Gambar Transpuan Shalat Berjamaah di Shaf Perempuan, Bolehkah dakwah.id.jpg

Transpuan Shalat Berjamaah di Shaf Perempuan, Bolehkah?

Terakhir diperbarui pada · 133 views

Baru-baru ini, warganet di X (dulunya Twitter) dihebohkan karena adanya transpuan/waria yang berada di barisan shaf perempuan saat shalat Isya dan Taraweh berjamaah. Mayoritas perempuan merasa terganggu dengan kehadiran transpuan tersebut, karena bagaimanapun juga ia tetaplah seorang laki-laki.

Namun, ada juga sebagian yang justru mendukung dengan alasan bahwa setiap individu memiliki hak untuk beribadah kepada Tuhannya. Justru mereka yang menolak dianggap shalatnya sia-sia lantaran memiliki pandangan jahat pada transpuan tersebut.

Hal ini seakan menjadi flashback beberapa tahun silam saat ramai juga ketika seorang waria masuk ke toilet perempuan. Menjadi hal yang wajar sebenarnya ketika perempuan merasa terganggu, lantaran seharusnya tempat-tempat yang paling aman dan eksklusif bagi mereka justru disusupi oleh “laki-laki”. Apalagi beberapa tahun terakhir, isu terkait kampanye LGBTQ+ cukup mencuat dan masif, terutama di media sosial kita.

Materi Khutbah Jumat: LGBT Adalah Penyakit, Segera Lindungi Diri dan Keluarga!

Di luar dari pro kontra di atas, kewajiban-kewajiban dalam Islam sendiri prinsipnya tetap tidak gugur hanya karena seseorang melakukan kemaksiatan. Maka dari itu, transpuan, waria, atau apa pun istilahnya hari ini, mereka tetap seorang mukallaf yang terbebani kewajiban-kewajiban dalam Islam. Melaksanakan kewajiban tersebut sama urgennya dengan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah subhanahu wataala.

Maka seorang transpuan tetap perlu untuk berusaha kembali pada fitrahnya yang telah digariskan oleh Allah, dengan tetap melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Semoga dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut Allah memberikan ia hidayah dan kemudahan untuk jalan kembalinya.

Kejadian ini kemudian memunculkan pertanyaan mengenai kebolehan seorang transpuan untuk turut shalat berjamaah. Apakah mereka diperbolehkan untuk melakukannya, dan jika iya, di shaf mana seharusnya mereka berada: Di shaf perempuan atau di shaf laki-laki? Hal semacam ini agaknya menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Konsep Khuntsa dan Mukhannats dalam Islam

Sebelum masuk ke dalam pandangan fikih, penting untuk digarisbawahi bahwa LGBTQ+ sendiri memiliki masalah mendasar sejak alam pikiran dan konseptual.

Para pendukung LGBTQ+ berpendapat bahwa gender adalah suatu hal yang cair, yang dapat berubah dan berkembang tanpa batas.

Hal ini tercermin di Thailand, di mana terdapat lebih dari 18 jenis gender yang diakui secara resmi oleh negara.

Tentu saja hal semacam ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Dalam Islam, penjelasan mengenai penciptaan manusia hanya sebagai laki-laki (dzakar) atau perempuan (untsa) sangatlah jelas. Setiap individunya memiliki tanggung jawab dan hak yang sama besarnya, baik dalam konteks sosial maupun agama.

Beberapa hak tersebut bersifat umum bagi kedua jenis kelamin tersebut, sementara yang lainnya bersifat eksklusif untuk masing-masing tanpa mengurangi atau merendahkan yang lain.

Oleh karena itu, pada hal-hal yang bersifat eksklusif inilah, tidak boleh ada pencampuradukan.

Dalam khazanah kitab-kitab fikih, terdapat dua istilah yang tampaknya cukup relevan dalam pembahasan ini: “khuntsa” dan “mukhannats“.

Dua istilah ini sendiri juga sering dijadikan justifikasi oleh pendukung LGBTQ+ untuk menjelaskan bahwa sejak masa Rasulullah telah ada kesadaran akan keragaman gender.

Hanya saja, konsep dari khunsta/mukhannats pada masa itu sejatinya berbeda dengan konsep gender yang berkembang hari ini. Khuntsa merujuk pada kondisi di mana seseorang lahir dengan dua jenis kelamin (memiliki penis dan vagina sekaligus) atau bahkan terlahir tanpa keduanya.

Sedangkan, mukhannats merujuk pada laki-laki yang memiliki sikap, perilaku, dan cara berbicara layaknya perempuan.

Dalam kitab Fiqh Sunnah, “khuntsa” dibagi menjadi dua: khuntsa musykil dan khuntsa ghairu musykil.

Khuntsa musykil mengacu pada kondisi seseorang yang terlahir dengan dua kelamin, namun tidak ada tanda-tanda yang jelas menunjukkan kecenderungan yang mana jenis kelaminnya. Dengan demikian, sulit untuk menentukan apakah ia seorang laki-laki atau perempuan.

Sedangkan khuntsa ghairu musykil merujuk pada yang memiliki tanda-tanda yang jelas menunjukkan kecenderungan jenis kelaminnya.

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari (9/245) membagi mukhannats menjadi dua kategori: mukhannats bil khilqah dan mukhannats bil takalluf.

Mukhannats bil khilqah adalah laki-laki yang terlahir dan tidak secara sengaja meniru perilaku, penampilan, perkataan, atau gerakan perempuan. Sementara itu, mukhannats bil takalluf adalah laki-laki yang secara sengaja berusaha meniru perilaku, gerakan, gaya, perkataan, dan penampilan wanita.

Kedua konsep di atas, baik khuntsa maupun mukhannats, menekankan pada kondisi fisik dan perilaku seseorang. Selain itu, kedua konsep tersebut tetap berbasis pada pandangan bahwa jenis kelamin hanya laki-laki dan perempuan.

Hal ini berbeda dengan konsep gender yang berkembang saat ini, di mana sering diklasifikasikan justru berdasarkan orientasi seksual dan menolak pembatasan hanya laki-laki dan perempuan (binary gender).

Khuntsa dan mukhannats sendiri tidak secara langsung bisa dikaitkan dengan pelaku sodomi (homoseksual) seperti kaum Luth. Dalam kitab al-Tamhid fi al-Muwattha’ (22/273), Ibnu Abdil Barr menjelaskan bahwa menjadi mukhannats tidak sama dengan pelaku perbuatan tercela (fakhisyah), dan keduanya tidak dapat dihubungkan secara langsung.

Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Syaikh bin Baz dalam Majmu Fatawa-nya (3/342).

لِأَنَّ التَّخَنُّثَ هُوَ التَّشَبُّهُ بِالنِّسَاءِ، وَلَيْسَ مَعْنَاهُ أَنَّهُ لُوْطِيٌ كَمَا يَظُنُّهُ بَعْضُ الْعَامَّةِ الْيَوْمَ.

Karena mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai perempuan, bukan lantas berarti bahwa ia homoseksual seperti yang beberapa orang awam mungkin pikirkan saat ini.”

Pandangan kepada keduanya tentu harusnya berbeda dengan pandangan kepada orang yang memang memiliki orientasi seksual tak wajar. Hal ini juga tampak dalam sikap Rasulullah kepada mukhannats yang tidak sekeras sikap beliau kepada pelaku homoseksual.

Maka dari itu meski tidak sepenuhnya sama, setidaknya khuntsa dan mukhannats yang ada dalam khazanah fikih ini dapat menjadi acuan untuk menemukan fikih terapan bagi transpuan atau waria.

Penting juga kiranya untuk memahami hukum mukhannats masuk ke ruang-ruang privat perempuan secara umum, sebelum membahas persoalan shalat berjamaahnya mereka.

Hukum Mukhannats Masuk ke Ruang-Ruang Privat Perempuan

Dalam hal ini, terdapat dua keadaan yang perlu diperhatikan:

Pertama, jika mukhannats tersebut masih memiliki hasrat terhadap perempuan, maka para ulama sepakat bahwa mereka tidak diperbolehkan masuk ke ruang-ruang privat mereka.

Kedua, jika mukhannats tersebut jelas-jelas tidak lagi memiliki hasrat kepada perempuan, pendapat para ulama terbagi menjadi dua:

Pendapat pertama, yang dipegang oleh Malikiyah, Hanabilah, dan beberapa ulama Hanafiyah, menyatakan bahwa diperbolehkan bagi mukhannats yang tidak memiliki kecenderungan seksual terhadap perempuan untuk masuk ke ruang-ruang privat mereka. Para perempuan pun boleh menampakkan kecantikan mereka kepadanya.

Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wataala,

… اَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ …

… atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) … .(QS. An-Nuur: 31)

Sementara itu, Syafi’iyah dan mayoritas Hanafiyah tetap melarang mukhannats untuk masuk pada bilik-bilik perempuan meski mereka tidak lagi memiliki hasrat kepada perempuan.

Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah:

لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ

Jangan biarkan mereka (para mukhannats) masuk pada bilik-bilik kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 5887)

Pendapat untuk melarang para mukhannats masuk ke ruang-ruang privat perempuan jelas lebih tepat dan pendapat yang lebih hati-hati (akhwath).

Hal ini berdasarkan dua pertimbangan.

Pertama, di satu sisi, dalam fikih, dianjurkan untuk keluar dari perbedaan pendapat dengan mengambil sikap yang diterima oleh semua pihak (khuruj minal khilaf mustahab).

Kedua, di sisi lain, langkah ini lebih memperhatikan kehormatan dan aurat perempuan, serta menjaga keamanan ruang-ruang privat mereka.

Tentu disayangkan jika atas dasar memberikan hak kepada mukhannats, justru mengorbankan hak ruang yang aman bagi perempuan. Sehingga shalatnya seorang transpuan di barisan shaf perempuan tentulah tidak dapat dibenarkan.

Hukum Shalat Berjamaah bagi Mukhannats

Dalam konteks shalat berjamaah, bagi seorang transpuan yang tidak melakukan perubahan apa pun pada anggota tubuhnya, seharusnya ia tetap shalat di shaf laki-laki dan menggunakan pakaian laki-laki. Karena meski ia berperilaku seperti perempuan, pada fitrahnya ia tetaplah laki-laki.

Adapun jika transpuan tersebut telah mengubah anggota tubuhnya sehingga memiliki bentuk tubuh atau paras layaknya perempuan, merujuk pada penjelasan khuntsa yang dijelaskan dalam kitab Syarh al-Mumti’ ia sebenarnya tidak wajib untuk melakukan shalat berjamaah di masjid.

Artikel Fikih: Hukum Berjamaah Dalam Melaksanakan Shalat Fardhu

Bahkan Abu Hafs al-Barmaki dari kalangan Hanabilah, memiliki pandangan yang lebih keras bahwa shalat jamaahnya khuntsa tidaklah sah. Hal ini disebabkan akan terjadinya ambiguisitas.

Jika ia berdiri di shaf laki-laki, ia memiliki tubuh dan paras seperti perempuan. Jika dia berdiri bersama perempuan, tidak dinafikan bahwa ia tetaplah laki-laki.

Hanya saja, di dalam mazhab Hanabilah sendiri secara umum terdapat alternatif yang paling memungkinkan bagi khuntsa untuk shalat berjamaah. Yaitu ia berdiri di antara shaf laki-laki dan perempuan dengan shaf yang terpisah.

Karena dalam pandangan Hanabilah, jika seorang wanita berdiri di barisan laki-laki, shalatnya tidak menjadi batal, begitu juga shalat orang yang berada di belakangnya.

Hal ini juga dijelaskan dalam Mausuah al-Fiqhiyah (25/20). Jika seorang khuntsa hendak shalat berjamaah di masjid, maka ia harus memastikan untuk tidak berdiri di shaf laki-laki maupun perempuan. Sebagai gantinya, ia harus membentuk shaf tersendiri di belakang shaf laki-laki dan di depan shaf perempuan.

لَا ‌خِلَافَ ‌بَيْنَ ‌الْفُقَهَاءِ ‌فِي ‌أَنَّهُ ‌إِذَا ‌اجْتَمَعَ رِجَالٌ، وَصِبْيَانٌ، وَخَنَاثَى، وَنِسَاءٌ، فِي صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ، تَقَدَّمَ الرِّجَال، ثُمَّ الصِّبْيَانُ، ثُمَّ الْخَنَاثَى، ثُمَّ النِّسَاءُ

Para fuqaha tidak berbeda pendapat bahwa ketika laki-laki, anak-anak, khuntsa, dan wanita berkumpul untuk shalat berjamaah, maka urutannya adalah laki-laki, kemudian anak-anak, khuntsa, baru kemudian perempuan.”

Epilog

Pendekatan khuntsa dan mukhannats untuk melihat posisi transpuan atau waria hari ini seperti di atas, sama sekali tidak menjadi pembenaran akan perbuatan mereka. Karena dasarnya khuntsa adalah kondisi bawaan (terlahir seperti itu) yang di luar dari kuasa manusia, yang berbeda dengan operasi ganti kelamin (rekonstruksi genital) pada hari ini.

Mukhannats pun yang hanya bertingkah seperti perempuan, tetap dicela bahkan dilaknat oleh Allah subhanahu wataala, apalagi yang sampai memiliki orientasi seksual sejenis atau melakukan perbuatan fakhisyah (homoseksual).

Pendekatan ini bukan untuk menyamakan konteks konsep dahulu dengan konsep yang hari ini berkembang. Sebaliknya, fokusnya adalah untuk menemukan penerapan fikih yang relevan bagi mereka, terutama dalam konteks menjalankan kewajiban shalat.

Pada intinya, transpuan memang juga memiliki hak untuk interaksi dengan Tuhannya. Hanya saja, dalam Islam ibadah hanya akan diterima jika memenuhi dua syarat: Ikhlas karna Allah dan mengikuti tata cara Rasulullah (ittiba Rasul). Tanpa keduanya ibadah akan rusak, atau bahkan tertolak.

Selain itu, ibadah dalam Islam memang ada yang bersifat privat dan individual, namun lebih banyak lagi yang bersifat publik dan jamai. Sebagaimana dalam shalat berjamaah, disunahkan memakai wangi-wangian dan dimakruhkan makan bawang sebelum shalat, dengan hikmah agar tidak mengganggu saudaranya yang lain dengan aroma yang kurang sedap.

Maka, atas nama hak beribadah dan berinteraksi dengan Tuhan, tidak lantas menjadikannya sebagai pembenaran untuk menabrak hal-hal yang tidak layak dan kurang tepat. Wallahu alam. (M. Wildan Arif Amrulloh/dakwah.id)

Baca juga artikel Pemikiran atau artikel menarik lainnya karya M. Wildan Arif Amrulloh.

Penulis: M. Wildan Arif Amrulloh
Editor: Ahmad Robith

Artikel Pemikiran terbaru:

Topik Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *