Gambar Pengertian Akidah Islamiyah dan Ruang Lingkupnya dakwah.id dakwah.id.jpg

Pengertian Akidah Islamiyah dan Ruang Lingkupnya

Terakhir diperbarui pada · 468 views

Artikel berjudul Pengertian Akidah Islamiyah dan Ruang Lingkupnya adalah seri ke-002 dari artikel Serial Ngaji Akidah yang diterbitkan oleh www.dakwah.id.

Pengertian Akidah Secara Bahasa

Ahli bahasa berpendapat bahwa kata akidah, yang secara harfiah artinya ikatan, memiliki makna “مَعْقُوْدَةٌ” yakni suatu keterikatan.

Kata akidah pada mulanya digunakan sebagai lawan dari kata “bebas”. Kemudian fungsinya dikembangkan untuk penyebutan beberapa istilah dalam jual beli.

Contohnya, istilah “’uqdah yamin” dalam Surat al-Maidah ayat 89. Allah memilih diksi “’uqdah” turunan dari kata “عَقَدَ” sebagai bentuk penegasan bahwa yamin atau sumpah apabila telah diucapkan maka ia mengikat erat segala konsekuensinya.

Belakangan ini istilah “akidah” populer difungsikan sebagai penyebutan segala keyakinan yang kuat dan terikat. Sebagaimana pengertian yang dijabarkan oleh penulis kamus Lisânu al-Arab, Ibnu Manzhur.

Ibnu Manzhur juga mengartikan akidah sebagai setiap yang diyakini seseorang di dalam hatinya dan ia teguh dengannya, baik yang ia yakini tersebut benar maupun salah. Itulah yang dinamakan dengan akidah.

Inilah cikal bakal penggunaan istilah “akidah” dalam mempresentasikan sebuah keyakinan yang umum pada hari ini.

Pengertian Akidah Secara Istilah

Para ulama ahli ilmu akidah mengistilahkan “akidah” dengan pengertian yang sangat rinci, khususnya akidah islamiyah.

Syaikh Muhammad Ibrahim dalam kitabnya, al-Hawi menyebutkan pengertian yang mencakup dan cukup perihal ilmu akidah, yaitu keimanan yang kuat terhadap setiap kabar yang datang dari Allah dan Rasul-Nya atas segala berita gaib yang tidak ada sangkut pautannya dengan hukum syar’i terapan “aplikatif”.

Secara umum, pembahasan akidah mencakup iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.

Pembahasan Akidah juga mencakup beberapa pembahasan penting yang berkaitan dengannya, seperti perkara gaib, pokok-pokok agama, ijmak ulama, dan konsep tunduk kepada Allah dalam taat kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, meninggalkan larangan-Nya, serta mengikuti Rasulullah.

Keterkaitan Pengertian Akidah Secara Bahasa dan Istilah

Apabila kita ambil benang merah, setiap pengertian menurut bahasa dan pengertian menurut istilah memiliki keterkaitan satu sama lain.

Dalam ilmu akidah misalnya, makna bahasa “ikatan” dan makna istilah “keimanan pada hal-hal gaib” juga memiliki titik poin temu.

Dari pengertian akidah tersebut, para ulama ingin mengaitkan keimanan kepada perkara gaib yang notabene tidak dapat diindra secara langsung, dapat dipahami, dan cukup diyakini, dengan keyakinan bulat seperti sebuah ikatan tali yang kuat.

Sebuah ikatan yang secara maknawi mengikat kuat seorang hamba dengan Rabbnya untuk tetap dalam peribadatan penuh kepada-Nya, baik amalan hati maupun jasmani.

Penyebutan Lain Ilmu Akidah

Dalam pemilihan sebuah istilah tidak ada kaidah baku benar dan salah. Terdapat sebuah kaidah yang menyebutkan (لَا مَشَاحَّةُ فِيْ الْاِصْطِلَاحِ), “Tidak perlu dipertentangkan masalah pemilihan istilah”.

Selama istilah tersebut mencakup dan cukup mendeskripsikan suatu hal, tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Sejatinya, istilah “akidah” bukanlah bersumber dari al-Quran dan as-Sunah, melainkan ia bersumber dari perkataan para salaf abad ketiga. Pertama kali dipopulerkan oleh Imam ath-Thahawi rahimahullah dalam matannya yang terkenal, kemudian diikuti oleh banyak ulama, seperti Abu Bakar al-Ismaili, Imam al-Baihaqi, dan Imam ash-Shabuni.

Kemudian mereka sepakat istilah inilah yang merepresentasikan cakupan pembahasan ilmu akidah.

Sebab apabilah kita cermati kembali sejumlah istilah yang digunakan oleh para ulama, maka kita dapati bahwa istilah-istilah tersebut sebatas pengertian parsial ataupun sebagai bentuk responsif terhadap kelompok-kelompok menyimpang. Tidak dapat mencakup pengertian global terhadap ilmu ini.

Contohnya, Imam Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dan Abu Bakr al-Marwazi menggunakan istilah “Sunah” sebagai respons terhadap keyakinan-keyakinan menyimpang dari tuntunan Nabi yang mulai bermunculan pada waktu itu.

Imam al-Lalika’i menggunakan istilah “Ushuludin” (pokok agama) sebagai bentuk sikap beliau atas sebagian kalangan yang meremehkan pokok urusan ini.

Al-Imam Abu Hanifah juga menggunakan istilah “Fikih Akbar” sebagai bentuk sindiran kepada para pegiat ilmu fikih bahwa ada ilmu fikih yang lebih besar daripada fikih terapan.

Dan sejumlah ulama lain lebih memilih pembahasan terpentingnya untuk menamai ilmu ini. Abu Bakar bin Huzaimah mengambil pembahasan “Tauhid” sebagai istilah penyebutannya.

Alasan mengapa Abu Bakar bin Huzaiman mengambil pembahasan “Tauhid” sebagai penyebutan nama ilmu ini adalah, lantaran inti pembahasan akidah adalah tauhid.

Mutakalimin dari kalangan Muktazilah dan Asyariah juga memiliki penyebutan tersendiri untuk menamai ilmu ini. Mereka menyebut ilmu ini sebagai “Ilmu Kalam”. Banyak sebab penyebutannya, namun salah satunya adalah karena pembahan “Kalamullah” merupakan inti dari perbedaan umat Islam. Demikian penjabaran dari Syaikh Ahmad Syarif.

Intinya, sebagian ulama menyebut ilmu ini dengan salah satu bab terpentingnya menurut prespektifnya masing-masing.

Akidah Islamiyah

Berdasarkan penjelasan Ibnu Manzhur tentang pengertian akidah, maka cakupan pembahasan ilmu akidah meliputi seluruh keyakinan manusia. Namun, sebagian besar mengerucut kepada penjelasan akidah yang benar dan bantahan terhadap keyakinan bathil.

Adapun akidah yang benar itu sendiri adalah akidah yang berasaskan kepada Islam. Yakni yang terangkum dalam pokok pembahasan al-Quran.

Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim dalam Madariju as-Salikin (450/3) bahwa seluruh ayat yang ada di dalam al-Quran itu berkaitan dengan tauhid (akidah), baik kabar tentang Allah (sebagai Sang Pencipta), perintah untuk beribadah kepada-Nya (sebagai Sang Illah), maupun perintah dan larangan; sebagai bentuk kesempurnaan tauhid serta balasan orang yang bertauhid dan yang menyelisihinya.

Selain terangkum dalam pokok pembahasan al-Quran, Akidah Islamiyah juga mencakup rukun iman yang secara detil dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadits Jibril (HR. Muslim no. 7).

قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِيمَانُ؟ قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكِتَابِهِ، وَلِقَائِهِ، وَرُسُلِهِ، وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ كُلِّهِ. قَالَ: صَدَقْتَ.

Lelaki itu bertanya,‘Ya Rasulullah, apakah iman itu?’ Rasulullah menjawab,‘Kamu beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-Nya, perjumpaan dengan-Nya, para rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari berbangkit dan beriman kepada takdir semuanya. Lelaki itu berkata,‘Kamu benar.’”

Cukup dengan mentauhidkan Allah dan mengimani rukun iman yang enam seseorang telah disebut dengan mukmin, demikianlah para ulama berijmak; dinukilkan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Fashl al-Maqal.

Perihal penjelasan dan bagaimana pokok iman dipahami secara tepat, pokok ilmu akidah yang selanjutnya adalah mengacu pada pemahaman para salaf saleh dari kalangan sahabat, tabiin, serta atbâu at-tâbiîn.

Sebab merekalah yang bertemu langsung dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mengambil ilmu dari beliau. Berdasarkan firman Allah,

فَاِنْ اٰمَنُوْا بِمِثْلِ مَآ اٰمَنْتُمْ بِهٖ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۚ

Maka jika mereka telah beriman sebagaimana yang kamu imani, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 137)

Demikianlah. Allah kaitkan petunjuk (hidayah) dengan keimanan, khususnya ketika ayat tersebut turun yakni kepada para sahabat. Dengan mengembalikan urusan tauqîfiyah kepada mereka, maka beruntunglah seseorang.

Imam Ibnu Malik berkata, “Akhir umat ini tidak akan benar kecuali dengan (mengikuti) apa yang dibenarkan oleh para pendahulu mereka.”

Imam al-Lalika’i berkata dalam Syarh Ushul al-Itiqad (7/1),

وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ مَقُولٍ، وَأَوْضَحِ حُجَّةٍ وَمَعْقُولٍ: كِتَابُ ‌اللَّهِ الْحَقُّ الْمُبِينُ. ثُمَّ قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَصَحَابَتِهِ الْأَخْيَارِ الْمُتَّقِينَ. ثُمَّ مَا أَجْمَعَ عَلَيْهِ السَّلَفُ الصَّالِحُونَ. ثُمَّ التَّمَسُّكُ بِمَجْمُوعِهَا وَالْمُقَامُ عَلَيْهَا إِلَى يَوْمِ الدِّينِ. ثُمَّ الِاجْتِنَابُ عَنِ الْبِدَعِ وَالِاسْتِمَاعِ إِلَيْهَا مِمَّا أَحْدَثَهَا الْمُضِلُّونَ.

Sungguh perkataan yang paling kuat dijadikan hujjah adalah kitabullah, kemudian sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, kemudian perkataan para sahabat beliau, kemudian ijmak para salaf salih.

Lantas berpegang dengan semua itu hingga hari kiamat, menjauhi segala bidah dan mendengarkan kepada hal-hal yang dibuat-buat orang-orang yang sesat.”

Ringkasnya, dalam berakidah yang benar patutlah kita mentauhidkan Allah dan mengimani rukun iman yang enam berdasarkan pemahaman yang diyakini oleh para pendahulu dari kalangan para sabahat dan tabiin. Serta mengaitkan iman dengan amal, baik dalam bentuk ucapan hati berupa pembenaran maupun amalan hati berupa cinta dan tunduk, dan juga amalan lahir dalam bentuk ibadah kepada Allah.

Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Akidah

Cakupan pembahasan ilmu akidah meliputi segala hal terkait dengan iman yang mayoritasnya bersifat gaib. Yaitu iman kepada Allah, malaikat, para rasul, kitab-kitab, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.

Para ulama memilih meruntutkannya berdasarkan hadits jibril yang menerangkan tentang tingkatan-tingkatan iman (HR. Muslim no. 7).

Sistematika ini dipilih berdasarkan prespektif syar’i; memilih dan memprioritaskan sesuai dengan yang ditetapkan al-Quran dan as-Sunah.

Ilmu akidah sendiri disusun untuk menjelaskan apa-apa yang wajib diyakini seorang muslim agar mereka memiliki warna sesuai dengan warna pemikiran Islam.

Selain daripada membahas pokok keimanan bagi seorang muslim, ilmu akidah juga membahas keyakinan dan pemirikan yang melenceng dari akidah Islam.

Oleh karenanya, Imam al-Ashfahani mengambil tujuh benang merah kesesatan dalam Islam yang lazim dibahas dalam buku-buku akidah.

Imam al-Ashfahani berkata, “Sebagian ulama berpendapat bahwa pokok-pokok urusan yang banyak menyesatkan berbagai golongan ada 7:(1) perkara Zat Allah,(2 dan 3) sifat dan perbuatan-Nya,(4) ancaman,(5) iman,(6) al-Quran, dan (7) perkara Imamah.

Ahli tasybih sesat karena perkara Zat Allah, Jahmiah sesat karena perkara sifat Allah, Qadariah sesat karena perkara perbuatan Allah, Khawarij sesat karena perkara ancaman, Murjiah sesat karena perkara iman, Muktazilah sesat karena perkara al-Quran, dan Rafidhah sesat karena perkara imamah.” (Al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah, al-Ashfahani, 409/2).

Dan di antara pembahasan akidah adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan status orang yang menyimpang dari akidah islamiah dan dampak dari penyimpangannya baginya di dunia dan akhirat.

Syaikh Adil asy-Syaikhani dalam kitabnya al-Qawaid fi Bayani Hakikati al-Iman menyebutkan 25 ruang lingkup ilmu akidah, dan 10 di antaranya adalah bab-bab turunan dari rukun iman. Seperti bahasan tentang status kafir-mukmin dan bagaimana seorang muslim berinteraksi dengan orang-orang kafir.

Kemudian pembahasan yang berkaitan dengan urusan publik, seperti bab “Wajib Taat kepada Khalifah”, “Amar Makruf”, serta “Jihad di Jalan Allah”. Terdapat pula pembahasan perihal loyalitas dan kecintaan seperti bab “al-Wala’ dan al-Bara’” serta “Kecintaan Kepada Para Sahabat”.

Artikel Akidah: Cabang Iman dan Cabang Kekufuran dalam Akidah Ahlu Sunnah

Mutakallimin dari kalangan Asy’ariah dan Muktazilah memiliki sistematika tersendiri dalam ilmu akidah. Mereka membagi pokok pembahasan bukan dari rukun iman yang enam melainkan dalam 3 kelompok, yakni ilahiyat, nubuwat, dan samiyat.

Ilahiyat adalah mengenal segala sisi tentang Allah, kemudian nubuwat berisi jabaran pembahasan tentang kenabian mulai dari para nabi dan rasul, kitab samawi, mukjizat, dan lain sebagainya.

Adapun pembahasan sam’iyat atau biasa dikenal dengan ghaibiyat adalah penjabaran tentang kabar-kabar metafisika yang wajib diimani dan dibenarkan tanpa perlu diindra dan dipikirkan, seperti alam barzah, tanda-tanda kiamat, dan hari kebangkitan.

Perbedaan pembahasan di atas timbul dari perbedaan cara pandang. Kaum Mutakalimin dalam hal ilmu akidah memulai dengan urusan teoritis dengan mencari dalil hakikat Pencipta, kemudian baru mengimani kenabian dan perkara gaib.

Urutan pola pikir tersebut dikritisi oleh Syaikh Abdurrahman bin Shalih Mahmud dengan mengatakan, “Sedangkan para nabi sendiri, mereka memulai bahasan dari akhir tahapan kaum filsafat. Bilamana ujung pangkal dari pencarian mereka adalah penetapan alam memiliki Pencipta, maka para nabi membangun paradigma pertama kepada umat mereka dengan mengimani kewajiban ibadah kepada Allah semata.”

Bedanya adalah memprioritaskan keimanan dahulu dibanding bukti dan dalil.

Terlepas dari itu semua, ilmu akidah susunan dari berbagai kelompok sejatinya memiliki muatan cakupan yang sama meski dalam sistematikanya terdapat perbedaan. (Hadidullah Al-Haqqoni/dakwah.id)

Baca juga artikel Serial Serial Ngaji Akidah atau artikel menarik lainnya karya Hadidullah Al-Haqqoni

Penulis: Hadidullah Al-Haqqoni
Editor: Ahmad Robith


Artikel Serial Ngaji Akidah terbaru:

Topik Terkait

Hadidullah Al-Haqqoni

Alumni Darul Hadits, Ma'rib, Yaman. Murid langsung syekh Dr. Thalib bin Umar al-Katsiri (ketua lajnah Ifta' Robithoh Ahlil Hadits, Yaman). Dosen Aqidah dan Tata Bahasa Arab Ma'had Aly An-Nuur Sukoharjo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *