Gambar Wahabi Lingkungan Antara Sinisme, Distorsi, dan Etika Islam Atas Bumi Dakwah.id

Wahabi Lingkungan: Antara Sinisme, Distorsi, dan Etika Islam Atas Bumi

Terakhir diperbarui pada · 57 views

Belum lama ini, Ulil Abshar Abdalla melontarkan istilah yang menggelitik, yaitu “wahabi lingkungan”. Istilah wahabi lingkungan ini ditujukan kepada para aktivis yang menyuarakan isu lingkungan dan menolak tambang.

Sekilas terdengar jenaka. Tapi jika disimak lebih dalam, frasa wahabi lingkungan ini menyimpan persoalan yang serius. Ada yang ganjil ketika keberpihakan pada bumi, yang mestinya menjadi tanggung jawab bersama, justru tiba-tiba dicap sebagai kelompok ideologis.

Istilah “wahabi lingkungan” seakan menjadi senjata untuk mengaburkan substansi perlawanan ekologis dengan membingkainya dalam narasi ideologis. Ini menjadi semacam cara membungkam kritik, menutupi ketidakadilan, dan melindungi kepentingan industri yang merusak alam. Pertanyaannya, kenapa bisa begitu?

Salah Kaprah Istilah Wahabi

“Wahabi” menjadi istilah yang sangat populer, namun agaknya, sering kali digunakan secara politis. Dalam banyak diskusi publik, sebutan ini sering dilemparkan secara serampangan untuk memojokkan kelompok atau individu tertentu. Istilah ini sendiri sejak awal memang bukanlah istilah ilmiah, melainkan istilah politis.

Secara historis, kata “wahabi” merujuk pada gerakan yang dipelopori oleh Muḥammad ibn ʿAbd al-Wahhāb (w. 1792), seorang ulama Najd yang menyerukan pemurnian tauhid dan penghapusan praktik-praktik yang dianggap sebagai bid’ah. Gerakan ini kemudian bekerja sama dengan Dinasti Saud dan melahirkan fondasi ideologis Kerajaan Saudi.

Namun yang menarik, Muhammad ibn Abd al-Wahhab sendiri tidak pernah menamakan pengikutnya sebagai “wahabi”. Bahkan, ia secara eksplisit menolak sebutan itu karena menganggapnya bentuk ghuluw (berlebihan) dalam fanatisme. Hal ini bisa dilihat dalam kitabnya, Risālah ilā Ahl al-Qasīm.

Istilah “wahabi” justru pertama kali digunakan secara luas oleh kolonial. Dalam konteks kolonialisme Inggris di India, misalnya, sebutan “wahabi” digunakan oleh pemerintah Inggris untuk menyematkan cap radikal pada gerakan-gerakan Islam yang ingin membebaskan diri dari penjajahan. Misalnya saja Tehrīk-i Mujāhidīn, yang dipimpin oleh Sayyid Ahmad Shahid. Padahal, secara teologis dan genealogis, gerakan ini memiliki banyak perbedaan dengan ajaran Muhammad bin Abd al-Wahhab.

Dalam kajian akademik modern, sejarawan seperti Michael Cook (Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought, 2001) dan Francis Robinson (Separatism Among Indian Muslims, 1975) juga menyebut bahwa “wahabi” lebih sering dijadikan kategori politik daripada istilah yang netral.

Bahkan Hamid Algar, profesor studi Islam di UC Berkeley, dalam tulisannya Wahhabism: A Critical Essay (2002), menegaskan bahwa istilah ini lebih mencerminkan cara musuh-musuh ideologis menciptakan musuh imajiner daripada realitas historis yang objektif.

Tentu tidak dinafikan adanya kelompok ekstrem yang cenderung memiliki sikap takfiri. Sebagaimana ada juga kelompok yang cenderung ekstrem liberal. Hanya saja, bermudah-mudah menyematkan wahabi pada kelompok atau individu yang berseberangan, tampaknya tidak ada bedanya. Sama-sama ekstrem, cuma beda baju saja.

Jika istilah ini terus-menerus digunakan tanpa kerangka ilmiah yang jelas, maka yang terjadi adalah sebatas pembunuhan karakter. Perdebatan yang seharusnya berlangsung di ranah ilmu, akhlak, dan argumentasi justru direduksi menjadi perang label dan stempel.

Aktivisme Lingkungan: Berbasis Ilmu, Bukan Dogma

Memang tidak dipungkiri bahwa dalam diskursus global, ada juga beberapa ideologi lingkungan yang tergolong ekstrem. Misalnya saja golongan antinatalisme ekologis. Mereka percaya, mencegah kelahiran manusia adalah solusi krisis lingkungan.

Hanya saja, rasa-rasanya apa yang disuarakan oleh para aktivis lingkungan di Indonesia, termasuk masyarakat adat, petani, dan komunitas pesisir, jelas bukan bagian dari ideologi ekstrem tersebut. Yang mereka suarakan adalah nurani, lantaran melihat kerusakan yang kian jamak terjadi.

Laporan IPCC Sixth Assessment Report (2021), dokumen ilmiah paling komprehensif tentang perubahan iklim global, telah menyimpulkan dengan tegas bahwa aktivitas manusia, terutama industri ekstraktif, adalah penyebab utama krisis iklim. Jika tidak dihentikan, perubahan ini menjadi ancaman eksistensial bagi seluruh umat manusia.

Kita tak perlu melihat jauh. Di Indonesia, dampak industri tambang sangat terasa. Salah satu contohnya adalah ekspansi tambang nikel di Papua Barat, terutama di Kabupaten Raja Ampat.

Menurut laporan WALHI Papua Barat (2023), ada 13 izin tambang yang tumpang tindih dengan hutan lindung, kawasan konservasi, dan tanah adat. Salah satunya adalah rencana tambang di Pulau Kawe dan Gag—dua pulau yang sangat penting bagi ekosistem laut dan darat.

Baca juga: Dari Israf Menuju Fasad

Tambang nikel tidak hanya merusak alam. Ia juga mengancam hidup masyarakat adat. Mereka bergantung pada hutan, laut, dan tanah untuk makan dan hidup. Studi dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (2022) mencatat, tambang di Papua Barat telah menyebabkan rusaknya lingkungan, air tercemar, dan hilangnya wilayah adat.

Kerusakan seperti ini tidak berdiri sendiri. Sering kali ia datang bersama perampasan ruang hidup dan pengabaian hak masyarakat lokal.

Maka, saat masyarakat adat dan para aktivis menolak tambang, itu bukan tindakan ekstrem. Itu adalah upaya mempertahankan hidup dan masa depan. Jangan-jangan, mereka yang asal tuduhlah yang justru sedang tumpul rasa secara ekstrem.

Bumi dan Tujuan Penciptaan Manusia

Dalam al-Quran, Allah menyebut manusia sebagai khalīfah fī al-arḍ. Artinya wakil Tuhan di bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Ibnu Khaldūn (w. 808 H), dalam Muqaddimah-nya menjelaskan, “al-khilāfah maqṣūduhā riʿāyatu ad-dīn wa siyāsatu ad-dunyā bihī”.

Berarti, tujuan dari manusia sebagai khalīfah adalah untuk menjaga agama dan mengatur dunia dengannya. Termasuk mengatur pemanfaatan alam agar tidak terjadi kerusakan dan eksploitasi berlebihan.

Dalam QS. Al-A’rāf: 56, Allah lebih jelas berfirman,

وَلَا تُفْسِدُوا فِي ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَـٰحِهَا…

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya…”

Para ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar etis untuk hubungan manusia dengan alam. Imam Fakhruddin ar-Rāzī, dalam Tafsīr al-Kabīr, menafsirkan ayat ini sebagai larangan keras terhadap segala bentuk tindakan yang merusak sistem keseimbangan ekologis yang telah Allah ciptakan. Baginya, memperbaiki bumi adalah fardu kifāyah bagi manusia.

Dunia modern yang semakin digerakkan oleh logika materialisme dan konsumerisme, nilai-nilai etika jadi sering dipinggirkan. Dorongan akumulasi modal sering mengalahkan prinsip keberlanjutan. Akibatnya, industri, termasuk sektor ekstraktif seperti pertambangan, justru terjebak dalam logika eksploitasi. Kemajuan disyaratkan dengan penerimaan tambang dan ilusi kemajuan yang semu.

Yusuf Qardhawi dalam kitabnya yang berjudul Riāyah alBiah fī Syāriah alIslām menyampaikan,

Sesungguhnya kerusakan lingkungan itu merupakan akibat kerusakan manusia, dan lingkungan tidak akan baik kecuali manusianya baik, dan manusia tidak akan baik kecuali dirinya, yakni akal dan jiwanya, baik.”

Penjagaan terhadap lingkungan adalah pengejawantahan nyata dari maqāṣid asy-syarīah. Di dalamnya ada menjaga kehidupan (ḥifẓ an-nafs), menjaga keturunan (ḥifẓ an-nasl), dan menjaga harta (ḥifẓ al-māl). Semua itu kini terancam oleh krisis ekologi akibat dari aktivitas tambang yang mengabaikan rambu-rambu dan aturan lingkungan (bad mining).

Penjagaan Lingkungan dalam Sejarah Islam

Salah satu bentuk nyata penjagaan lingkungan dalam sejarah Islam adalah konsep ḥimā, yaitu kawasan lindung yang ditetapkan negara untuk melestarikan ekosistem. Rasulullah sendiri telah menetapkan ḥimā di sekitar Madinah, yang dikenal sebagai Naqī’, sebagai zona konservasi air dan rumput (HR. Abū Dāwūd, no. 3071).

Praktik ini dilanjutkan oleh para khalifah dan penguasa setelahnya. Di era Khilafah Umayyah dan Abbasiyah, ḥimā diperluas untuk mencakup hutan, padang rumput, dan wilayah mata air demi menjaga ketersediaan air, pangan, dan keanekaragaman hayati. Imam Mālik dalam al-Muwaṭṭa’ mengakui legitimasi negara menetapkan ḥimā sebagai bentuk maṣlaḥah mursalah.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, juga diterapkan sistem hisbah. Ia bukan hanya bertugas mengawasi pasar dan moral ekonomi, tetapi juga mengawasi pembuangan limbah, pencemaran air, dan penggundulan pohon.

Dalam Nihāyat ar-Rutbah fī Ṭalab al-Ḥisbah karya asy-Syaizarī (abad ke-12), muḥtasib diinstruksikan untuk melarang pembuangan kotoran ke sungai, mengatur tempat penyembelihan agar tak mencemari lingkungan, dan melindungi jalur air umum.

Materi Khutbah Jumat: 5 Akibat Meninggalkan Syariat Nahi Mungkar

Dalam tradisi fiqih, larangan terhadap praktik perusakan lingkungan juga sangat jelas. Dalam al-Mughnī karya Ibn Qudāmah al-Maqdisī, menebang pohon di tanah umum tanpa izin otoritas negara adalah haram, terutama jika membawa kerugian ekologis. Bahkan saat perang, Nabi melarang menebang pohon dan membakar tanaman (HR. Ath-Thabarani).

Menanggapi krisis iklim dengan sinisme bukan hanya tidak bijak, tetapi juga keliru secara konseptual dan moral. Melawan kerusakan lingkungan adalah soal kesadaran tauhid, bahwa bumi adalah amanah Allah kepada manusia sebagai khalīfah. Membiarkan kerusakan bumi adalah bentuk pengkhianatan terhadap-Nya.

Bukan wahabi lingkungan, tapi ekstremisme libidinal yang harus kita takutkan

Alih-alih takut pada wahabi lingkungan, seharusnya kita lebih takut pada ekstremisme libidinal. Mereka yang memperturutkan libido dan nafsu, dengan merusak alam dan menindas rakyat kecil.

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍۢ ۖ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang indah setiap kali ke masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31 ) (Muhamad Wildan Arif Amrulloh/dakwah.id)

Baca juga artikel Pemikiran atau artikel menarik lainnya karya Muhamad Wildan Arif Amrulloh.

Penulis: Muhamad Wildan Arif Amrulloh

Artikel Pemikiran terbaru:

Topik Terkait

Discover more from Dakwah.ID

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading