pernikahan itu wajib

Pernikahan Itu Wajib Jika Sudah Tidak Tahan

Terakhir diperbarui pada · 9,583 views

Pernikahan adalah pintu gerbang menuju terpenuhinya salah satu tujuan adanya syariat (maqashid asy-Syari’ah), yaitu hifdzun Nasl atau menjaga keturunan. Selain pengaruh dari metode pendidikan yang diterapkan, baik-buruknya keturunan manusia juga dipengaruhi oleh kualitas pernikahan yang dilakukan. Apakah pernikahan yang dilakukan sudah sesuai dengan tuntunan syariat atau belum.

Kesesuaian cara pernikahan dengan aturan syariat sangat memengaruhi sah-tidaknya dan tercapai atau tidaknya tujuan utama dari pernikahan itu sendiri. Oleh sebab itu, sangat penting bagi setiap muslim untuk betul-betul memerhatikan ilmu fikih sebelum melangsungkan pernikahan.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَمِنْ ءَايَٰتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum: 21)

Menikah adalah satu akad untuk menghalalkan sesuatu yang sebelumnya haram, sehingga seorang suami boleh untuk mengauli istri yang mereka nikahi.

Al-Azhari seorang ulama Mazhab Hanafi menjelaskan bahwa, asal kata nikah dalam bahasa Arab adalah al-Wath’u atau menyetubuhi. Ada pula yang menyebut nikah untuk akad pernikahan, karena akad inilah yang menyebabkan halalnya persetubuhan. (Kifayatul Akhyar, 2/33).

Baca juga: Wanita Muslimah Bekerja di Luar Rumah, Apa Syaratnya?

Dalil Syariat Pernikahan

Syariat pernikahan sudah dijelaskan dalam banyak ayat, hadits, ataupun pernyatan para ulama Fikih. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki…” (QS. An-Nisa’: 3)

Di dalam hadits Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ

Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang sudah mampu, hendaknya ia menikah.” (HR. Muttafaq ‘Alaih, Fathul Bari, 9/112, Muslim, no. 1118)

Kaum muslimin telah sepakat (Ijma’) bahwa pernikahan itu ada syariatnya (masyru’). Bahkan ada sebagian Ulama Fikih meriwayatkan, syariat pernikahan itu sudah ada sejak masa Nabi Adam ‘alaihis salam. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 41/209)

Ragam Hukum Pernikahan

Siapa yag tak ingin menikah? pasti semuanya ingin. Namun, terkadang keinginan tersebut tidak diiringi dengan suasana yang mendukung. Oleh sebab itu, hukum pernikahan itu bergantung pada kondisi tiap individu.

Pernikahan itu Wajib

Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa menikah itu hukumnya wajib bagi seseorang yang dalam kondisi benar-benar dimabuk asmara yang sangat dan dikhawatirkan ia terjatuh dalam perbuatan zina atau maksiat lainnya jika tidak menikah. Maka orang dengan kondisi seperti ini hukumnya wajib untuk segera menikah.

Dalam Mazhab Hanafi ada penambahan, hukum wajibnya tetap memiliki syarat, yaitu disertai dengan kemampuan membayar mahar dan kemampuan memberi nafkah. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 41/210)

Dalam Mazhab Syafi’i ada penambahan, dalam kondisi seperti di atas, hukum menikah tetap wajib bagi dirinya, meskipun ia telah menemukan solusi lain selain pernikahan.

Baca juga: Bolehkah Memberi Nama Anak dengan Nama Malaikat?

Pernikahan Itu Sunnah

Dalam kondisi biasa yang disertai kemampuan untuk berbuat adil dan kemampuan memberi nafkah, bagi seseorang yang belum menikah, pernikahan itu hukumnya Sunnah. Maksud dari kondisi biasa adalah, dirinya masih bisa menjaga nafsu. Jiwanya tidak begitu terpengaruh oleh asmara, bisa jadi masih fokus pada pencapaian lain selain menikah, sehingga gelora asmara tidak menguasai hatinya.

Namun, jika orang tersebut telah memiliki kesiapan mental, mampu membeli mahar, dan mampu memberi nafkah, maka sangat dianjurkan untuk segera menikah. Dalam Mazhab Hanafi, dibahasakan dengan istilah hukum Sunnah Muakkadah.

Pengertian Sunnah Muakadah dalam hukum pernikahan, oleh Mazhab Hanafi dipahami sebagai Sunnah yang ditekankan yang jika ditinggalkan akan berdosa. Jika pernikahan tersebut diniatkan untuk segera memiliki anak atau untuk menjaga diri dari kemaksiatan, ia tetap mendapatkan pahala.

Dalam Mazhab Syafi’i dikatakan, pernikahan hukumnya Sunnah bagi yang memiliki keinginan untuk menikah.

Dalam Mazhab Maliki disebutkan, Pernikahan hukumnya Sunnah jika masih mampu menahan diri dari kemaksiatan seperti zina. Sama halnya dengan Mazhab Hanbali, bagi orang yang memiliki gejolak syahwat, namun masih bisa mengendalikannya, maka pernikahan hukumnya Sunnah bagi dirinya. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 41/214)

Pernikahan bisa Makruh

Jika seseorang merasa khawatir terjatuh kepada perbuatan zina, namun di sisi lain jika menikah kemungkinan besar tidak bisa berbuat adil kepada istri, maka kekhawatiran tidak bisa berbuat adil harus didahulukan. Oleh sebab itu para ulama menyimpulkan, dalam kondisi seperti ini pernikahan hukumnya Makruh. Bahkan, Mazhab Hanafi menghukuminya dengan Makruh Tahrim. Yaitu Makruh yang mendekati hukum Haram.

Dalam Mazhab Maliki, pernikahan hukumnya Makruh jika dengan menikah justru membuatnya terlena dan mengesampingkan amalan ibadah lain yang hukumnya Wajib.

Dalam Mazhab Syafi’i, bagi orang yang memang belum butuh untuk menikah, baik karena belum siap, atau karena halangan berupa sakit, fisik lemah, dan semisalnya, maka pernikahan hukumnya Makruh bagi dirinya. Lain halnnya dalam Mazhab Hanbali, menurut sebuah riwayat dalam Mazhab ini, pernikahan hukumnya Makruh bagi orang yang tidak memiliki ketertarikan syahwat. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 41/215)

Pernikahan itu Bisa Haram

Hukum pernikahan bisa menjadi haram jika dengan pernikahan itu justeru menimbulkan madharat yang lebih besar. Jika seseorang yakin pasti akan terjadi ketidak adilan dalam keluarganya nanti, maka pernikahan hukumnya Haram bagi dirinya, demikian pendapat Mazhab Hanafi.

Jika seseorang memang yakin bisa menahan diri dari perbuatan zina, namun jika ia menikah justru akan memunculkan bahaya pada dirinya seperti perempuan yang belum memiliki kemampuan untuk berhubungan/jima’, atau laki-laki yang sama sekali tak bisa menafkahi. Atau bisa memberi nafkah tapi dari harta yang haram, maka dalam kondisi seperti ini menurut Mazhab Maliki pernikahan hukumnya Haram.

Sementara bagi seorang muslim yang berada di Darul Kufri/Negara kafir tanpa rasa aman, ia diharamkan untuk menikah kecuali karena kondisi darurat tertentu. Lain halnya jika statusnya sebagai seorang pasukan perang Islam yang sedang dalam misi peperangan, dalam kondisi ini ia dibolehkan melangsungkan pernikahan.

Kasus demikian ini pernah terjadi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Said bin Abi Hilal, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan Asma’ binti Umais sementara mereka dalam sebuah misi peperangan. (Al-Ishabah, Ibnu Hajar, 4/225. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 41/215)

Kapan Pernikahan itu Hukumnya Mubah?

Bagi siapapun yang masih mampu mengendalikan nafsu syahwat, dan memang belum memiliki keinginan untuk menikah, maka pernikahan hukumnya mubah bagi dirinya.

Dalam Mazhab Maliki disebutkan, seseorang yang belum berkeinginan untuk memiliki anak, atau belum memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis, maka pernikahan hukumnya mubah bagi dirinya.

Sedangkan dalam Mazhab Hanafi disebutkan, jika seseorang masih merasa lemah untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam rumah tangga, maka pernikahan hukumnya mubah bagi dirinya. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 41/216) Wallahu a’lam [dakwah.id]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *