hukum aqiqah

Hukum Aqiqah Wajib, Benarkah Demikian?

Terakhir diperbarui pada · 17,952 views

Banyak para orang tua di Indonesia meyakini bahwa seorang anak itu harus diaqiqahi pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Benarkah hukum aqiqah itu wajib? Bagaimana pendapat Mayoritas ulama tentang ini?

Pendapat Ulama Mazhab tentang Hukum Aqiqah

Sudah menjadi pengetahuan bersama, dalam persoalan fikih akan sering dijumpai perbedaan pendapat dari kalangan para ulama fikih, terutama ulama fikih empat Mazhab. Begitu juga dalam persoalan hukum aqiqah. Bagi seorang muslim biasa, dengan berpegang pada pendapat yang diamalkan oleh mayoritas ulama fikih insya Allah akan lebih menyelamatkan dari kekeliruan.

Baca juga: Bolehkah Memberi Nama Anak dengan Nama Malaikat?

Para ulama fikih mazhab Syafi’I dan pendapat masyhur Mazhab Hanbali menyatakan bahwa aqiqah hukumnya sunnah muakkadah. (Nihayatul Muhtaj, 8/137. Al-Majmu’, Imam an-Nawawi, 8/435. Mathalib Ulin Nuha, 2/488. Mughnil Muhtaj, 4/293)

Mereka berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم-قَالَ «كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى»

Dari Samurah bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An-Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Pendapat mazhab ini memahami bahwa makna murtahanun/tergadaikan adalah anak tersebut tidak akan bisa tumbuh dan berkembang dengan baik sebelum ia diaqiqahi.

Sementara Mazhab Hanafi berpendapat bahwa aqiqah dibolehkan pada hari ketujuh kelahiran anak, setelah memberi nama, mencukur rambut kepala, dan membagikan sedekah. Di antara ulama mereka juga ada yang mengatakan, “Anak tersebut diaqiqahi sebagai ibadah tambahan (Tathawwu’) dengan niat bersyukur atas nikmat Allah.” (Al-Bada i’, 5/59)

Baca juga: Sembelihan Dengan Niat Aqiqah dan Udhhiyah

Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, aqiqah hukumnya mandub. Hukum Mandub derajatnya berada di bawah hukum sunnah. (Syarh al-Kabir, ad-Dardir, 2/126)

Adapun ulama fikih mazhab zahiri semisal Daud bin Ali dan Ibnu Hazm, keduanya berpendapat bahwa aqiqah hukumnya wajib. (Al-Muhalla, 6/234. Al-Majmu’, 8/447. Al-Mughni, 9/459) namun, pendapat ini tidak banyak diamalkan oleh para ulama.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pendapat yang menyatakan hukum aqiqah itu sunnah muakkadah adalah pendapat yang banyak dipegang oleh mayoritas ulama mazhab.

Pendapat Ulama Kontemporer Tentang Hukum Aqiqah

Pendapat yang menyatakan bahwa aqiqah hukumnya sunnah muakkadah ini ternyata juga banyak diamalkan oleh para ulama kontemporer.

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dalam fatwanya menyatakan,

اَلْعَقِيْقَةُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ، وَلَا إِثْمَ عَلَى مَنْ تَرَكَهَا

“Hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah. Sehingga, tidak ada dosa bagi mereka yang meninggalkannya.”

Beliau berdalil dengan sebuah hadits,

عن عمرو بن شعيب عن أبيه أراه عن جده قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ ، عَنْ الْغُلامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ ، وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

Dari Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, barangsiapa yang melahirkan seorang anak jika ingin mengaqiqahi, maka hendaknya mengaqiqahi. Jika anak yang lahir laki-laki, maka aqiqah dengan dua kambing. Jika anak yang terlahir perempuan, maka cukup dengan satu kambing. (HR. Abu Daud, no. 2842. Hadits ini dianggap hasan oleh al-Albani dalam kitab, shahih Abi Daud)

Syaikh Shalih al-Munajjid menjelaskan bahwa, pada haadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan perintahnya dengan rasa suka/ingin untuk melaksanakan pada pelakunya. Maka ini menunjukkan bahwa hukum aqiqah hanya sekedar sunnah, tidak sampai derajat wajib.

Namun, di sisi lain syaikh Shalih al-Munajjid memberi catatan, meskipun hukum aqiqah adalah sunnah, hendaknya umat Islam tidak meremehkan amalan mulia ini. (www.islamqa.info)

Para ulama kontemporer yang tergabung dalam al-Lajnah ad-Daimah juga memfatwakan bahwa aqiqah hukumnya sunnah muakkadah, dengan ketentuan jika anak yang lahir laki-laki, maka aqiqah dengan dua kambing. Jika anak yang terlahir perempuan, maka cukup dengan satu kambing. Lalu aqiqah dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran.

Jika tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh karena adanya faktor tertentu, boleh untuk melaksanakannya di hari yang lain setelahnya. Lebih utama untuk segera melaksanakannya, dan tidak berdosa jika harus mengakirkannya. (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 11/934) Wallahu a’lam [dakwah.id]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *