Ujian Keimanan Imam Ahmad bin Hanbal dari Para Penguasa dakwah.id

Ujian Keimanan Imam Ahmad bin Hanbal dari Para Penguasa

Terakhir diperbarui pada · 2,415 views

Ujian yang dihadapi oleh Imam Ahmad bin Hanbal merupakan ujian paling berat yang pernah dihadapi oleh para ulama secara mutlak.

As-Subki berkata tentang ujian tersebut, “Malapetaka yang besar dan musibah yang berat.” (Thabaqat Asy-syafi’iyah Al-kubra, As-Subki, 2/37)

Tahukah Anda, dari segi akidah, ujian yang menimpa beliau merupakan ujian yang sangat berat. Sedangkan dari segi waktu, ujian itu adalah ujian yang lama.

Tentang besar dan menyakitkannya siksaan yang dihadapi oleh Imam Ahmad, salah seorang algojo yang menyiksa beliau menuturkan, “Saya mencambuk Ahmad bin Hanbal sebanyak delapan puluh kali cambukan, seandainya cambukan itu dipukulkan kepada gajah, niscaya gajah itu akan binasa.”

Cukuplah goresan-goresan sekilas tentang ujian yang menimpa ulama, terutama Imam Ahmad menjadi pelajaran bagi kita.

Dan tahukah Anda, bahwasanya ada beberapa penguasa yang menjadi saksi atas kejahatan mereka dalam penyiksaan terhadap Imam Ahmad bin Hanbal.

 

Para penguasa yang menyiksa Imam Ahmad bin Hanbal

Siapa saja penguasa yang pernah menyiksa Imam Ahmad bin Hanbal?

Pertama: Al- Ma’mun (Abdullah bin Harun Ar- Rasyid) yang membelenggu dan merantai sang Imam.

Inilah awal mula sang Imam mendapatkan ujian dengan cara dibelenggu dan dirantai.

Al-Ma’mun dianggap sebagai khalifah pertama Bani Umayyah dan Bani Al-Abbas yang menyimpang dari mazhab salaf.

Ibnu Jauzi berkata, “Orang-orang senantiasa berada di atas manhaj salaf berpandangan bahwa Al-Quran adalah kalamullah bukan makhluk, sampai muncullah Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk, hanya saja hal itu masih ditutup-tutupi. Ketika Ar-Rasyid meninggal, keadaan tetap seperti itu pada zaman dua masa kekhilafahan Umayyah.

Sebab Al-Makmun menyimpang dari mazhab salaf adalah masuknya pengaruh aliran pemikiran Mu’tazilah kepada beliau.

Ibnu Katsir berkata, “Sekelompok Mu’tazilah mendekati Al-Ma’mun, lalu mereka membelokkan Al-Ma’mun dari kebenaran menuju kebatilan, menyuntikkan pemahaman bahwa Al-Quran adalah makhluk dan menafikan sifat-sifat dari Allah ‘azza wa jalla.”

 

Kedua: Al-Mu’tasim (Muhammad bin Harun Ar-Rasyid) yang memenjarakan dan menyiksa sang Imam.

Kematian Al-makmun tidak menjadikan ujian tersebut berhenti. Sebaliknya, ujian yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal justru bertambah semakin berat dibandingkan sebelumnya.

Hal itu disebabkan sebelum Al-makmun meninggal dunia, ia berwasiat kepada Al-Mu’tashim agar melibatkan gembong fitnah, Ibnu Abi Daud dalam menyiksa Imam Ahmad dan terus menyebarkan pemikiran bahwa Al-Quran adalah makhluk.

Al- Mu’tashim pun melaksanakan wasiat Al-Makmun tersebut dan menggantikan posisi Al-Makmun dalam penyiksaan.

Salah satu dari algojo mencambuk Imam Ahmad sebanyak dua kali cambukan. Lantas al-Mu’tashim berkata kepada algojo tersebut, “Pukul lebih keras lagi, semoga Allah memutus kedua tanganmu!”

Algojo lain pun datang dan mencambuk sang Imam sebanyak dua kali cambukan. Demikian juga algojo-algojo lainnya, mereka melakukan hal yang sama terhadap Imam Ahmad, hingga sang Imam tidak sadarkan diri. (Al-bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir, 10/348)

Ketika pukulan itu berhenti, beliau siuman. Melihat hal itu, para algojo itu kembali memukuli beliau, sehingga Imam Ahmad bin Hanbal tidak merasakan sakitnya pukulan tersebut.

Bahkan salah seorang algojo tersebut berkata, “Demi Allah, Zat yang tidak ada Ilah selain Dia, saya telah mencambuk Imam Ahmad dengan cambukan yang seandainya dicambukkan kepada seekor unta, niscaya unta itu akan mati.”

 

Ketiga: Al-Watsiq (Harun bin Al- Mu’tashim) yang membatasi gerak dan mencekal Imam Ahmad.

Setelah Al-Mu’tashim meninggal dunia, roda pemerintahan dilanjutkan oleh putranya, Al-Watsiq (Harun bin Al-Mu’tashim). Hanya saja dia tidak menyiksa sang Imam, karena dia memandang bahwa penyiksaan tidak akan bisa mengubah pendirian Imam Ahmad.

Dia memahami bahwa sang Imam tidak akan pernah meninggalkan kebenaran dan para pengikutnya semakin bertambah banyak. Al-Wastiq memerintahkan agar imam Ahmad dicekal dan berstatus tahanan rumah. Beliau dilarang bergaul dengan masyarakat dan dilarang tinggal di daerah atau kota yang ditempatinya saat itu. (Siyaru A’lamin Nubala, Adz-Dzahabi, 11/264)

Akhirnya, Imam Ahmad berdiam diri hingga Al-Watsiq meninggal dunia.

 

Keempat: Al-Mutawakkil (Ja’far bin Al-Mu’tashim) yang menguji dengan kemewahan.

Setelah Al-Watsiq meninggal dunia, maka roda pemerintahan dilanjutkan oleh Al-Mutawakkil.

Pada masa pemerintahannya, Al-Mutawakkil banyak meraih prestasi, ia membela para pengusung kebenaran, menghancurkan ahli bid’ah, berhasil memadamkan api bid’ah dan menghidupkan cahaya sunah. (Manaqibul Imam ahmad, Ibnul Jauzi, 483-484)

Di masa pemerintahan Al-Mutawakkil ini, kedudukan Imam Ahmad semakin terhormat. Al-Mutawakkil sangat menghormati Imam Ahmad dan sering mengirimkan hadiah kepadanya.

Hanya saja Imam Ahmad selalu menolak pemberian dari Khalifah. Karena menurut beliau, fitnah kemewahan tidak kalah bahaya daripada fitnah kesulitan yang pernah beliau alami pada masa pemerintahan khalifah-khalifah sebelumnya.

Artikel Fikih: Pakaian Muslimah Harus Memenuhi 8 Syarat Ini 

Imam Ahmad memiliki kedudukan yang istimewa di mata khalifah Al-Mutawakkil, sehingga Al-Mutawakkil tidak mengangkat seseorang menjadi pemimpin kecuali setelah ia meminta pertimbangan kepada sang Imam.

Ibnu katsir berkata, “Pada tahun-tahun tersebut hingga Imam Ahmad meninggal dunia, Al-Mutawakkil selalu bertanya kepada Imam Ahmad, meminta pendapat tentang satu perkara yang hendak diputuskan, dan meminta pertimbangan dalam beberapa masalah yang dihadapinya.” (Al-bidayah Wa An-Nihayah, Ibnu Katsir, 10/374)

 

Sikap Ahmad bin Hanbal dalam Menaklukkan Ujian

Imam Ahmad bin Hanbal menghadapi ujian ini dengan beberapa sikap, di antaranya yaitu:

Pertama: Tetap mendakwahkan kebenaran secara terang-terangan, tidak mengambil dispensasi atau sikap berpura-pura untuk menyelamatkan diri.

Abu Zuhrah rahimahullah berkata, “Berpura-pura tidak boleh dilakukan oleh para imam yang dijadikan sebagai teladan dan diikuti petunjuknya, agar manusia tidak terjerumus ke dalam kesesatannya.”

Karena jika para imam tersebut mengucapkan apa yang tidak mereka yakini, sedangkan orang-orang tidak memahaminya, maka mereka akan mengikuti ucapan tersebut dan mengira itu merupakan kebenaran yang terdapat dalam syariat Islam.

Akibatnya terjadilah kerusakan dalam skala besar, tidak hanya menimpa orang-orang tertentu saja.

Maka, pantaslah jika seorang imam mendapatkan ujian dan cobaan yang kemudian menjadikan kebenaran tersebar luas dan ujian menjadi media penyebaran dan publikasinya.

Kedua: Teguh dalam memegang kebenaran baik di kala susah maupun senang, dalam keadaan sukarela maupun terpaksa.

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Imam Ahmad telah menghadapi berbagai macam ujian.

Al-Ma’mun mengujinya dengan penahanan, lalu Imam Ahmad digiring menghadap Al-Ma’mun dalam keadaan dibelenggu dengan besi yang sangat berat.

Al-Mu’tashim mengujinya dengan penjara, pukulan dan penyiksaan. Al-Watsiq mengujinya dengan pencekalan dan penahanan rumah.

Pada masa Al-Mutawakkil belia diuji dengan kemewahan, namun beliau menolak dan tidak menerimanya sekalipun beliau miskin, fakir, dan sangat membutuhkan.

Setelah menghadapi semua ujian tersebut, Imam Ahmad diuji dengan ujian yang lebih berat dengan kekaguman manusia pada dirinya, namun hal itu tidak membuat Imam Ahmad membanggakan diri dan tertipu.

Ketiga: Memaafkan dan berlapang dada kepada semua orang yang terlibat dan menjadi penyebab beliau mendapatkan ujian.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Imam Ahmad telah memaafkan semua orang yang menyakitinya kecuali ahli bid’ah.”

Adapun pihak-pihak yang menyebabkan Imam Ahmad mendapatkan ujian, mereka telah dihukum oleh Allah di dunia ini sebelum mendapatkan siksaan di akhirat kelak.

Ahmad bin Abi Duad yang berfatwa agar memukul ulama, memenjarakan dan membunuh mereka, Allah telah menghukumnya di dunia dengan penyakit lumpuh.

Selama empat tahun dia terbaring tidak berdaya di tempat tidurnya dan diberhentikan oleh Al-Mutawakkil dari tugasnya, bahkan Al-Mutawakkil memerintahkan untuk menyita semua harta kekayaannya.

Artikel Tsaqafah: Identitas Sebuah Agama dan Wacana Pluralisme dalam Toleransi 

Sedangkan akhir kehidupan para algojo yang mencambuk Imam Ahmad; Abu Dzar ditimpa penyakit kusta dan penyakit lainnya, hingga anggota tubuhnya terlepas. Allah telah membinasakannya karena perbuatannya yang sangat buruk.

Sedangkan Abul Aruq, selama empat puluh lima hari melolong seperti anjing, Allah menimpakan penyakit kepadanya, yang membuat dirinya melolong seperti lolongan anjing. (Al-Minhajul Ahmad, Abu Yaman Al-Ulaimi, 1/39-40)

Adapun Al-Ma’mun yang merupakan orang yang pertama yang memasukkan ilmu mantiq dan ilmu-ilmu Yunani lainnya ke dalam agama Islam dan menjadi penyebab Imam Ahmad bin Hanbal mendapatkan ujian berat tersebut, Ibnu Taimiyah berkata tentang dirinya, “Saya kira Allah tidak akan lalai terhadap apa yang telah disusupkan oleh Al-Ma’mun kepada kaum muslimin.”

Di zaman kita, adakah ulama yang ujiannya seberat ujian Imam Ahmad bin Hanbal? (Jalan Juang, DR. Masyari al-Mathrafi/dakwah.id)

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *