Gambar Sinkretisme Agama dan Bahayanya Terhadap Akidah Dakwah.id

Sinkretisme Agama dan Bahayanya Terhadap Akidah

Terakhir diperbarui pada · 52 views

Apa itu sinkretisme agama? Dan apa bahayanya terhadap akidah? Ustadz Adib Fattah Suntoro, M.Ag. menguraikannya pada artikel dakwah.id berikut ini. Mari kita simak.

Wafatnya Gayatri Muthari, seorang aktivis feminis yang kontroversial, pada 10 Mei 2025 menarik perhatian banyak kalangan. Perbincangan tentang dirinya tidak hanya berkisar pada kematiannya akibat penyakit autoimun lupus, tetapi juga pada perubahan keyakinannya yang cukup drastis.

Sebelumnya, Gayatri dikenal sebagai seorang muslimah berhijab yang aktif dalam organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).[i] Namun pada 2009, ia bergabung dengan Tarekat Daudiyah yang didirikan oleh Thomas McElwain atau Syekh Ali Haidar. Saat itulah pergeseran pandangan keislamannya pun mulai terjadi.

Tarekat Daudiyah sendiri merupakan aliran spiritual bernuansa Islam (tasawuf), tetapi mengandung unsur-unsur sinkretisme, yaitu pencampuran antara ajaran Islam dan ajaran agama lain.[ii]

Dalam tarekat tersebut, Gayatri menempati posisi yang cukup tinggi bahkan diberi gelar spiritual “Syekhah Hefzibah Al-Daudiyah” dan dijuluki “Pengantin Elia”.[iii] Sejak saat itu, ia aktif dalam berbagai komunitas lintas iman dan kampanye keberagaman yang mengaburkan batas-batas teologis Islam (pluralisme agama).

Bahkan ia dikenal cukup vokal dalam mengkampanyekan feminisme dan penentangan syariat hijab, suatu syariat yang dahulu ia pegang teguh.

Perjalanan spiritual Gayatri yang kemudian bergabung dengan sebuah aliran berpaham sinkretis dapat menjadi bahan perenungan bersama. Ia yang sebelumnya dikenal sebagai aktivis muslimah yang taat, aktif dalam organisasi keislaman, akhirnya menempuh jalan pemikiran yang berbeda 180 derajat dengan sebelumnya.

Perubahan ini mencerminkan salah satu gejala dari arus global yang kini semakin menguat, yaitu pluralisme agama.

Dalam kajian akademik, Anis Malik Thoha melalui bukunya Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis mengidentifikasi sinkretisme sebagai bentuk nyata dari pluralisme tersebut.[iv] Sinkretisme tidak hanya berupa penggabungan simbol-simbol dan praktik ritual dari berbagai agama, tetapi juga membawa implikasi serius terhadap kemurnian akidah umat.

Dalam konteks Islam, prinsip tauhid merupakan pilar utama yang tidak dapat dicampuradukkan dengan keyakinan lain. Ketika konsep tauhid dikaburkan melalui penyatuan ajaran dengan doktrin seperti Trinitas, reinkarnasi, atau bentuk lain dari paham ketuhanan non-islami, maka hal tersebut dapat merusak struktur keimanan yang telah baku.

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memiliki kesadaran kritis terhadap fenomena sinkretisme agama, guna menjaga kemurnian akidah dan mempertahankan identitas keislaman dalam arus globalisasi yang semakin kompleks.

Pengertiannya

Sinkretisme agama digambarkan sebagai proses pencampuran, penggabungan, atau asimilasi unsur-unsur dari dua atau lebih tradisi keagamaan yang berbeda ke dalam satu sistem kepercayaan baru.[v]

Istilah ini berasal dari kata Yunani synkretismos, yang berarti “persatuan orang-orang Kreta,” dan dalam perkembangan akademik, digunakan untuk menggambarkan percampuran doktrin, ritus, simbol, atau praktik keagamaan.[vi]

Dalam Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion (vol. 15, hlm. 125), disebutkan bahwa sinkretisme terjadi karena interaksi budaya yang intens, terutama ketika dua tradisi religius saling bersentuhan dalam konteks kolonialisme, migrasi, atau pertukaran budaya.[vii]

Dengan demikian, sinkretisme agama artinya adalah suatu bentuk percampuran antara satu agama dangan agama lain sehingga berubah menjadi agama atau ajaran tersendiri yang terpisah.

Sinkretisme dapat dilihat dalam berbagai peradaban, baik dalam sejarah maupun dalam masyarakat kontemporer. Dalam konteks sejarah, salah satu contoh sinkretisme yang paling mencolok adalah perpaduan antara agama-agama lokal di Amerika Latin dengan Kekristenan Katolik yang dibawa oleh penjajah Spanyol.

Praktik keagamaan seperti kultus terhadap Bunda Maria di Meksiko, yang bercampur dengan pemujaan terhadap dewi-dewi lokal seperti Tonantzin, adalah contoh konkret bagaimana simbol-simbol dan ritus-ritus Katolik diserap ke dalam struktur religius pribumi.[viii]

Baca juga: Identitas Sebuah Agama dan Wacana Pluralisme dalam Toleransi

Di Asia, sinkretisme juga tampak dalam integrasi antara Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme di Tiongkok, yang kemudian dikenal dengan istilah San Jiao He Yi (tiga ajaran dalam satu kesatuan).[ix]

Sementara itu, sinkretisme agama yang berkaitan dengan Islam tampak dalam kemunculan berbagai kelompok yang memadukan ajaran Islam dengan unsur kepercayaan lain.

Misalnya, Druze menggabungkan ajaran Ismailiyah dengan filsafat Yunani dan kepercayaan reinkarnasi,[x] sementara Alevisme di Turki mencampurkan unsur Syiah, tasawuf, dan tradisi Kristen.[xi]

Tarekat Bektashi dan Daudiyah juga mencerminkan perpaduan antara Islam, mistisisme, dan budaya lokal.[xii]

Di luar konteks Islam langsung, Sikhisme lahir dari interaksi antara Islam dan Hindu di India,[xiii] dan Theosophical Society[xiv] di Barat menyerap elemen mistik dari berbagai agama termasuk tasawuf. Fenomena ini menunjukkan bahwa saat Islam berinteraksi dengan budaya lain, sinkretisme bisa muncul, yang seringkali menimbulkan tantangan terhadap kemurnian akidah.

Meskipun gerakan dan kelompok yang berhaluan sinkretistik tersebut memiliki keunikan dan ciri khas masing-masing, namun secara umum mereka tidak lepas dari dua model ajaran dan pendekatan.

Pertama, sinkretisme agama tumbuh di atas asumsi bahwa kebenaran terbagi secara sama rata di antara agama-agama. Artinya, mereka meyakini bahwa semua agama saling berbagi (sharing) kebenaran antara satu sama lain.

Maka bagi mereka kebenaran mutlak bukan monopoli satu agama tertentu, melainkan setiap agama memiliki kebenaran nisbi dan parsial.

Berangkat dari pandangan ini maka muncullah langkah selanjutnya dalam sinkretisme agama, yaitu (kedua) keyakinan bahwa agama-agama saling melengkapi. Hal ini muncul sebagai dampak dari konsep relativisme kebenaran yang telah digagas sebelumnya.

Ketika dua gagasan ini telah terajut dalam suatu gerakan atau kelompok dengan utuh, maka tak dapat dielakkan lagi ajaran bernuansa sinkretistik akan muncul.[xv]

Sinkretisme sebagai Tren Pluralisme Agama

Ditinjau dari berbagai aspeknya, sinkretisme agama memang sangat identik dengan pluralisme agama. Sebab sinkretisme agama, apa pun bentuknya dan bagaimanapun caranya, pasti selalu mengandaikan adannya relativisme kebenaran dan nilai-nilai keagamaan.

Bahkan sinkretisme agama terkesan lebih berani dalam menabrak fondasi-fondasi teologis dari agama-agama dibanding pluralisme itu sendiri.

Keterkaitan sinkretisme dengan pluralisme agama telah disadari oleh Anis Malik Thoha. Ia dalam bukunya Tren Pluralisme Agama bahkan secara eksplisit mengkategorikan sinkretisme sebagai salah satu tren utama pluralisme agama di samping tren humanisme sekuler, teologi global, dan hikmah abadi.

Pernyataan mengenai sinkratisme sebagai bentuk pluralisme agama tertuang dalam ungkapan Anis Malik Thoha berikut ini,

“Sebagaimana diketahui secara luas bahwa sinkretisme atau eklektisme, baik sebagai suatu bentuk way of life ataupun sebagai tren pemikiran, dalam prosesnya selalu mengandaikan adanya suatu lingkungan kultural dan pemikiran yang toleran terhadap perbedaan dan keragaman serta menghormatinya, dan di saat yang sama juga menyakralkan/menyucikan “relativisme” nilai-nilai moral, imaniyah, aqidatim dan tradisional dengan berbagai bentuknya yang ada di dunia. Maka, tidak mungkin dibayangkan sama sekali, secara teoritis maupun praktis, munculnya sinkretisme kecuali dengan pengandaian ini. Dengan demikian, rasanya cukup jelas relevansi dimasukkannya tren sinkrestistik ini ke dalam kajian tentang tren-tren pluralisme agama.”[xvi]

Irisan antara sinkretisme agama dan pluralisme agama semakin tampak jelas jika kita meninjau fondasi filosofis keduanya yang sama-sama menolak klaim eksklusivitas kebenaran oleh satu agama tertentu.

Pluralisme agama, sebagaimana didefinisikan John Hick, memandang bahwa semua agama besar dunia merupakan respons yang sah dan setara terhadap satu realitas tertinggi (The Real), dan bahwa transformasi spiritual sejati dapat terjadi dalam semua agama secara relatif setara.[xvii]

Pandangan ini sejalan dengan asumsi dasar sinkretisme agama yang meyakini bahwa kebenaran tersebar merata di antara berbagai agama dan bahwa tidak satu pun agama memiliki kebenaran absolut.[xviii]

Dari sinilah muncul keyakinan bahwa semua agama saling melengkapi, dan pada akhirnya membuka jalan bagi pencampuran ajaran lintas agama secara doktrinal. Dengan demikian, pluralisme agama tidak hanya menjadi landasan teoritis bagi sinkretisme, tetapi juga memperkuat relativisme kebenaran yang menjadi ciri utama gerakan-gerakan sinkretistik.

Dalam konteks ini, batas antara penghormatan terhadap keragaman dan pengaburan identitas teologis menjadi kabur, sehingga keduanya memiliki konsekuensi serius terhadap kemurnian akidah agama yang bersifat eksklusif, seperti Islam.

Bahaya Sinkretisme Agama terhadap Akidah

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sinkretisme agama merupakan suatu upaya meramu ajaran-ajaran dari berbagai agama ke dalam suatu bentuk keyakinan baru yang diyakini lebih komprehensif dan unggul, dengan asumsi bahwa setiap agama mengandung unsur kebenaran dan kebaikan tertentu.

Para penganut pendekatan ini beranggapan bahwa dengan menggabungkan elemen-elemen yang dianggap positif dari masing-masing agama, mereka dapat menciptakan sistem kepercayaan yang lebih utuh dan inklusif. Namun, di sinilah letak kekeliruan fundamental dari pendekatan sinkretistik tersebut.

Apa yang tidak mereka sadari adalah bahwa konsep kebenaran dan kebaikan tidak bersifat universal lintas agama, melainkan dibentuk oleh kerangka teologis dan epistemologis masing-masing tradisi keagamaan. Sesuatu yang dianggap benar dan baik dalam Islam belum tentu demikian dalam Kristen, dan sebaliknya.[xix]

Contoh paling jelas adalah dalam memahami figur Isa (Yesus). Dalam Kristen, Isa diyakini sebagai Tuhan yang layak disembah, sementara dalam Islam, beliau adalah seorang Nabi mulia yang tidak boleh dipertuhankan.

Perbedaan mendasar seperti ini menunjukkan—bahwa pencampuran ajaran antaragama, terutama pada aspek-aspek teologis yang bersifat prinsipil, bukan hanya sulit, tetapi secara epistemologis dan doktrinal adalah kontradiktif. Oleh karena itu, sinkretisme agama bukanlah bentuk harmonisasi, melainkan sebuah reduksi terhadap integritas ajaran masing-masing agama.

Dalam perspektif Islam, al-Quran telah dengan tegas menolak segala upaya pencampuran antara kebenaran (al-haq) dan kebatilan (al-bathil). Dalam Surah al-Baqarah ayat 42 Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَلْبِسُوا۟ ٱلْحَقَّ بِٱلْبَٰطِلِ وَتَكْتُمُوا۟ ٱلْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.”

Menurut Imam ats-Tsa‘labi, dalam Tafsir al-Kashf wa al-Bayan an Tafsir al-Qur-an, ayat ini turun berkaitan dengan Ahlulkitab yang mencampuradukkan antara kebenaran yang telah Allah turunkan—khususnya keterangan tentang sifat dan kenabian Nabi Muhammad—dengan kebatilan yang mereka buat sendiri.

Ia menjelaskan bahwa sebagian Ahlulkitab sengaja menampilkan sebagian kebenaran dan menyembunyikan sisanya untuk menyesatkan.[xx]

Tafsir ini menunjukkan bahwa mencampuradukkan ajaran yang haq dengan yang batil adalah tindakan yang tercela, sehingga menjadi dalil kuat dalam menolak sinkretisme agama yang mengaburkan batas-batas kebenaran.

Lebih tegas lagi, dalam Surah al-An’am ayat 82, Allah menegaskan bahwa orang beriman tidak akan mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman (syirik). Allah berfirman,

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَࣖ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapat petunjuk.”

Dalam penjelasannya terhadap ayat tersebut, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa maksud dari “kezaliman” dalam ayat ini adalah syirik, bukan dosa secara umum. Hal ini ditegaskan melalui hadits-hadits yang diriwayatkan dari para sahabat seperti Ibnu Mas‘ud, yang meriwayatkan bahwa para sahabat merasa berat karena merasa semua orang pasti pernah berbuat zalim.

Namun, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kezaliman di sini adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Luqman: 13,

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”[xxi]

Penjelasan ini sekaligus menjadi dasar kuat untuk menolak konsep sinkretisme agama. Sinkretisme yang mencampuradukkan unsur-unsur ajaran dari berbagai agama dengan anggapan bahwa semua mengandung kebenaran, pada hakikatnya jatuh dalam bentuk pencampuran antara tauhid dan syirik—suatu bentuk kezaliman terbesar menurut al-Quran.

Dengan demikian, menurut Ibnu Katsir, mencampur iman dengan syirik bukan hanya membatalkan keimanan, tetapi juga bertentangan langsung dengan misi pokok para nabi, yakni memurnikan akidah dari segala bentuk percampuran dengan kebatilan.

Maka dari itu, ayat ini menjadi dalil kuat dalam menolak sinkretisme agama yang mengaburkan batas antara kebenaran dan kebatilan dalam ranah akidah.

Sampai di sini jelas bahwa sinkretisme agama sangat bertentangan dengan konsep purifikasi tauhid dalam Islam. Kita perlu meyakini bahwa ajaran apa pun yang mengarah pada sinkretisme agama dapat merusak iman dan membahayakan akidah.

Karena itu kita harus menolaknya dengan tegas. Demikianlah Allah memerintahkan kita dan begitulah Rasulullah mencontohkan pada kita seperti yang tertuang dalam Surah al-Kafirun.

Serial Ngaji Akidah: 6 Karakteristik Akidah Islamiyah

Disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa Surah al-Kafirun diturunkan berkaitan dengan peristiwa ketika kaum musyrik Quraisy menawarkan kompromi kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam agar beliau menyembah berhala mereka selama setahun dan mereka akan menyembah Allah selama setahun. Maka Allah menurunkan surat ini sebagai penolakan mutlak terhadap ajakan tersebut.

Ibnu Katsir menegaskan bahwa meskipun orang-orang musyrik Arab mengakui keberadaan Allah sebagai Pencipta, mereka tetap dianggap kafir karena menyekutukan-Nya dalam ibadah. Oleh karena itu, surah ini menutup rapat pintu terhadap segala bentuk pencampuran akidah, sekaligus menunjukkan bahwa Islam adalah agama tauhid murni yang tidak bisa disatukan dengan ajaran lain.

Maka slogan kita dalam hubungan antaragama adalah lakum dinukum waliyaddin,untukmu agamamu dan untukku agamaku. Tak perlu mencampurkannya, dan tak perlu mengkompromikannya. Biarkan masing-masing berjalan sesuai arah yang diyakini masing-masing. (Adib Fattah Suntoro/dakwah.id)

Baca juga artikel Pemikiran atau artikel menarik lainnya karya Adib Fattah Suntoro, M.Ag.

Penulis: Adib Fattah Suntoro, M.Ag.

Artikel Pemikiran terbaru:


[i] “Gayatri Wedotami,” Wikipedia, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Gayatri_Wedotami.

[ii] “Pengasuh,” Daudiyah.WordPress.Com, 2024, https://daudiyah.wordpress.com/pembina/.

[iii] Redaksi Katolikana, “In Memoriam: Gayatri Wedotami, Jalan Sunyi Seorang Pejuang Kebebasan Beragama,” Katolikana.Com, 2025, https://www.katolikana.com/2025/05/13/in-memoriam-gayatri-wedotami-jalan-sunyi-seorang-pejuang-kebebasan-beragama/.

[iv] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Jakarta Selatan: INSISTS, 2021), 56.

[v] Peter N. Stearns, “Religious Syncretism,” Oxfordreference.Com, 2008, https://www.oxfordreference.com/display/10.1093/acref/9780195176322.001.0001/acref-9780195176322-e-1336.

[vi] Emmanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 83.

[vii] Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, ed. Mircea Eliade, vol. 15 (New York: Macmillan, 1987), 125.

[viii] Jose Luis Garcia, “Nepantla – Examining The Sacred Middle Ground of Syncretism” (The University of Texas Rio Grande Valley, 2023), 29.

[ix] Joachim Gentz, “Rational Choice and the Chinese Discourse on the Unity of the Three Religions (Sanjiao Heyi 三教合一),” Religion 41, no. 4 (December 1, 2011): 535–46, doi:10.1080/0048721X.2011.624692.

[x] David R.W. Brayer, “The Origin of The Druze Religion: An Edition of Hamza’s Writings and An Analysis of His Doctrine” (The University of Oxford, 1971).

[xi] “Alevi,” Wikipedia, 2024, https://id.wikipedia.org/wiki/Alevi.

[xii]  Lucia Dianawuri, “Apa Itu Tarekat Sufi Bektashi Di Albania, Suni Atau Syiah?,” Tirto.Id, 2024, https://tirto.id/apa-itu-tarekat-sufi-bektashi-yang-akan-didirikan-pm-albania-g37M.

[xiii] Muhammad In’am Esha, “Agama Sikh Di India: Sejarah Kemunculan, Ajaran Dan Aktivitas Sosial-Politik,” El-HARAKAH 8, no. 1 (2008): 83–95, doi:10.18860/el.v8i1.4615.

[xiv] Jeffrey D. Lavoie, The Theosophical Society: The History of a Spiritualist Movement (Boca Raton: Brown Walker Press, 2012).

[xv] Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, 139.

[xvi] Ibid., 126.

[xvii] John Hick, An Interpretation of Religon: Human Responses to the Transcendent (London: MacMillan, 1989), 36.

[xviii] Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, 139.

[xix] Baca lebih lengkap kritik atas sinkretisme agama dalam Ros Aiza Mohd Mokhtar and Che Zarrina Sa’ari, “Konsep Sinkretisme Menurut Perspektif Islam,” Afkar 17 (2015): 51—78.

[xx] Abū Ishāq Aḥmad bin Ibrāhīm Al-Tsa‘labī, Al-Kasyf Wa Al-Bayān an Tafsīr Al-QurĀn, vol. 3 (Jeddah: Dār al-Tafsīr, 2015), 268.

[xxi]  Ibnu Katsir, Tafsīr Al-Qurān Al-Adhīm, vol. 3 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 264.

Topik Terkait

Adib Fattah

Mahasiswa Program Kaderisasi Ulama (PKU) UNIDA Gontor, Jawa Timur.

Discover more from Dakwah.ID

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading