Akhlak Nubuwah #5 Canda Nabi Tidak Mengandung Dusta dakwah id

Akhlak Nubuwah #5: Canda Nabi Tidak Mengandung Dusta

Terakhir diperbarui pada · 994 views

Pernahkah Anda mendapatkan keterangan tentang canda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?

Sangat tidak benar bahwa Islam hanya mengajarkan tentang ibadah terus-menerus, selalu serius dan tidak ada kesempatan sekedar untuk tertawa dan bercanda. Seakan-akan Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai teladan umat adalah sosok yang kaku dan beku.

Memang benar bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah pribadi yang khusyuk dalam ibadahnya. Saking lamanya beliau berdiri shalat malam, kaki beliau sampai bengkak. Ketika ditanya kenapa beliau demikian, “Tidakkah aku boleh menjadi hamba yang penuh rasa syukur?”

Juga tidak diragukan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah sosok yang banyak menangis, banyak berdoa, banyak shalat, panjang sujud dan munajatnya, dan selalu membasahi lisannya dengan zikir. Akan tetapi, melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam hanya pada sisi ini saja tentu tidak tepat.

Seakan-akan kita melupakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam juga merupakan sosok yang ceria, hangat, dan penuh kasih sayang.

Seperti yang diingat oleh Abdullah bin Al-Harist radhiyallahu ‘anhu tentang senyuman Nabi shallallahu alaihi wasallam,

مَا رَأَيْتُ أَحَداً أَكْثَرُ تَبَسُّماً مِن رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum selain Nabi shallallahu alaihi wasallam.” (HR. At-Tirmidzi No. 3603)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga tertawa, seperti yang pernah disaksikan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُول َاللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَواجِذُهُ

Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya.” (HR. At-Tirmidzi No. 2537)

Artikel Akhlak Nubuwah #3: Mengomentari Makanan

Namun yang membedakan tawa Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan kita adalah bahwa beliau tidak tertawa terbahak-bahak, atau tertawa keras. Tertawanya Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah senyuman, paling mentok senyuman beliau sampai terlihat gigi gerahamnya; sebuah senyum yang lebar.

Hal ini dijelaskan oleh sahabat Abdullah bin Al-Harits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak tertawa melainkan tersenyum.” (HR. At-Tirmidzi No. 3604)

Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkomentar ketika membahas bab tertawanya Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam kitabnya,

Petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam perihal tertawa yang sederhana (pertengahan), tertawa beliau adalah senyuman. Beliau tertawa dengan suara yang lirih-tidak terbahak-yang hanya terdengar oleh orang-orang dekat di sekitar beliau.” (Asy-Syamail al-Muhammadiyyah, Imam At-Tirmidzi, 249)

Sangat tidak benar jika menganggap Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah pribadi yang terkesan membosankan, kaku, dan beku. Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah sosok yang paling paham bagaimana menempatkan sesuatu sesuai porsi dengan sikap yang tepat.

 

Canda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Termasuk bagian dari akhlak nubuwah adalah soal bercanda; guyon dan tertawa. Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam juga bercanda, beliau juga tertawa! Karena bercanda itu menghidupkan jiwa, merehatkan pikiran, dan menghilangkan kepenatan.

Banyak sekali riwayat yang merekam perihal canda Nabi seperti yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu yang bercerita bahwa ia pernah duduk-duduk bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat.

Para sahabat bersyair dan bercerita mengenang masa-masa jahiliyah, kemudian mereka tertawa. Sementara itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tersenyum saat mereka tertawa. (HR. Muslim)

Hal ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam juga bergaul dan “nongkrong” bersama para sahabat, sembari bercerita kisah-kisah nostalgia yang memancing gelak tawa. Hal-hal semacam ini sama sekali tidak tercela dan merupakan bagian dari akhlak nubuwah yang diteladankan Nabi kepada umatnya.

Nabi shallallahu alaihi wasallam juga mencandai orang lain, seperti yang beliau lakukan kepada seorang nenek-nenek. Pada suatu kesempatan seorang wanita tua datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam meminta didoakan agar dimasukkan ke dalam Jannah.

Alih-alih didoakan, justru Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata kepada nenek tersebut dengan nada canda, Duhai ibu, sesungguhnya Jannah tidak dimasuki oleh nenek-nenek.” (HR. At-Tirmidzi dalam Syamail, 264)

Artikel Fikih: Permainan Menyerupai Judi, Bagaimana Hukumnya?

Ternyata canda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut membuat nenek itu menangis. Mungkin, dalam benaknya yang polos, kesempatan ia masuk Jannah sudah pupus. Sang nenek buru-buru pergi dengan perasaan patah hati. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

أَخْبِرُواهَا إِنَّهَا لَا تَدْخُلُهَا وَهِيَ عَجُوْزٌ

Kabarkan kepadanya, bahwa sesungguhnya ia tidak akan masuk Jannah dalam keadaan seperti wanita tua.”

Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam mengutip sebuah ayat,

إِنَّآ أَنشَأۡنَٰهُنَّ إِنشَآء فَجَعَلۡنَٰهُنَّ أَبۡكَارًا عُرُبًا أَتۡرَابا

Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al-Waqi’ah: 35-37)

Padahal maksud Nabi shallallahu alaihi wasallam tersebut adalah; bahwa memang tidak ada nenek-nenek di Jannah. Oleh karena itu, penduduk Jannah kelak Allah jadikan dalam wujud usia muda, yang berkisar usia 33 tahun. (Syarah Syamail an-Nabi, Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, 264)

Canda Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah canda yang menyenangkan orang lain. Canda Nabi bukan canda yang merendahkan atau melecehkan.

Seperti yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada laki-laki Arab Badui yang bernama Zahir bin Hiram, ia berbadan pendek dan seorang pedagang yang biasa menjual beberapa dagangan di Madinah.

Suatu ketika, saat sedang berjualan, tanpa ia sadari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memeluknya dari arah belakang.

Siapa ini? Lepaskan!” ucap Zahir.

Setelah mengetahui bahwa yang memeluknya adalah Nabi shallallahu alaihi wasallam ia pun membiarkannya karena senang.

Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda sembari bercanda, “Siapakah yang mau membeli orang ini?”

Zahir kemudian menimpali,

Ya Rasulullah engkau akan dapati bahwa aku ini (jika dijual) berharga murah.” Zahir merasa insecure dan merendah.

Akan tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda menyenangkan hatinya, “Tapi engkau di sisi Allah justru berharga mahal.” (HR. Ahmad)

Inilah ajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang akhlak nubuwah yang indah dan penuh hikmah dalam pergaulan terhadap sesama. Nabi juga mengingatkan kita untuk senantiasa riang saat saling berjumpa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

Janganlah kamu menganggap remeh sedikitpun terhadap kebaikan, walaupun kamu hanya bermanis muka kepada saudaramu (sesama muslim) ketika bertemu.” (HR. Muslim No. 4760)

 

Canda Nabi Tidak Mengandung Dusta

Jenaka itu menghibur lara. Tidak jarang seseorang yang sedang gelisah dan susah akan mencari hiburan lewat tontonan atau pertunjukan yang menggelitik, tujuannya menghibur diri dengan tawa.

Seakan-akan masalah yang dimiliki hilang sejenak, dilupakan sesaat dengan hiburan penuh kelucuan. Itulah mungkin sebabnya banyak sekali acara lawak yang tampil di layar televisi, dan acara pengundang tawa tidak ada matinya, terus berinovasi dan bertransformasi.

Tapi yang perlu jadi catatan dari acara lucu-lucuan tersebut adalah; terlalu banyak hiperbola dalam proses mengundang tawa. Terlalu banyak hal-hal yang dipaksakan; kalimat-kalimat dusta yang dibungkus agar membuat penonton tergelak tawanya.

Inilah yang jauh dari akhlak nubuwah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Bercanda adalah hal yang dibolehkan, karena Nabi pun bercanda, tapi yang membedakan adalah canda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengandung dusta.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

Sekalipun aku suka bergurau dengan kalian, aku tidak akan mengatakan kecuali kebenaran.” (HR. At-Tirmidzi)

Materi Khutbah Jumat: Muhammad bin Maslamah Teladan Menyikapi Orang yang Menghina Nabi

Keindahan akhlak ini adalah keluhuran budi yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam bergaul dengan manusia. Nabi shallallahu alaihi wasallam berhasil membungkus tawa tanpa dusta, mencandai manusia tanpa menyakiti mereka.

Justru hal inilah yang menyebabkan terjalinnya hubungan yang erat dan hangat antara Rasulullah dan para sahabatnya. Seperti yang dijelaskan oleh KH. Moenwar Chalil,

Biasanya para raja dan para pemimpin besar yang sangat dihormati dan disegani orang banyak, tidak suka tertawa dan bersenda gurau dengan rakyat atau orang yang berada di bawah pimpinannya, karena menjaga kehormatan dan kehebatan dirinya. Namun, dengan senda gurau yang bersih, benar, pantas dan sopan itu menambahkan keeratan hubungan beliau dengan para sahabatnya.” (Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Moenawar Chalil, 3/401)

Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menunjukkan akhlak nubuwah yang indah lagi penuh hikmah. Satu bekal bagi kita, bahwa menjadi seorang mukmin tidak selalunya menangisi dosa-dosa dan mengurung diri hanya untuk beribadah semata.

Sifat pertengahan dalam segala urusan adalah kebaikan. Maka bertindaklah sesuai porsi dan keadaan. Di saat waktu beribadah maka lakukanlah dengan khusyuk dalam shalat dan munajat. Namun, saat membersamai manusia, pergaulilah mereka dengan akhlak yang baik lagi indah.

Seperti ungkapan Syaikh Mahmud al-Mishri, “Sa’atan..Sa’atan” sesaat, sesaat. Bahwa segala sesuatu ada waktunya, sesuai dengan ukuran dan tempatnya. Dan mukmin yang baik adalah mereka yang tahu apa dan kapan sebuah perbuatan harus dilakukan.

Jadi, bercandalah dengan canda yang berkelas. Selayak canda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, canda yang tidak berlebihan juga tidak mengandung dusta. Wallahu a’lam (Fajar Jaganegara/dakwah.id)

 

Baca juga artikel tentang ADAB atau artikel menarik lainnya karya Ustadz Fajar Jaganegara.

Artikel serial Akhlak Nubuwah sebelumnya:
Akhlak Nubuwah #4 Membantu Pekerjaan Rumah

 

 

Topik Terkait

Fajar Jaganegara, S.pd

Pengagum sejarah, merawat ingatan masa lalu yang usang tertelan zaman. Mengajak manusia untuk tidak cepat amnesia. Pengagum perbedaan lewat khazanah fikih para ulama. Bahwa dengan berbeda, mengajarkan kita untuk saling belajar dan berlapang dada.

2 Tanggapan

Sungguh aku suka tulisan ini,, mohon ijin copy paste..

Dengan senang hati. Kami berharap tulisan-tulisan dakwah.id bermanfaat dan menginspirasi seluruh pembacanya. Mohon untuk tetap mencantumkan link sumber tulisan. Barakallah fikum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *