.” (HR. Ahmad No. 26937; HR. An-Nasa’i No. 3302; HR. At-Tirmidzi No. 732. Hadits ini dihukumi shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami’, 2/717)

 

Jika puasa Syawal batal, apakah harus menggantinya di hari yang lain?

Tidak ada keharusan untuk mengganti puasa di hari yang lain jika ada puasa enam hari bulan Syawal batal. Sebab, tidak ada kewajiban qadha bagi orang yang membatalkan puasa tathawwu’.

Namun, jika tetap berkeinginan untuk mengqadha’nya, itu juga boleh.

Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,

إِنْ كَانَ قَضَاءً مِنْ رَمَضَانَ فَاقْضِي يَوْمًا مَكَانَهُ، وَإِنْ كَانَ تَطَوُّعًا فَإِنْ شِئْتِ فَاقْضِي وَإِنْ شِئْتِ فلَا تَقْضِي

Jika puasa itu adalah qadha bagi puasa Ramadhan, maka gantilah di hari yang lain. Namun jika puasa itu adalah puasa tathawwu’, jika ingin, boleh mengqadha’nya, dan jika ingin, tidak mengqadha’nya juga tidak mengapa.” (HR. Ahmad No. 26955; HR. An-Nasa’i No. 3305. Riwayat ini dihukumi shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab Ash-Shahihah No. 2802)

Riwayat tersebut diperkuat argumentasinya dengan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan oleh imam an-Nasa’i dan lainnya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang niat untuk melaksanakan puasa tathawwu’ kemudian beliau berbuka (membatalkannya).

Artikel Fikih: Apakah Virus Corona Termasuk Penyakit Tha’un?

Selain itu, dalam riwayat al-Bukhari juga disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintah Juwairiyah binti al-Harits untuk berbuka pada hari Jumat setelah sejak pagi beliau perintah untuk puasa.

Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintah Juwairiyah untuk puasa, artinya memang puasa tersebut telah dimulai sejak awal (Syuru’). Dan puasa yang dilakukan Juwairiyah dalam konteks hadits tersebut adalah puasa tathawwu’, bukan puasa wajib.

Maka, nash tersebut mengisyaratkan bahwa adanya permulaan dalam ibadah tidak ada tuntutan untuk menyempurnakannya jika ibadah tersebut sifatnya nafilah atau tathawwu’. (Al-Jami’ ash-Shahih li as-Sanad wa al-Masanid, Shuhaib Abdul Jabbar, 29/328)

 

Niat Puasa Syawal dan Puasa Senin Kamis

Bolehkah melakukan niat shiyam Syawal dan puasa Senin Kamis?

Boleh. Orang yang meniatkan puasa enam hari bulan Syawal dan puasa Senin Kamis sekaligus (jika bertepatan dengan hari Senin dan Kamis), ia mendapat pahala kedua-duanya.

Diskusi persoalan ini masuk dalam pembahasan Tasyrikun Niyat.

Tentang Tasyrikun Niyat, imam Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan kaidahnya sebagai berikut,

“Jika terkumpul dua bentuk ibadah yang masih satu jenis dan satu waktu, hal mana salah satunya bukan dalam bentuk qadha’, bukan pula bentuk ibadah yang menyertai ibadah lain dalam satu waktu, maka pelaksanaannya bisa disatukan dengan sekali pelaksanaan.” (Taqrirul Qawa’id wa Tahrirul Fawa-id, 1/142)

Syaikh Muhammad bin Utsaimin menjelaskan, jika puasa enam hari di bulan Syawal bertepatan dengan hari Senin dan Kamis, maka orang yang mengamalkannya akan mendapat dua pahala puasa tersebut berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang mendapat apa yang ia niatkan.” (Fatawa Islamiyah, Muhammad bin Utsaimin, 2/154)

 

Menggabungkan puasa Syawal dengan qadha’ puasa Ramadhan

Pembahasan tentang ini telah dijelaskan dalam artikel lain di website www.dakwah.id dengan judul tulisan:

Qadha Puasa Ramadhan Digabung dengan Shaum Syawal, Bolehkah?

Silakan klik link di atas untuk membacanya.

 

Qadha Puasa Ramadhan Dahulu, atau Puasa Syawal Dahulu?

Permasalahan yang sering menjadi kebingungan adalah soal fikih prioritas, mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu; qadha puasa Ramadhan, atau puasa enam hari bulan Syawal?

Para ulama fikih ikhtilaf tentang hukum mengerjakan puasa enam hari bulan Syawal sebelum qadha puasa Ramadhan selesai.

Ulama mazhab Hanafi berpendapat boleh mengerjakan amalan ini sebelum qadha puasa Ramadhan. Sebab, qadha puasa Ramadhan tidak wajib untuk disegerakan pelaksanaannya.

Ibnu Abidin menjelaskan, “Jika saja wajibnya qadha puasa Ramadhan ini bersifat harus disegerakan, maka makruh mengerjakan puasa tathawwu’ sebelum qadha puasa Ramadhan. Karena itu  termasuk bentuk mengakhirkan kewajiban dari waktunya yang terbatas.” (Ad-Dur al-Mukhtar wa Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/423)

Materi Khutbah Jumat: 4 Cara Meraih Ridha Allah ‘azza wajalla

Sedangkan ulama mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i berpendapat boleh mengerjakan puasa tathawwu’ sebelum qadha puasa Ramadhan dengan kebolehan yang bersifat makruh (jawaz ma’a al-karahah) karena telah mengakhirkan pemenuhan hukum wajib.

Imam ad-Dasuqi menjelaskan, “Makruh mengerjakan puasa tathawwu’ bagi orang yang masih memiliki tanggungan puasa wajib seperti puasa nazar, puasa qadha’, dan puasa kafarah, baik itu puasa tathawwu’ yang ghairu muakkad, atau pun puasa tathawwu’ yang muakkad seperti puasa ‘Asyura’ dan puasa 9 Zulhijjah.”

Sementara ulama mazhab Hanbali berpendapat haram melaksanakan puasa thathawwu’ sebelum melunasi qadha puasa Ramadhan.

Jika puasa tathawwu’ dikerjakan lebih dulu, maka tidak sah, meskipun kesempatan untuk qadha’ puasa Ramadhan masih panjang. Harus mengerjakan qadha puasa Ramadhan dahulu, baru setelah itu puasa tathawwu’. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 28/100)

Demikian ulasan sederhana tentang fikih puasa enam hari di bulan Syawal mulai dari pengertian, dalil, hukum, keutamaan, tata cara , dan beberapa masalah utama yang sering ditanyakan tentang pelaksanaan shaum Syawal. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. (Sodiq Fajar/dakwah.id)

Artikel Fikih terbaru:

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

1 Tanggapan

Subhanalloh trima kasih ilmu nya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *