posisi mimbar dalam masjid dakwah.id

Posisi Mimbar dalam Masjid Sebelah Kanan atau Kiri?

Terakhir diperbarui pada · 4,407 views

Artikel ini membahas secara ringkas posisi mimbar dalam masjid. Di mana letak mimbar yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah, sebelah kanan atau sebelah kiri imam? Bagaimana kronologis sejarahnya?

Langkah Rasulullah dalam membangun masyarakat Islam di Madinah pertama kali adalah mendirikan masjid dan beberapa ruang untuk tempat tinggal keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Melalui masjid inilah yang akhirnya dijadikan sebagai basis dan pusat kendali seluruh aktivitas masyarakat Islam di Madinah. Sehingga, masjid menjadi icon persatuan masyarakat Islam sampai sekarang.

Sebelum masjid jadi, beliau mendirikan shalat di tempat mana saja yang memungkinkan.

Bumi dibuat untukku sebagai masjid dan suci,” sabda beliau. (HR. Al-Bukhari No. 438; HR. Muslim No. 521)

Secara konstruksi, masjid yang dibangun Nabi dindingnya terbentuk dari susunan batu bata dengan balutan tanah. Pembangunan dinding masjid memakan waktu kurang lebih tujuh bulan. (Sejarah Madinah (versi Arab: Fi Madinah ar-Rasul), DR. Nizar Abadzah, 51)

Pilar penyangga atap terbuat dari batang-batang kurma dengan atap yang dirajut dari pelepah kurma. Namun tidak begitu rapat sehingga tetap bocor. Bagian tengah ruang masjid dibiarkan terbuka tanpa atap.

Pada waktu itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan kiblat dan mihrab ke Baitul Maqdis, tempat masjidil Aqsha berada, dan shalat menghadap ke sana sebagaimana dilakukan sejak semula. Beberapa saat kemudian, Allah ‘azza wajalla mengubah arah kiblat dari Baitul Maqdis ke arah Kakbah.

Pengubahan arah kiblat ini termaktub dalam al-Quran,

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ

Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 144)

 

Proses Penempatan Mimbar Rasulullah dan Kisah Rintihan Sebatang Kurma

Awalnya, masjid yang dibangun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki mimbar sebagai tempat untuk menyampaikan materi khutbah Jumat dan pidato-pidato lainnya di hadapan para sahabat.

Memasuki tahun ke-7 atau ke-8 Hijriyah, jumlah kaum muslimin berkembang pesat sehingga memadati ruangan masjid. Lalu beberapa sahabat, antara lain Sa’ad bin Ubadah dan Tamim ad-Dari, mengusulkan agar dibuat tempat khusus untuk Nabi berdiri sehingga kelihatan sampai ke belakang.

Kemudian, pada tahun itu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan kepada seorang perempuan dari kaum Anshar untuk menyampaikan pesan,

مُرِي غُلاَمَكِ النَّجَّارَ، أَنْ يَعْمَلَ لِي أَعْوَادًا، أَجْلِسُ عَلَيْهِنَّ إِذَا كَلَّمْتُ النَّاسَ

Perintahkanlah anakmu yang tukang kayu itu untuk membuat mimbar bertangga yang aku jadikan tempat duduk saat aku berbicara dengan orang banyak.” (HR. Al-Bukhari no. 917)

Titah Nabi disambut dengan antusias oleh tukang kayu tersebut. Lalu ia segera membuat mimbar dari pohon Tharfa’, dalam riwayat lain disebut pohon Atsal (Fath al-Bari, Ibnu Rajab al-Hanbali, 8/232).

Dalam ilmu biologi, pohon ini dikenal dengan istilah pohon Tamarix atau Tamariska atau Tamaris, jenis pohon yang kayunya dapat digunakan untuk pertukangan atau kayu bakar.

Pohon Tamariska ini ia dapatkan dari Ghabah. Ghabah adalah nama tempat di luar Madinah. Di kawasan ini terdapat aset penduduk Madinah, juga sebagai padang gembala mereka.

Setelah tukang kayu itu merampungkan pembuatan mimbar pesanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia segera menyerahkannya kepada ibunya untuk kemudian diserahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selama masjid yang dibangun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum ada mimbarnya, beliau biasa menyampaikan khutbah dan pidato dengan bersandar pada batang kurma di dalam masjid.

Ada kisah menarik yang dituliskan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya, Fath al-Bari (8/232).

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai menunjuk lokasi posisi mimbar, dan beliau mulai menggunakannya untuk berkhutbah, batang kurma yang biasa beliau gunakan untuk  tiba-tiba menangis atau menjerit.

Tangisannya semakin menjadi ketika para sahabat memindahkan batang kurma tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekati batang kurma itu dan meletakkan tangan beliau ke permukaannya. Baru setelah itu batang kurma tersebut tenang. Kemudian beliau memerintahkan untuk memendamnya di bawah tempat mimbar yang baru selesai dibuat.

Sejak saat itulah khutbah di atas mimbar menjadi sebuah sunnah Rasulullah yang diamalkan oleh umat hingga saat ini.

Dalam versi lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ إِلَى جِذْعٍ قَبْلَ أَنْ يَتَّخِذَ الْمِنْبَرَ فَلَمَّا اتَّخَذَ الْمِنْبَرَ وَتَحَوَّلَ إِلَيْهِ حَنَّ الْجِذْعُ فَاحْتَضَنَهُ فَسَكَنَ وَقَالَ لَوْ لَمْ أَحْتَضِنْهُ لَحَنَّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu pernah berkhutbah bersandar pada sebatang pohon sebelum beliau dibuatkan mimbar. Tatkala beliau dibuatkan mimbar dan beralih padanya, batang pohon itu merintih, hingga beliau memeluknya, setelah itu ia diam. Beliau tambahkan, “Kalau tidak aku peluk niscaya ia menangis sampai hari kiamat.” (HR. Ad-Darimi No. 39. Sanad hadits ini shahih)

Dalam versi lain, masih dalam riwayat Imam ad-Darimi disebutkan,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِلَى لِزْقِ جِذْعٍ فَأَتَاهُ رَجُلٌ رُومِيٌّ فَقَالَ أَصْنَعُ لَكَ مِنْبَرًا تَخْطُبُ عَلَيْهِ فَصَنَعَ لَهُ مِنْبَرًا هَذَا الَّذِي تَرَوْنَ قَالَ فَلَمَّا قَامَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ حَنَّ الْجِذْعُ حَنِينَ النَّاقَةِ إِلَى وَلَدِهَا فَنَزَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَمَّهُ إِلَيْهِ فَسَكَنَ فَأُمِرَ بِهِ أَنْ يُحْفَرَ لَهُ وَيُدْفَنَ

Dari Abu Sa’id ia berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dengan bersandar pada sebatang batang kurma, lalu seorang dari Romawi mendatangi beliau dan berkata, ‘Saya akan buatkan mimbar dan baginda dapat berkhutbah di atas.’ Maka dia pun membuatkan mimbar sebagaimana yang kalian lihat ini.”

Perawi berkata, “Maka tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (di mimbar) berkhutbah, batang kurma itu merintih bagaikan unta betina yang kehilangan anaknya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun mendekatinya serta memeluknya maka ia pun diam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membuat lubang dan menguburnya.” (HR. Ad-Darimi No. 39. Hadits ini sanadnya lemah)

 

Lalu, di Manakah Posisi Mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Ada beberapa ulama yang menyebutkan posisi mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam masjid Nabawi.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah (w. 620 H) menyebutkan,

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ الْمِنْبَرُ عَلَى يَمِينِ الْقِبْلَةِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – هَكَذَا صَنَعَ.

Dan dianjurkan meletakkan posisi mimbar itu di sebelah kanan arah kiblat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan posisi mimbar seperti ini.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, 2/219)

Imam an-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) berkata,

قَالَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ الْمِنْبَرُ عَلَى يَمِينِ الْمِحْرَابِ أَيْ عَلَى يَمِينِ الْإِمَامِ إذَا قَامَ فِي الْمِحْرَابِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ

Sahabat kami dan ulama lainnya berpendapat, dianjurkan untuk meletakkan posisi mimbar di mihrab sebelah kanan, yakni di sebelah kanan imam ketika ia berdiri menghadap kiblat di mihrab.” (Al-majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Imam an-Nawawi, 4/527)

Imam al-Bahuti al-Hanbali rahimahullah (w. 1051 H) menyebutkan,

وَيَكُونُ الْمِنْبَرُ أَوْ الْمَوْضِعُ الْعَالِي (عَنْ يَمِينِ مُسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةِ) بِالْمِحْرَابِ لِأَنَّ مِنْبَرَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَذَا كَانَ

Dan hendaknya posisi mimbar atau tempat yang ditinggikan itu (di sebelah kanan jika menghadap arah kiblat) di mihrab. Karena dahulu posisi mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti itu.” (Kasyaful Qina’, Imam al-Buhuti al-Hanbali, 2/35)

Mushthafa bin Sa’ad as-Suyuti al-Hanbali (w. 1243 H) menyebutkan dalam kitabnya, Mathalib Ulin Nuha Syarh Ghayah al-Muntaha (1/774),

وَيَكُونُ الْمِنْبَرُ أَوْ الْمَوْضِعُ الْعَالِي (عَنْ يَمِينِ مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةِ) بِالْمِحْرَابِ؛ لِأَنَّ مِنْبَرَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَذَا كَانَ

Hendaknya posisi mimbar atau tempat yang ditinggikan itu (di sebelah kanan jika imam menghadap ke arah kiblat) di mihrab. Karena dahulu posisi mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti itu.”

Dari beberapa keterangan di atas, disimpulkan bahwa posisi mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah di mihrab sebelah kanan. Atas dasar itu para ulama fikih menyimpulkan, meletakkan posisi mimbar di mihrab sebelah kanan (jika imam menghadap arah kiblat) hukumnya adalah mustahab (dianjurkan).

Oleh karena itu, hampir-hampir tidak dijumpai masjid yang meletakkan mimbar di mihrab sebelah kiri. Karena penempatan posisi mimbar ini bukanlah keputusan yang asal-asalan, melainkan memiliki dasar hukum dalam syariat yang telah ditunjukkan oleh para ulama fikih. Wallahu a’lam (Sodiq Fajar/dakwah.id)

 

Artikel selanjutnya:
Shalat Jamaah Selain di Masjid Apakah Sama Nilainya dengan Shalat Jamaah di Masjid?

 

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

1 Tanggapan

Alhamdulillah
Banyak kemudahan untuk mendapatkan landasan beramal Sunnah sesuai petunjuk Rasulullah SAW.
Baarokallahu.
Wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *