ngaji fikih fardhu wudhu-dakwah.id

Ngaji Fikih #2: Fardhu Wudhu itu Ada Enam

Terakhir diperbarui pada · 2,116 views

Tidak boleh meninggalkan enam fardhu wudhu berikut: niat, mencuci wajah, mencuci kedua tangan sampai siku-sikunya, mengusap sebagian kepala, mencuci kedua kaki sampai dua mata kaki, dan melakukan semua rukun di atas secara berurutan.

____

Fardhu adalah amalan dalam ibadah tertentu yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala. Siapa melakukannya mendapatkan pahala dan siapa meninggalkannya mendapatkan dosa.

Dalam suatu rangkaian ibadah, fardhu atau wajib atau disebut juga dengan rukun merupakan bagian dari sebuah ibadah yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan. Jika ditinggalkan, ibadah tersebut menjadi batal.

Dalam Wudhu, ada beberapa fardhu berupa gerakan-gerakan tertentu yang harus dilakukan. Jumlahnya ada enam. Empat fardhu disebutkan dalam ayat, dua lainnya disebutkan dalam hadits.

Ngaji Fikih #1: Mengapa Sebelum Shalat Harus Bersuci?

Empat Fardhu Wudhu yang Disebutkan dalam Al-Quran

Empat fardhu wudhu itu adalah: (1) membasuh wajah, (2) membasuh kedua tangan sampai kedua siku-siku, (3) mengusap sebagian kepala, dan (4) membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.

Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

 

Dua Fardhu Wudhu yang Disebutkan dalam al Hadits

Pertama, niat wudhu. Nabi agung Muhammad bersabda: “Semua amal perbuatan tergantung dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari)

Kedua, tertib. fardhu wudhu tersebut di atas harus dilakukan dengan tertib dan berurutan. Rasulullah bersabda: “Mulailah dengan apa yang Allah memulainya.” (HR. An-Nasai)

Meskipun sebenarnya hadits ini disabdakan untuk masalah sa’i, namun pelajarannya dapat diambil berdasarkan keumuman lafalnya, bukan dengan kekhususan sebabnya. (Arif Hidayat/dakwah.id)

 

(Disarikan dari kitab: Al-Bayan wa At-Ta’arif bi Ma’ani Wasaili Al-Ahkam Al-Mukhtashar Al-Lathif, Ahmad Yusuf An-Nishf, hal. 47-48, Dar Adh-Dhiya’, cet. 2/2014).

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *