Aqiqah untuk Diri Sendiri Boleh atau Tidak-dakwah.id

Aqiqah untuk Diri Sendiri Boleh atau Tidak?

Terakhir diperbarui pada · 5,903 views

Sebelum menjawab pertanyaan boleh-tidaknya aqiqah untuk diri sendiri, ada beberapa prinsip yang harus dipahami terlebih dahulu.

Aqiqah hukumnya sunnah muakkadah. Dalam istilah lain: sunnah wajibah. Bukan wajib. Ini pendapat yang rajih dari berbagai pendapat ulama yang ada. Anak laki-laki aqiqahnya dengan dua kambing. Anak perempuan aqiqahnya dengan  satu kambing.

Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

Siapa yang dikaruniai seorang anak, dan dia ingin menyembelih untuknya, hendaknya dia menyembelih. Untuk anak laki-laki dua kambing yang cukup. Dan untuk anak wanita satu kambing.” (HR. Abu Daud No. 2842; derajat hadits: hasan)

Sangat bagus jika syariat aqiqah ini diamalkan. Orang yang tidak mengamalkan syariat aqiqah, ia telah meninggalkan amalan sunnah muakkadah. Tapi ia sama sekali tidak berdosa, selama sikapnya bukan dalam rangka meremehkan salah satu syariat Islam ini.

Pembahasan lebih rinci tentang hukum aqiqah, silakan baca di artikel dakwah.id yang berjudul:

Hukum Aqiqah Wajib, Benarkah Demikian?

 

Berikutnya, pada asalnya aqiqah adalah tanggung jawab bapak. Aqiqah bukan tanggung jawab ibu. Aqiqah bukan tanggung jawab anak.

Dengan demikian, jika dalam keluarga terlahir seorang anak, dan bapaknya memiliki kemampuan untuk mengaqiqahi, maka bapaknya disunnahkan untuk segera mengaqiqahi anaknya tersebut.

Waktu yang disunnahkan untuk melaksanakan aqiqah adalah hari ketujuh dari kelahiran anak.

Di hari ketujuh ini, biasanya para sanak saudara dan tetangga berdatangan untuk silaturahmi melihat bayi dan memberikan ucapan selamat dan doa atas kelahiran anak.

Jika hari aqiqah anak kebetulan bertepatan dengan hari raya Idul Adha dimana disyariatkan untuk berqurban di hari itu, atau di salah satu dari tiga hari tasyriq berikutnya, para ulama berbeda pendapat apakah boleh menggabungkan niat aqiqah dan qurban dalam satu sembelihan.

Pembahasan lebih rinci tentang ini silakan baca artikel dakwah.id yang berjudul:

Sembelihan Dengan Niat Aqiqah dan Qurban

 

Jika seorang bapak—atas takdir Allah ‘azza wajalla—belum diberi kemampuan untuk mengaqiqahi anaknya, ia boleh menunda hingga ia memiliki kemampuan untuk mengaqiqahi anaknya. Dan aqiqah tidak gugur karena usia anak telah mencapai baligh.

 

Nah, dalam situasi seorang bapak yang tidak memiliki kemampuan untuk mengaqiqahi anaknya inilah muncul inisiatif bagi anak untuk melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri.

Selain juga ada faktor lain seperti, bapaknya meninggal dan belum sempat mengaqiqahi anak, sehingga anak berinisiatif melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri.

Atau, bapaknya telah cerai dengan ibunya dan belum sempat mengaqiqahi anak, sehingga anak ingin melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri.

Atau, kondisi dirinya yang mualaf sementara keluarganya masih belum masuk Islam, lalu anak ingin melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri. Dan lain sebagainya.

 

Para ulama fikih ikhtilaf dalam persoalan hukum melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri.

Pendapat pertama menyatakan dianjurkan melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri jika ia belum pernah diaqiqahi.

Pendapat kedua menyatakan aqiqah untuk diri sendiri itu tidak perlu.

 

PENDAPAT PERTAMA: Dianjurkan melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri jika ia belum pernah diaqiqahi

Dianjurkan melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri jika ia belum pernah diaqiqahi. Meskipun ia telah dewasa.

Ini adalah pendapat Atha’, al-Hasan, dan Muhammad bin Sirrin.

Al-Hafizh al-‘Iraqi menyebutkan bahwa al-Imam asy-Syafi’i berpendapat boleh memilih antara melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri atau tidak.

Namun al-Qafal asy-Syasyi—salah seorang ulama Syafi’iyah—lebih cenderung pada pendapat boleh melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri ketika dewasa.

Pernyataan ini diriwayatkan dari Imam Ahmad. Dan Imam Asy-Syaukani juga sependapat, mengingat hadits yang dijadikan argumen adalah shahih.

 

Baca: Anak di Bawah Umur Bertransaksi Jual Beli, Apakah Sah?

 

Dalilnya hadits berikut ini.

عَقَّ رسول صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى نَفْسِهِ بَعْدَمَا بُعِثَ بِالنُّبُوَّةِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri setelah diutus sebagai nabi.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Aburrazaq dari Abdullah bin Muharrar, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. (Mushannaf Abdurrazaq, No. 8103, versi al-Maktabah asy-Syamilah)

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalur Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. (Adh-Dhu’afa’, 2/33)

Juga diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam kitab Musykil al-Atsar (1/461) dan Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla (8/321) dari jalur Tsumamah bin Anas dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

Hadits ini dihukumi hasan oleh al-Albani. (As-Silsilah ash-Shahihah No. 2726, 6/1/502)

 

PENDAPAT KEDUA: Aqiqah untuk diri sendiri itu tidak perlu

Pendapat kedua menyatakan bahwa aqiqah untuk diri sendiri itu tidak perlu. Sebab aqiqah itu sebenarnya dibebankan kepada orang tua (bapak).

Nilai sunnah pada perkara ini terletak pada pembebanannya kepada orang tua. Sehingga, anak tidak perlu melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri ketika ia telah dewasa.

Pendapat ini mereka kuatkan juga dengan fakta bahwa hadits yang digunakan argumentasi pendapat yang pertama tidak bisa dijadikan hujjah (laa yatsbut), kalaupun hadits tersebut bisa dijadikan hujjah, maka itu akan dipahami sebagai keistimewaan (khishushiyyah) yang berlaku hanya untuk Rasulullah saja.

Diskusi panjang hadits tentang ini silakan merujuk ke tulisan DR. Husamuddin bin Musa Afanah, Al-Mufashshal fi Ahkam al-‘Aqiqah (151-159).

Kitab Al-Mufashshal fi Ahkam al-‘Aqiqah versi PDF dapat diunduh di sini:  DOWNLOAD PDF

 

Diskusi dan Kesimpulan Hukum Aqiqah untuk Diri Sendiri

Hadits yang dijadikan argumentasi oleh pendapat yang pertama memang masih terdapat ikhtilaf pada riwayatnya dari Nabi. Sebagian pakar hadits ada yang melemahkan dan ada pula yang menguatkan. Sehingga hadits ini dijadikan alasan atas bolehnya melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri ketika sudah dewasa.

Berkaitan dengan anggapan bahwa jika hadits tersebut shahih, itu mengisyaratkan hanya terbatas pada keistimewaan (khushushiyyah) yang berlaku hanya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Maka anggapan ini mestinya juga membutuhkan argumentasi atas kekhususannya. Namun argumentasi tersebut sampai saat ini belum ditemukan.

Selain itu, jika dianalisis dari sisi hukum asal aqiqah itu sendiri, bahwa aqiqah hukumnya adalah sunnah muakkadah. Beberapa ulama menyebut dengan istilah sunnah wajibah.

Sehingga dianjurkan bagi seseorang untuk melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri sebagai ganti dari tanggung jawab orang tua jika belum tertunaikan.

Karena aqiqah adalah ibadah yang sifatnya tanggung jawab (an-Nasikah al-Wajibah) yang dibebankan kepada orang tua (bapak)—menurut pendapat yang paling rajih. Kewajiban ini akan tetap berada di pundak orang tuanya selama ia belum menunaikannya. Meskipun anak telah dewasa.

Jika orang tuanya ternyata tidak mampu menunaikannya karena sebab syar’i tertentu, maka posisi pemikul tanggung jawab ini boleh digantikan oleh anaknya itu sendiri.

Sebab, aqiqah termasuk ibadah harta (al-Ibadat al-Maliyah) yang di dalamnya berlaku syariat perwakilan (an-Niyabah), seperti halnya zakat, hibah, dan semisalnya.

Di samping tidak adanya argumentasi yang melarang melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri ketika dewasa, terdapat beberapa atsar dari sebagian ulama salaf yang menunjukkan kebolehannya.

 

Baca: Bagian Warisan Istri, Anak Laki-laki, dan Anak Perempuan

 

Ibnu Sirrin rahimahullah berkata,

لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ عَنِّي لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي

Jika saja aku tahu kalau dia (orang tuaku) belum melaksanakan aqiqah untukku, niscaya aku akan melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri.” (HR. Ibnu Abi Syaibah No. 24236, 5/113; dishahihkan oleh Al-Albani dalam kitab ash-Shahihah, 6/1/506)

 

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata,

إِذَا لَمْ يُعَقَّ عَنْكَ فَعُقَّ عَنْ نَفْسِكَ وَإِنْ كُنْتَ رَجُلًا

Jika (semasa kecil) engkau belum diaqiqahi, maka laksanakan aqiqah untuk diri sendiri, meskipun engkau telah dewasa.” (HR. Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla, 8/322; Syarhu Sunnah, 11/264; dihukumi hasan oleh Al-Albani, 6/1/506)

 

Kemudian, dinukil dari Imam Ahmad bahwa beliau membenarkan jika seorang muslim belum diaqiqahi ketika kecil, hendaknya melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri ketika telah dewasa.

Beliau berkata,

إِنْ فَعَلَهُ إِنْسَانٌ لَمْ أَكْرَهُهُ

Jika seseorang melaksanakannya, aku tidak membencinya.” (Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud, Ibnu Qayyim, 1/88)

 

Dengan demikian, bagi seorang muslim yang memang belum sempat diaqiqahi oleh orang tua, sementara orang tua tidak mampu mengaqiqahi, atau telah wafat, maka ia boleh melaksanakan aqiqah untuk diri sendiri, meski telah dewasa. Wallahu a’lam. [Sodiq Fajar/dakwah.id]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *