Gambar Pluralisme Agama Lahir di Eropa, Dipromosikan di Indonesia dakwah.id.jpg

Pluralisme Agama Lahir di Eropa, Dipromosikan di Indonesia

Terakhir diperbarui pada · 556 views

Isu pluralisme agama (religious pluralism) merupakan salah satu isu hangat yang banyak diperbincangkan para cendekiawan Barat maupun cendekiawan Islam. Pluralisme agama sendiri lahir dari rahim peradaban Barat, yaitu pada masa Pencerahan (enlightenment) Eropa tepatnya pada abad ke-18 Masehi. (Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, 11).

Pada masa itu, terjadi pergolakan pemikiran yang dahsyat di Eropa, di mana masyarakat menuntut kebebasan akal dari hegemoni gereja. Arus pemikiran tersebut kemudian sering disebut dengan liberalisme. Gagasan-gagasan pokok yang menjadi inti liberalisme yaitu kebebasan (freedom), persamaan (equality), toleransi (tolerance), dan pluralisme (pluralism).

Pembahasan detail mengenai sejarah liberalisme dapat dibaca dalam buku Encyclopedia of the Social Sciences karya Guido De Ruggiero bagian volume IX (435–442) pada topik “Liberalism” dan buku International Encyclopedia of the Social Sciences karya David G. Smith volume IX (276—282) pada topik “Liberalism”.

Pada kisaran abad ke-19, perkembangan gagasan pluralisme agama masih beredar di lingkup Gereja Kristen saja, yaitu berupa gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang salah satunya dipelopori oleh Fredrich Schleiermacher dalam gerakan “Liberal Protestantism”. (Muhammad Legenhausen, “Islam and Religious Pluralism,” Al-Tawhid, 116).

Namun pada abad ke-20, gagasan pluralisme agama mulai masuk dalam wacana filsafat dan teologi Barat.

Beberapa filsuf dan teolog Barat yang ikut berkecimpung dalam dikursus ini di antaranya Ernst Troeltsch (1865—1923), William E. Hocking (1873—1966), Arnold Toynbee (1889—1975), dan Wilfred Cantwell Smith (1916—2000). (Thoha, Tren Pluralisme Agama, 13—15).

Kematangan gagasan pluralisme agama semakin terlihat pada dua dekade terakhir abad ke-20, di mana ia telah menjadi sebuah dikursus pemikiran tersendiri dalam tataran teologi modern. John Hick, menjadi tokoh paling berpengaruh dalam merekonstruksi landasan-landasan teoretis pluralisme agama modern.

Dalam pengamatan Anis Malik Thoha, John Hick merupakan satu-satunya teolog modern yang memberikan perhatian terhadap masalah pluralisme agama sedemikian mendalam, sampai-sampai ia menulis 30 buku dan spesifik tentang tema ini.

Sementara itu, dalam dunia Islam, gagasan pluralisme agama merupakan isu baru yang mulai muncul pasca-Perang Dunia Kedua (pasca-1945). Gagasan ini masuk ke dunia Islam melalui para pelajar muslim yang menimba ilmu di Barat. (Thoha, Tren Pluralisme Agama, 21).

Selain itu, gagasan pluralisme agama juga dipopulerkan oleh para pemikir mistik Barat Muslim, seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad). Melalui karya-karya mereka terbukalah lahan bagi tumbuh-kembangnya gagasan pluralisme agama di kalangan Islam.

Pemikiran Rene Guenon tentang pluralisme agama dapat dijumpai dalam beberapa karyanya, seperti The Symbolism of the Cross, The Crisis of the Modern World, dan The Multiple States of Being. Sementara karya Frithjof Schuon antara lain The Transcendent Unity of Religions, Esotersm as Principle and as Way, Sufism: Veil and Quintessence, dan Understanding Islam.

Gagasan pluralisme agama semakin populer dan marak diperbincangkan di kalangan muslim berkat kontribusi Sayyed Hossein Nasr. Tesisnya tentang pluralisme agama ia kemas dalam format filsafat perenial (perennial wisdom/al-hikmat al-khalidah).

Nasr berkeyakinan bahwa terdapat kesatuan metafisika (metaphysical unity) yang tersembunyi dalam tradisi agama-agama. Sehingga bagi Nasr meyakini suatu agama dan melaksanakan ajarannya sama dengan memeluk seluruh agama, karena semuanya berputar pada satu poros yaitu kebenaran hakiki. (Sayyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, 16).

Gagasan pluralisme agama seperti yang dianut Rene Guenon, Frithjof Schuon, maupun Seyyed Hossein Nasr ini kemudian semakin berkembang dan semakin luas penyebarannya.

Masuknya Paham Pluralisme Agama di Indonesia

Tentu saja Indonesia tak luput dari penyebaran paham pluralisme agama tersebut. Di Indonesia paham ini menyebar dengan masif dan terstruktur. Paham ini disebarkan oleh para pemikir muslim pluralis melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik.

Di antara tokoh pemikir yang aktif menulis persoalan pluralisme yaitu Nurcholish Madjid, atau yang akrab dipanggil Cak Nur. Beberapa tulisan Cak Nur tentang pahan ini di antaranya, “Islam, Doktrin dan Peradaban”, “Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia”, “Pluralisme, Agama, dan Islam”, “Islam, Agama Kemanusiaan: Dialog dan Perspektif Agama-agama Dunia”, dan “Islam dan Tantangan Pluralisme Agama”.

Nurcholish Madjid memandang bahwa setiap agama adalah sebuah jalan menuju Tuhan. Adanya beragam agama, menandakan ada banyak jalan menuju Tuhan. Sehingga Nurcholish Madjid menyatakan bahwa jalan menuju Tuhan tersebut bisa jadi tidak tunggal, namun plural.

Menurutnya, inilah mengapa dalam al-Quran, istilah “jalan” diekspresikan dengan bentuk pluralnya, misalnya seperti istilah shirat, sabil, syari’ah, thariqah, minhaj, mansak, dan maslak. Terkait penggunaan istilah tersebut Nurcholish Madjid berkomentar sebagaimana berikut,

“Semua istilah seolah-olah menggambarkan bahwa jalan dalam beragama kelihatannya tidaklah satu, tetapi banyak, dan sangat bergantung pada masing-masing pribadi yang mempunyai idiom sendiri-sendiri mengenai bagaimana beragama, tetapi sesungguhnya jalan itu satu, tetapi jalurnya banyak.” (Nurcholish Madjid, “Cendekiawan dan Religiusitas,” in Karya Lengkap Nurcholish Madjid: Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan, 4092).

Pasca-Serangan 9/11 pada tahun 2001, penyebaran paham ini menjadi semakin masif lagi. Dibentuklah organisasi-organisasi yang bertujuan untuk menyebarkan paham-paham liberal termasuk pluralisme agama.

Salah satu LSM yang giat aktif dalam menyebarkan paham pluralisme agama adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Dengan semboyan “Islam yang membebaskan” kelompok ini berhasil menjadi perbincangan di tengah masyarakat.

Salah seorang pegiat JIL, Ulil Abshar Abdalla menyatakan dalam majalah Gatra (21 Desember 2002) bahwa semua agama adalah sama, sebab semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, baginya Islam bukan agama yang paling benar.

Begitu pula di majalah Kompas (18 November 2002), dalam tajuk ‘Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam’, Ulil berujar,

“Dengan tanpa rasa segan dan malu saya mengatakan bahwa semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat, dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan keagamaan itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Earnie Elmie Hilmi et al., “Perkembangan Awal Pluralisme Agama di Malaysia,” in Conference: 3rd International Seminar on Islamic Thought, 152).

Merebaknya paham pluralisme agama di Indonesia semakin tampak dengan lahirnya berbagai karya tulis yang menyuguhkan kajian seputar paham ini.

Misalnya, buku berjudul Argumen Pluralisme Agama yang ditulis oleh Abd Moqsith Ghazali. Buku ini cukup menghebohkan karena menggugat hukum keselamatan pemeluk agama non-Islam di akhirat dan menikah dengan orang musyrik, kafir, serta ahli kitab.

Selain itu, buku berjudul Fiqih Lintas Agama juga tidak kalah menghebohkannya. Buku ini sangat kontroversial sebab ia berusaha mendekonstruksi syariat Islam yang sudah disepakati hukumnya.

Akibat merebaknya paham pluralisme agama yang kian gencar tersebut, lahirlah berbagai macam penolakan oleh berbagai kalangan muslim. Salah satunya yaitu dengan diterbitkannya fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang haramnya paham SEPILIS (Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Agama).

Sebelum keluarnya fatwa tersebut, INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) telah melakukan banyak kajian kritik terhadap paham pluralisme agama. Bahkan INSISTS melalui majalah Islamia: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam edisi 3 dan edisi 4 telah membahas panjang lebar paham ini.

Akibat menuai banyak kritikan tersebut, penyebaran paham pluralisme agama terutama melalui buku mulai sedikit menurun. Meski demikian, hal itu tidak berlangsung lama. Hingga kini paham pluralisme agama masih sangat gencar disebarluaskan di Indonesia. Terbukti dengan lahirnya berbagai karya tulis, maupun seminar-seminar tentang pluralisme agama.

Justru saat ini, paham ini disebarkan dengan metode yang sangat halus. Term pluralisme agama acapkali tidak ditampilkan secara vulgar, namun menggunakan istilah lain, seperti moderasi beragama, toleransi beragama, dan sebagainya. (Adib Fattah Suntoro, M.Ag/dakwah.id)

Baca juga artikel Pemikiran terbaru:

Topik Terkait

Adib Fattah

Mahasiswa Program Kaderisasi Ulama (PKU) UNIDA Gontor, Jawa Timur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *