Gambar Benarkah Pluralisme Termasuk Toleransi Agama dakwah.id.jpg

Benarkah Pluralisme Termasuk Toleransi Agama?

Terakhir diperbarui pada · 586 views

Isu toleransi agama akhir-akhir ini kian santer digaungkan di mana-mana. Para tokoh dari berbagai kalangan dan latar belakang ramai-ramai mengangkat isu ini. Dimulai dari para tokoh agama, akademisi, pegiat media, hingga para politisi pun ikut menyuarakannya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa memang isu toleransi agama itu penting sehingga menarik untuk dibicarakan.

Pluralisme Agama Adalah Toleransi Agama?

Namun, dari gegap gempitanya perbincangan tentang isu toleransi agama ini, ada hal yang menarik untuk dicermati. Yaitu masuknya paham pluralisme agama yang diangkat sebagai sebuah pendekatan dalam toleransi agama.

Dr. Anis Malik Thoha, seorang ahli perbandingan agama, telah menyoroti adanya fenomena ini. Dr. Anis bahkan menyatakan bahwa kebanyakan orang yang ditokohkan di kalangan masyarakat beranggapan bahwa pluralisme ialah toleransi.

Dari pengamatannya, Anis melihat bahwa hal ini dapat dilihat dari respons emosional terhadap fatwa MUI tahun 2005 tentang haramnya Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme (SEPILIS). Kemudian disusul dengan terbitnya berbagai tulisan yang membela mati-matian paham pluralisme agama dari para pendukungnya.

Artikel Akidah: Identitas Sebuah Agama dan Wacana Pluralisme dalam Toleransi

Salah satu buku yang berusaha menggiring opini publik, bahwa pluralisme agama adalah toleransi agama adalah sebuah disertasi yang dibukukan berjudul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Buku ini mendapat sambutan yang begitu luar biasa dari media massa, bahkan mendapat sanjungan dan pujian dari orang-orang yang ditokohkan di Indonesia.

Padahal menurut Anis, dalam buku tersebut tidak tampak ada upaya serius dari pengarangnya untuk mendiskusikan definisi teori atau paham pluralisme agama. Pengarang justru terjebak pada pengertian bahwa pluralisme agama sama dengan toleransi agama.

Pluralisme dan Toleransi Agama Menurut Pluralis Barat

Para penggagas dan pakar pluralisme agama di Barat sendiri tidak beranggapan bahwa pluralisme agama adalah toleransi agama.

Misalnya seperti Diana L. Eck, Direktur The Pluralism Project di Universitas Harvard, dalam penjelasan resminya berjudul What is Pluralism? menyuguhkan empat karakteristik utama mendefinisikan pluralisme agama, yaitu

(1) Pluralisme bukanlah keragaman saja, tetapi keterlibatan energik dengan keragaman (the energetic engagement with diversity);

(2) Pluralisme bukan hanya sekadar toleransi, tetapi aktif mencari pemahaman lintas batas perbedaan (the active seeking of understanding across lines of difference);

(3) Pluralisme bukanlah relativisme, tetapi perjumpaan komitmen (the encounter of commitments); dan

(4) Pluralisme didasarkan pada dialog (based on dialogue).

Dari sini tampak bahwa anggapan yang menyamakan pluralisme agama dan toleransi merupakan anggapan yang subjektif dan ditentang oleh para penggagasnya sendiri.

Bahkan tidak jarang para pemikir pluralis di Barat menaruh pandangan miring tentang toleransi. Misalnya saja Albert Dondeyne yang dalam salah satu tulisannya mengatakan,

Mari kita catat bahwa apa yang dahulu dinamakan toleransi, kini telah dianggap sebagai sebuah ekspresi ketidaktoleranan yang sistematis. Dalam istilah lain, toleransi dengan begitu hampir bersinonim dengan intoleransi moderat.” (Faith and the World, Dondey, 231)

Bahkan Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris terkemuka, menulis dalam bukunya A Historian’s Approach to Religion bahwa toleransi tidak akan memiliki arti yang positif dan bahkan tidak sempurna dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berubah menjadi kecintaan.

Materi Khutbah Jumat: 5 Amalan Penghapus Dosa

Maka sebenarnya bagi kalangan pluralis sejati, mereka memandang bahwa pluralisme agama bukanlah toleransi, sebagaimana jamak dipahami oleh para pendukung pluralisme agama di Indonesia, namun pluralisme lebih dipahami sebagai kesamaan atau kesetaraan dalam segala hal termasuk beragama.

Secara leksikal term pluralisme, sebagaimana disebutkan dalam kamus Oxford Dictionary of Philosophy dan Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, adalah sebuah doktrin yang sering berhubungan dengan relativisme dan kecurigaan umum tentang gagasan kebenaran; atau dalam ungkapan lain doktrin bahwa tidak ada pandangan yang benar, atau bahwa semua pandangan sama-sama benar (no view is true, or that all views are equally true).

Dari makna etimologi di atas sudah tampak bahwa pluralisme memang mengandung ide yang mencurigai kebenaran atau paham relativisme kebenaran. Artinya, pluralisme bukan sekadar bertoleransi pada keyakinan lain yang berbeda, namun pluralisme lebih kepada menyamakan kebenaran dalam semua agama.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari definisi yang dirumuskan oleh tokoh penggagas pluralisme agama paling berpengaruh di dunia yaitu John Hick.

Dalam bukunya, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcedent, Hick mengungkapkan bahwa pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar di dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respons yang beragam terhadap “Yang Riil” atau “Yang Maha Agung” dari alam pranata kultural manusia yang bervariasi.

Dari definisi ini, Hick berupaya menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Artinya, semua agama sama dan tidak ada yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya.

Kesimpulan: Pluralisme Agama Lebih dari Sekadar Toleransi

Dengan demikian dapat disimpulkan, opini yang bergulir selama ini bahwa pluralisme agama adalah toleransi agama tidaklah sesuai dengan kenyataannya. Nyatanya para pencetus paham pluralisme agama seperti John Hick beranggapan bahwa pluralisme agama bukan sekadar toleransi. Namun, lebih kepada relativisme kebenaran atau penyamarataan kebenaran agama-agama.

Jika demikian, pemaknaan pluralisme sebagai toleransi merupakan bentuk distorsi makna, bahkan penyelewengan makna. Ini tentu sangat berbahaya sebab berpotensi menimbulkan kesalahpahaman terutama bagi kalangan awam yang cenderung latah dalam mencerna suatu istilah baru. (Adib Fattah Suntoro/dakwah.id)

Baca juga artikel Pemikiran terbaru:

Topik Terkait

Adib Fattah

Mahasiswa Program Kaderisasi Ulama (PKU) UNIDA Gontor, Jawa Timur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *