Feminisme Bukan Budayamu-dakwah.id

Feminisme? Bukan Budayamu!

Terakhir diperbarui pada · 10,537 views

Feminisme? Bukan Budayamu!

 

Tulisan ini soal renungan dan renungan. Kenapa wanita selalu diwujudkan dalam sifat lemah lembut, berperasaan, dan suasana hati yang tajam serta mudah berubah (moodian). Seolah sematan lemah lembut mengidentikkan bahwa wanita itu lembut, tapi lemah. Berfisik tapi dikuasai perasaan.

Apakah wanita memang harus seperti itu? Atau wanita harus bersuara agar stigma dan label kepada mereka selama ini juga berubah?

 

Wanita di Eropa: dari ‘Barang tak Ternilai’ Menuju ‘Kebangkitan’ Feminisme

Dalam kebudayaan mesir kuno, seorang Firaun dapat berganti merebut istri orang lain, sebagaimana kisah Nabi Ibrahim yang akhirnya berdusta kepada Firaun (raja) Mesir saat ditanya tentang istrinya Sarah (HR. Al-Bukhari No. 3358)

Bahkan, istri-istri para Firaun, bisa diwariskan kepada raja berikutnya. Wanita menjadi barang yang bisa dipindah kepemilikannya, serta dikuasai hanya untuk nafsu semata.

Berbeda dengan yang di Mesir, di Romawi wanita menduduki manusia kelas dua dalam strata masyarakat. Istilah liyan (the other) menjadi salah satu tanda bahwa ada pembedaan antara kelas laki-laki dan wanita. Bahkan, wanita seperti barang murni, tidak dianggap sisi kemanusiaannya. Jika barang bisa ditukarkan dan bisa disimpan atau dibuang, begitu juga dengan wanita.

 

Baca juga: Sepatu High Heels Bikin Wanita Muslimah Tambah Cantik? Baca Dulu Penjelasan Ini

 

Wanita di Eropa abad pertengahan juga mengalami diskriminasi. Eropa yang saat itu dikuasai gereja, harus tunduk patuh terhadap aturan gereja. Apa pun aturannya. Dalam Bible, wanita adalah jelmaan Iblis yang menyebabkan Adam dikeluarkan dari Surga.

Oleh sebab itulah wanita mendapatkan diskriminasi dan harus merasakan adanya kekuatan dari budaya patriarki yang jamak dilakukan di sebagian besar penjuru di Eropa. Salah seorang tokoh penting dalam Kristen protestan, Martin Luther, ia mengatakan bahwa Iblis menjelma di dunia ini dalam dua wajah; satu di Turki Utsmani, dan; satunya ada di wanita.

Setidaknya, anggapan wanita rendah itu bisa dilacak dari sisi keyakinan dan kabar dari kitab suci yang disalahartikan. Pun isi kitab sucinya yang diselewengkan. Kitab suci Bible yang diyakini dan diimani oleh orang-orang Eropa ternyata berbicara mengenai wanita, dan disampaikan dalam bahasa sangat merendahkan. Keyakinan turun temurun, kemudian menghasilkan sebuah budaya baru yang disebut patriarki, kekuasaan laki-laki atas wanita.

Rendahnya wanita, juga bisa dilacak dari sisi sosial. Dalam kerajaan, wanita tidak begitu berdaya sebagaimana laki-laki yang memiliki kekuataan. Makanya, wanita tidak pantas untuk dirawat karena tidak bisa menjadi tentara atau berada di dalam barisan saat perang. Wanita merasa dirinya dikorupsi secara nature karena tidak memiliki ‘daya’ sebagaimana laki-laki.

Hingga akhirnya lahir sebuah gerakan agar wanita disetarakan dengan laki-laki. Feminisme. Gerakan ini, secara tidak langsung, juga berinduk pada tiga slogan revolusi Prancis; persamaan, persaudaraan, dan kebebasan.

 

Baca juga: Batasan Aurat Wanita Muslimah di Hadapan Wanita non-Muslim

 

Apalagi di abad ke-19, dengungan feminisme begitu kuat. Bahkan dikatakan sebagai abad kelahiran gerakan itu. Bahkan hingga awal abad 21 corak feminisme banyak mewarnai film-film.

Di akhir abad 19, di Amerika sudah tampak struktur masyarakat yang berbeda. Wanita sudah bisa ‘bersuara’ di publik. Mereka tidak lagi direndahkan dengan kelas dua atau hanya sebatas barang. Eksistensi mereka diakui. Wanita lahir untuk sebuah kebebasan, bukan perbudakan.

Wanita bebas melakukan hal apa pun. Termasuk orientasi seksual. Yang penting bukan karena intervensi, tapi karena pilihan. Bahkan, wanita diberi kewenangan untuk membalas jika terjadi KDRT dengan balasan yang mengancam kematian. Karena landasannya adalah keadilan.

 

Kebingungan Setelah Feminisme

Namun, setelah gerakan feminisme menyeruak, ada hal yang unik sekaligus konyol. kaum laki-laki dan perempuan, semua sama haknya.

Kaum feminis terpenjara dalam benteng kebingungan: bagaimana dengan kodrat wanita yang secara fisik wanita, dan laki-laki secara fisik adalah laki-laki?

Mungkin aspek nurture boleh menjadi alasan bahwa wanita bisa berubah bahkan menyamai laki-laki. Seperti dalam aspek kerja, aktif di rang publik, dan semisalnya. Namun, ini pun pasti akan bertabrakan dengan fisiknya. Bagaimana jika wanita sedang hamil? Apakah boleh mendapatkan cuti? Sedangkan laki-laki tidak bisa hamil?

 

Baca juga: Wanita Muslimah Bekerja di Luar Rumah, Apa Syaratnya?

 

Jika bisa menerima secara nurture, konsekuensinya aspek nature juga jangan dikesampingkan. Karena gerakan feminisme adalah gerakan perempuan secara umum. Mari direnungkan.

Bukankah wanita pada aspek nature, akhirnya bisa memilih ganti kelamin? Kalau wanita ganti kelamin, berarti wanita merasa dirinya rendah. Karena alasan ganti kelamin adalah mengangggap dirinya secara fisik adalah wanita.

Itu bukan sebuah jawaban.

Terlalu rumit memang jika dikatakan bahwa laki-laki jangan lagi mengintervensi wanita dan wanita harus memiliki sebuah pilihan sendiri.

Kalau boleh sedikit menengok lahirnya feminis, kenapa ada feminis yang akhirnya lahir sebagai sisterhood dan semisalnya. Bagaimana dengan sebuah masyarakat yang tidak ada istilah patriarki atau tidak ada budaya merendahkan wanita?

Perlu diingat, feminisme sebagai filsafat dan gerakan, bermula dari satu masyarakat tertentu dan akhirnya menggema.

 

Baca juga: Hukum Jual Pakaian Wanita Seksi dan yang Semisalnya

 

Berawal dari Eropa, gema dan gaungnya mencapai Amerika. Bahkan, dampaknya lebih kuat dari Eropa sendiri. Lalu, jika itu hanya sebuah gema dan gaung, apalagi tidak terjadi budaya patriarki dalam masyarakat tertentu, apakah pantas untuk diikuti?

Memang, pertama kali, pondasi ini berawal dari sistem masyarakat yang patriarki. Tapi, ternyata di awal gerakan dua pondasi gerakan feminisme menuntut pada kesetaraan dalam mendapatkan edukasi (pendidikan) dan bagaimana mengkritik sistem sosial yang memposisikan wanita sabagai makluk subordinat (yang dikuasai) (Mary Wollstonncraft, 1972).

Di Inggris, abad ke-19, penyuaraan pendidikan formal untuk perempuan dan hak-hak legal formal sangat kuat, terutama dalam pernikahan, hak pilih, dan kesempatan kerja. Artinya, pendidikan di Eropa bagi wanita sangat rendah dan mereka selalu dikuasai. Arti yang lain, bahwa wanita tidak mendapatkan tempat publik untuk berbicara dan menyuarakan pilihan. Akhirnya ia dianggap pasif dan eksistensinya tidak ada.

 

Baja juga: Bolehkah Wanita Muslimah Menikah dengan Pria non-Muslim?

 

Bercermin dari hal tersebut, ada satu point penting: budaya mereka bukan budaya kita. Budaya kita dibangun dengan nilai-nilai Islam. Bukan nilai-nilai Eropa yang bertolak belakang dengan Islam. Jangan kebumikan budaya sendiri hanya karena kurangnya pendidikan, atau kurangnya kepedulian terhadap budaya Islam.

Jadi, kalau di luar Eropa ada yang ingin menerapkan gerakan feminisme, padahal tidak ada budaya patriarkinya, itu sama artinya wanita di masyarakat tersebut sedang berusaha membangun budaya patriarki.

Feminisme tidak akan pernah ada jika tidak ada patriarki. Karena Feminisme hanya bisa lahir dari rahim sistem sosial yang Patriarki.

Terakhir, jika ada yang bertanya dengan apa kamu membangun budaya? Jawab saja, dengan nilai-nilai Islam. Wallahu a’lam [Syahidr/dakwah.id]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *