Nikah Gagal Gara Gara Kesandung Weton-dakwah.id-pexels

Nikah Gagal Gara-Gara Kesandung Weton, Aduh.. Kasihan

Terakhir diperbarui pada · 12,997 views

Beberapa waktu yang lalu ada seorang kawan bercerita kepada saya tentang saudaranya yang ingin nikah. Proses ta’aruf sudah dilalui dengan baik, hingga proses musyawarah antar kedua belah pihak tentang penentuan hari akad nikah sekaligus resepsi juga sudah fix.

Namun tiba-tiba rencana pernikahan yang sudah dimusyawarahkan dengan matang itu digagalkan secara sepihak oleh salah satu paman dari pihak perempuan. Alasannya, neptu wetonne ora cocok!

Pernah dengar istilah weton? Weton adalah istilah Jawa yang bermakna hari kelahiran. Selain weton, ada juga istilah neptu. Neptu artinya nilai yang terkandung dari hasil penjumlahan nilai hari dan nilai pasaran.

Kedua istilah tersebut digunakan untuk meramal hari baik dalam pelaksanaan aktivitas tertentu. Ada neptu kecocokan jodoh dengan menghitung ramalan berdasar nama dan hari lahir, ada pula neptu dengan menghitung bulan atau tahun.

Dalam keyakinan adat Jawa/kejawen, untuk menentukan siapa calon yang akan dijadikan jodoh dan kapan akad nikah harus dilangsungkan, keduanya harus ditentukan neptunya. Sebab, adat kejawen meyakini di antara hari, bulan, dan tahun versi Jawa, ada yang merupakan hari atau bulan atau tahun sial yang jika nekat dipilih, diyakini akan mendatangkan petaka pada kedua mempelai.

Baca juga: Menghadiri Pernikahan Padahal Tak Diundang: Thufaili!

Orang tua memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam proses perhitungan neptu untuk menentukan apakah calon yang dipilih putranya, atau laki-laki yang datang melamar putrinya sudah sesuai dengan hitungan ramalan atau belum.

Jika neptu hasil perhitungan orang tua ternyata buruk, maka jodoh harus diganti. Atau jika jodoh sudah memiliki kesesuaian secara hitungan neptu weton, namun pilihan bulan pelaksanaan akad ternyata termasuk bulan yang buruk, maka bulannya harus diganti dan mencari lagi bulan lain yang ramalannya baik.

Betapa beratnya beban hidup para bujangan siap nikah jika untuk menentukan siapa jodoh dan kapan hari akad nikah saja harus menuruti model ramalan adat seribet itu.

Banyak sekali kasus seorang laki-laki yang gagal menikahi perempuan pilihannya gara-gara ramalan neptu wetonnya tidak pas. Pas giliran orang tua mencarikan jodoh yang ramalan neptu wetonnya pas, putranya malah merasa nggak cocok. Atau ramalan neptu wetonnya cocok, kedua anak cocok, orang tua perempuannya yang nggak cocok. Ribet.

Belum lagi ditambah prosesi pernikahan ala ‘fikih’ adat Jawa yang cukup memberatkan dari sisi persiapan dan biaya.

Bayangkan saja, dalam penentuan calon jodoh saja harus menggunakan ramalan hitungan weton dan neptu bulan.

Baca juga: Syarat Dan Rukun Pernikahan Yang Harus Anda Ketahui

Jika itu sudah sesuai, kemudian ketika proses lamaran harus menyiapkan peningset atau tanda pengikat, atau tali kasih. Mirip dengan prosesi ‘tunangan’. Peningset dilakukan dengan pemberian sejumlah barang dari pihak laki-laki kepada gadis pilihannya guna memantapkan ikatan cinta antara calon mempelai lai-laki dan calon mempelai perempuan. Pemberian peningset tersebut sebagai tanda bahwa sang perjaka dan sang gadis sudah bertunangan secara resmi tetapi belum sah sebagai pasangan suami- istri.

Peningset yang diberikan terdiri dari beberapa lembar kain batik halus dengan motif yang ditentukan, kain selendang pelangi, uang logam, cincin Lintring, Pala gumantung, Pala Kependhem, Pala Kasimpar, bumbu dapur, sirih, kue goreng, kue basah, dan tebu wulung yang dipotong-potong. Sudah berapa itu biayanya.

Setelah prosesi penyerahan peningset, baru ditentukan penentuan hari baik untuk perkawinan atau akad. Penentuan hari akad versi adat Jawa ditentukan berdasarkan hari, tanggal, tahun, dan weton calon laki-laki.

Cara perhitungannya pun tidak sembarangan. Ada rumus khususnya dan biasanya hanya diketahui oleh para orang tua yang betul-betul kejawen. Pembaca sekalian bisa menemukannya di beberapa buku adat kejawen atau primbon.

Setelah itu, kedua calon mempelai melakukan upacara siraman. Menurut adat, upacara siraman bertujuan untuk membersihkan jasmani dan rohani. Dilakukan dengan mandi dan berdoa.

Dalam upacara siraman juga terdapat sesaji yang terdiri dari ayam panggang utuh lengkap dengan bumbunya, dua buah kelapa yang sedang tunas/cikal, dan serangkai tumpeng Robyong. Seluruh sesaji diletakkan di dekat lokasi upacara siraman.

Sebelum upacara siraman dimulai, mempelai perempuan melakukan sungkeman di hadapan ayah-bundanya dengan posisi menyembah. Baru setelah itu dilakukan upacara siraman. Ada hal yang unik di upacara ini, ibu yang statusnya sebagai janda tidak boleh menyiramkan air ke tubuh putrinya.

Ada lagi upacara Tanem Rambut yang dilaksanakan setelah upacara Dodol Dhawet. Pada saat itu mempelai putri harus mengenakan busana batik motif Wahyu Tumurun dengan kebaya yang tidak boleh bermotif bunga.

Ada satu momen yang kental berbau animisme sebelum hari akad tiba. Dikenal dengan istilah Malam Midadareni, lengkap dengan uba rampe di dalamnya. Konon, secara filosofis malam midadareni ini bermula dari kisah seorang Dewi Nawangwulan yang tak bisa kembali ke Kahyangan gegara kehilangan selendang saat turun ke bumi. Selama di bumi ia dinikahi oleh Jaka Tarub.

Singkat cerita, suatu hari Dewi Nawangwulan menemukan kembali selendangnya dan bersegera kembali ke kahyangan. Ia berpesan kepada Jaka Tarub, jika putrinya kelak akan menikah maka pada waktu malam menjelang akad, Dewi Nawangwulan akan turun memberi doa restu. Malam itulah yang akhirnya disebut dengan malam Midadareni, diambil dari nama Kahyangan Midadareni.

Rangkaian upacara yang diuraikan di atas baru sampai tahap malam sebelum akad. Masih banyak lagi rangkaian upacara adat berikutnya seperti upacara Pangguh Pengantin yang terdiri dari 16 tahapan upacara. Mulai dari upacara Balang Sirih, upacara Wiji Dadi, Sindur binayang, Nimbang, upacara Nandur, dan seterusnya.

Bejibun rangkaian upacara adat Jawa dalam pernikahan di atas tentu membutuhkan tenaga yang cukup banyak serta biaya yang lumayan besar. Hampir di setiap upacaranya terdapat sesaji-sesaji atau hidangan serta peralatan yang diperlukan. Untuk mendapatkannya, pihak mempelai dan keluarga harus merogoh saku lumayan dalam. Belum lagi urusan sewa-menyewa perangkat adat.

Nikah Gagal Gara Gara Kesandung Weton-dakwah.id-pexels4

WETON NIKAH ITU KAN BAIK, KOK NGGAK BOLEH?

“Loh, itu kan tujuannya baik, filosofinya juga positif.”

Barangkali kita akan menemukan sanggahan-sanggahan seperti di atas jika ada yag mencoba untuk melawan arus pelestarian adat Jawa dalam hal pernikahan seperti di atas.

Pada dasarnya, Islam tidak egois terhadap adat yang sudah berlaku di sebuah masyarakat tertentu. Bahkan, adanya syariat Islam itu sebagai penguat dan legalitas terhadap beberapa adat untuk menjadi sebuah tindakan yang bernilai ibadah.

Kuncinya, selama adat itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum syar’i yang disebutkan secara tegas dalam nash syariat, maupun hukum-hukum syar’i hasil istinbath para ulama ahli fikih dengan menggunakan metode qiyas atau istihsan atau mashlahah mursalah.

Baca juga: Pernikahan Itu Wajib Jika Sudah Tidak Tahan

Kita ambil contoh, dalam adat Jawa ada sebuah pedoman bernama ‘Triaji’ yang digunakan oleh para orang tua dalam proses mencarikan jodoh putra-putrinya. Triaji tersebut berisi tiga point; Bibit, Bebet, Bobot.

Orang tua harus memerhatikan sisi keturunan atau nasab calon bagi putra-putri mereka. mencarikan calon dari keluarga yang nasabnya bagus, baik, dan terhormat. Ini disebut dengan Bibit.

Orang tua juga harus melihat sisi perilaku dan budi pekerti calon, apakah dia termasuk orang yang beradab dan beretika, atau liar dan berkelakuan jelek. Ini disebut dengan Bebet.

Kemudian orang tua juga harus melihat apakah calonnya berpendidikan, sudah memiliki pekerjaan tetap atau belum, penampilannya seperti apa, kepribadiannya bagaimana. Ini disebut dengan Bobot.

Nah, ketiga point dalam pedoman Triaji yang ada dalam adat Jawa ini ternyata sama dengan yang ada dalam syariat Islam, yaitu permasalahan Kufu dalam proses memilih calon. Artinya, di sini tidak ada pertentangan dengan syariat, bahkan memiliki kesesuaian. Maka pemberlakuan adat pedoman Triaji ini dibolehkan.

Lain halnya ketika adat tersebut memiliki nilai penentangan terhadap syariat, seperti keyakinan tentang sesajen, keyakinan tentang adanya dewi kahyangan yang akan turun di malam sebelum akad nikah (malam Midadareni), sungkem sembah, dan semisalnya, ini justru bertentangan dengan syariat Islam terutama pada bab Iman dan tauhid. Bahkan, disinyalir adat-adat ini bersumber dari paham animisme yang mengandung unsur syirik dan khurafat. Sehingga, adat seperti itu dilarang oleh syariat.

Termasuk di dalamnya adalah keyakinan terhadap adanya hari baik dan hari buruk yang terdapat dalam proses ramalan neptu weton dan neptu hari akad nikah. Keyakinan seperti ini sangat bertentangan dengan syariat Islam.

ISLAM ITU MUDAH, NIKAH TAK PERLU DIBUAT SUSAH

Sebenarnya, dalam urusan pernikahan, syariat Islam itu cukup simpel, sederhana, dan ramah lingkungan. Pertama ta’aruf, kemudian, khitbah atau lamaran, setelah itu akad nikah dan walimah.

Ta’aruf adalah proses mengenali antara laki-laki dan perempuan melalui perantara yang dapat dipercaya. Jika saling sesuai lanjut ke urusan khitbah/lamaran dengan mempertemukan kedua belah pihak keluarga berikut calon masing-masing tanpa harus membawa ubo rampe yang berlebihan.

Jika khitbah di-approve, kedua belah pihak bisa langsung musyawarah menentukan hari akad dan pernikahan dengan pertimbangan waktu yang paling longgar dan memungkinkan untuk kedua belah pihak bertemu. Dalam urusan prosesi pernikahan pun cukup dibuat sederhana dengan tetap pada substansi dari walimah itu sendiri; mengumumkan dan memohon doa atas pernikahan antara fulan dan fulanah. Itu saja. Murah. Sah.

Jadi mau pilih mana, menikah dengan cara syariat Islam atau cara adat Jawa/kejawen? Jangan sampai gagal nikah gegara kesandung weton, ya.. itu sakit. [Senja/Majalah Hujjah/dakwah.id]

 

Bahan bacaan:

Jurnal Khasanah Ilmu Vol. V No. 2 September 2014
Shalih bin Ghanim as-Sadlan. 1417H. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Riyadh: Dar Balansiyyah
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, 1432H. Miftahu Daris Sa’adah. Jeddah: Majma’ Fiqh al-Islami

 

 

 

Tema terkait: Fikih Walimah, Fikih Kontemporer, Adat Jawa, Weton, Ramalan, Walimatul ‘Urs

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *