Gambar Mengapa Baitul Maqdis Masih Terjajah Dakwah.id

Mengapa Baitul Maqdis Tidak Kunjung Merdeka?

Terakhir diperbarui pada · 8 views

Sudah lebih dari seabad, Baitul Maqdis lepas dari genggaman umat Islam. Berbagai upaya pembebasan Baitul Maqdis telah dilakukan, tetapi hingga kini belum membuahkan hasil. Apa akar masalahnya? Dan strategi apa yang seharusnya diambil untuk mengembalikan kota suci ini?

Penyakit Umat Terkait Baitul Maqdis

Baitul Maqdis secara khusus, dan negeri-negeri Syam secara umum, jatuh ke tangan penjajah Salibis Inggris dan penjajah Salibis Prancis pada 1917, di akhir Perang Dunia I. Sejak saat itu, penjajah Inggris melakukan segala upaya untuk memenuhi janjinya kepada kaum Zionis Yahudi, sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Balfour 2 November 1917.

Upaya Inggris tersebut berlangsung selama 31 tahun lamanya sampai tahun 1948. Setelah semua persiapan dituntaskan oleh penjajah Inggris, sang penjajah pun angkat kaki dari bumi Baitul Maqdis. Adapun antek sang penjajah, yaitu gerakan Zionis Yahudi, segera mendirikan negara “Israel” di atas bumi Baitul Maqdis.

Sampai tahun 2025 ini, peristiwa kelam itu telah berlangsung selama kurang lebih 108 tahun lamanya. Salah satu pertanyaan yang menggelayut di benak kita adalah: Kenapa telah berlalu waktu yang begitu panjang (108 tahun), namun Baitul Maqdis belum kembali ke pangkuan umat Islam? Kenapa negara penjajah Zionis Yahudi masih bercokol di atas Baitul Maqdis? Apa penyebab kegagalan kaum muslimin untuk mengembalikan Baitul Maqdis ke pangkuan mereka.

Padahal, kaum muslimin telah menempuh jalan jihad militer (gerakan jihad Syaikh Izzuddin Al-Qassam, Revolusi Rakyat 1936—1939, Perang 1948, Perang 1956, Perang 1967, perlawanan PLO dan Hammas)? Padahal, kaum muslimin juga telah menempuh berbagai upaya politik (Perjanjian Camp David, Perjanjian Sharm Sheikh, Perjanjian Oslo) dan diplomasi di forum-forum internasional?

Melalui pengkajian dan riset secara mendalam selama kurang lebih 35 tahun, Prof. Dr. Abdul Fattah al-Awaisi dalam bukunya, at-Takhtîth al-Istirâtîjî lit-Taḥrîr al-Qâdim lil-Masjid al-Aqshâ al-Mubârak, menyimpulkan ada tiga penyakit pokok yang selama ini menjadi batu sandungan utama bagi kesuksesan upaya-upaya pembebasan Baitul Maqdis.

Ketiga penyakit pokok tersebut adalah sebagai berikut.

Uraian penjelasan atas ketiga penyakit pokok tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama: Penjajahan terhadap akal kaum muslimin (iḥtilâl aql al-muslimîn)

Melalui ghazwul fiqri, penjajah Inggris dan Prancis berhasil menguasai akal pikiran kaum muslimin. Inggris menjajah Mesir sejak 1882. Salah satu langkah utama Inggris di Mesir adalah mengubah dan mengatur kurikulum pendidikan sedemikian rupa agar sesuai dengan worldview Barat.

“Modernisasi” dunia pendidikan itu bertujuan untuk menjaga kepentingan penjajahan Inggris, mengubah pola pikir dan pola perilaku rakyat Mesir agar selaras dengan paham sekulerisme dan nasionalisme yang sempit.

Hasilnya, konsep-konsep pokok dalam ajaran Islam mulai ditinggalkan dan dilupakan oleh kaum muslimin. Contohnya, konsep siapa kawan dan siapa lawan menjadi kabur. Pada kenyataannya, “penaklukan terhadap akal” kaum muslimin oleh penjajah Inggris, Prancis, dan lainnya juga terjadi di Semenanjung Arabia, bumi Syam, India, Turki, dan kawasan dunia Islam lainnya.

Di antara contoh kecil atas hal itu adalah

  • Asy-Syarif Husain bin Ali, pemimpin tertinggi umat Islam di kota suci Mekkah memimpin bangsa Arab untuk berperang di pihak penjajah Inggris melawan Daulah Utsmaniyah (Turki Utsmani) dalam Perang Dunia I.

Asy-Syarif Husain dan para tokoh bangsa Arab lainnya menganggap penjajah Inggris sebagai sekutu, kawan dekat, partner, bahkan pembebas bangsa Arab dari penjajahan rezim Turki Utsmani. Padahal, Inggris adalah penjajah Kristen Anglikan yang saat itu sedang menjajah negeri-negeri muslim: India, Mesir, dan Sudan.

  • Ketika Jendral Lord Allenby memimpin pasukan penjajah Inggris-Australia memasuki Kota al-Quds pada 9 Desember 1917, rakyat Baitul Maqdis menyambut mereka dengan gegap gempita penuh kegembiraan. Mereka dipimpin oleh sang Mufti al-Quds, Syaikh Kamil al-Husaini.
  • Seorang ulama alumni Universitas al-Azhar Mesir, sekaligus pimpinan redaksi majalah mingguan al-Kawâkib, pada saat itu memuji secara berlebihan Lord Allenby. Sang ulama menyerupakan Lord Allenby dengan Khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu anhu sang pembebas pertama Baitul Maqdis.

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa akal pikiran, pemahaman, dan akidah kaum muslimin telah berhasil dikuasai dan dijajah oleh Inggris, Prancis, dan lainnya, jauh sebelum tanah air mereka diduduki dan dijajah.

Kedua: Bencana dalam aspek ilmu pengetahuan

Dampak dari penjajahan terhadap akal kaum muslimin adalah umat Islam mengalami bencana besar dalam aspek ilmu pengetahuan (an-nakbah al-marifiyyah).

Di antara buktinya adalah

  • Umat Islam begitu percaya, kagum, dan menyambut dengan gegap gempita setiap teori, hipotesis, konklusi, dan karya-karya “ilmiah” para orientalis dan ilmuwan Barat nonmuslim tanpa menyaring serta menyeleksinya dengan ajaran Islam.
  • Umat Islam lebih bangga untuk menimba ilmu tentang “Islam” kepada para orientalis Yahudi, Kristen, Katolik, dan atheis di universitas-universitas Barat, daripada belajar Islam kepada ulama-ulama Islam di negeri-negeri Islam sendiri.
  • Umat Islam mempergunakan teori-teori, hipotesis-hipotesis, dan metodologi Barat nonmuslim seperti teori hermeneutika untuk mempelajari sumber-sumber primer ajaran Islam (al-Quran dan al-Hadits), dengan meninggalkan ilmu-ilmu dan metodologi yang telah disusun para ulama Islam sejak lebih dari seribu tahun lamanya (ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu ushul fiqih, ilmu manthiq, dan lainnya).
  • Umat Islam malas, kurang serius, dan tidak mengerahkan semaksimal kesempatan dan kemampuan mereka untuk mengkaji atau mendalami sumber-sumber primer ajaran Islam (al-Quran dan hadits) serta literatur Islam karya para ulama. Sebaliknya, mereka begitu bersemangat dalam mengkaji dan mendalami teori-teori, hipotesis-hipotesis, dan konklusi “ilmiah” para orientalis Barat dalam berbagai disiplin keilmuan.

Ketiga: Perbudakan dalam aspek pemikiran (al-ubûdiyyah al-fikriyyah)

Para pemikir, peneliti, dan ilmuwan orientalis Barat menghasilkan lebih banyak karya dalam berbagai disiplin keilmuan, dibandingkan karya yang dihasilkan oleh ulama, pemikir, dan peneliti kaum muslimin. Akibatnya, dunia Islam “dipaksa” untuk mengimpor teori-teori, hipotesis-hipotesis, metodologi-metodologi, dan karya-karya para orientalis Barat.

Dosen-dosen dan mahasiswa-mahasiswa senantiasa diberi “asupan gizi” dari produk pemikiran orientalis nonmuslim. Universitas-universitas dan sekolah-sekolah di dunia Islam menjadi “pasar bebas” untuk produk-produk pemikiran dan penelitian para orientalis Barat nonmuslim.

Terapi Tiga Penyakit Pokok Umat Islam

Umat Islam selama 108 tahun ini mengidap tiga penyakit pokok di atas. Itu sebabnya, sampai saat ini, upaya pembebasan Baitul Maqdis masih mengalami kegagalan. Lantas, apakah terapi yang benar atas tiga penyakit kronis tersebut?

Prof. Dr. Abdul Fattah al-Awaisi dalam at-Takhtîth al-Istirâtîjî lit-Tahrîr al-Qâdim lil-Masjid al-Aqshâ al-Mubârak menyatakan bahwa terapi dari ketiga penyakit kronis tersebut adalah dengan ilmu dan ma’rifah.

Dari tadabur terhadap wahyu al-Quran yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yaitu Surat al-‘Alaq ayat 1—5, dapat diambil beberapa pelajaran penting sebagai berikut.

Pertama:

Membaca merupakan sarana pertama dan utama untuk meraih ilmu dan pengetahuan.

Kedua:

Iqra` adalah fiil al-amr (kata kerja perintah). Maka, membaca merupakan sebuah keharusan, bukan sebuah pilihan bebas atau sekadar hobi.

Ketiga:

Iqra` harus berlandaskan bismi Rabbika. Hal itu menunjukkan bahwa motivasi dan tujuan membaca adalah sebagai sarana untuk meraih keimanan, ketakwaan, dan penghambaan kepada Allah Ta’ala.

Membaca merupakan sarana untuk beribadah kepada Allah, bukan untuk sekadar meraih dan membangga-banggakan pencapaian ilmu itu sendiri. Oleh karenanya, niat membaca harus lurus, semata-mata demi menghambakan diri kepada Allah dan meraih ridha-Nya.

Keempat:

Ayat “Bacalah dengan menyebut nama Rabbmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah yang menggantung (di dinding rahim)” merupakan sebuah ajakan untuk berfikir.

Kita wajib menggunakan akal kita secara kritis, untuk memikirkan diri kita, makhluk dan alam di sekitar kita, agar kita sampai kepada penghambaan yang benar kepada Allah Sang Maha Pencipta.

Akal adalah nikmat besar, yang membedakan manusia dari bangsa hewan. Oleh karenanya, akal harus diberdayakan secara maksimal untuk kegiatan membaca kritis dan berfikir kritis. Akal tidak boleh disia-siakan untuk hal-hal yang remeh-temeh, kurang manfaat, dan tidak berguna.

Kelima:

Ayat “Bacalah dan Rabbmu adalah Yang Paling dermawan” mengajak kita untuk membaca secara berulang-ulang. Kita tidak boleh berhenti membaca, berfikir, dan belajar. Sebab, salah satu sifat Allah adalah al-Karam, yaitukedermawanan.

Semakin banyak dan sering kita membaca, belajar, dan berpikir, niscaya Allah Ta’ala akan mengaruniakan kepada kita semakin banyak ilmu dan pengetahuan. Maka, membaca, belajar, dan berfikir harus menjadi aktifitas rutin yang bersifat kontinue.

Keenam:

Ayat “Yang telah mengajari dengan perantaraan pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang ia tidak ketahui” mengajarkan kepada kita urgensi dan peranan tulisan bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan.

Tulisan adalah salah satu sarana pokok dalam proses belajar mengajar dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Murid yang cerdas adalah murid yang menulis. Guru yang cerdas adalah guru yang menulis.

“Pena” adalah sarana yang bersifat umum, dapat berubah sesuai keadaan tempat, waktu, dan manusia. Pena adalah alat yang efektif untuk mendokumentasikan berbagai hal. Pada zaman dahulu, bentuk pena sangat sederhana, berupa kayu yang dicelupkan kepada tinta.

Kini, “pena” telah bertransformasi dalam bentuk komputer, laptop, HP, handycam, dan lain sebagainya.

***

Terkait dengan masalah Baitul Maqdis, mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, seberapa memadaikah ilmu dan pengetahuan kita tentang Baitul Maqdis:

  • Berapa banyak buku tentang sejarah Baitul Maqdis yang telah kita telaah?
  • Berapa banyak buku tentang jihad pembebasan Baitul Maqdis yang telah kita khatamkan?
  • Berapa banyak buku tentang diplomasi dan perjuangan politik untuk pembebasan Baitul Maqdis yang telah kita pelajari?
  • Berapa banyak artikel dan buku yang telah kita tulis untuk ikut mengedukasi umat Islam tentang persoalan Baitul Maqdis?
  • Berapa banyak artikel dan buku yang telah kita tulis untuk membantah syubhat-syubhat kaum Zionis Yahudi dan buzzer-buzzer mereka?
  • Berapa banyak komik, video edukasi, atau film dokumenter yang telah kita produksi untuk memahamkan persoalan Baitul Maqdis kepada umat Islam dari berbagai lapisan masyarakat?

Jawaban yang jujur atas sejumlah pertanyaan di atas akan membuktikan sejauh mana kita telah terinfeksi oleh tiga virus ganas: penjajahan akal, bencana pengetahuan, dan perbudakan pemikiran.

Kita kembali ke persoalan ilmu dan pengetahuan sebagai solusi dan terapi terhadap tiga penyakit pokok umat Islam. Setelah melakukan penelitian dan “kebingungan” selama kurang lebih 10 tahun, pada akhirnya Prof. Dr. Abdul Fattah al-Awaisi menyetujui uraian Sayyid Quthub dalam kitabnya, Afrâh ar-Rûh, tentang perbedaan antara dua terminologi; ilmu dan ma’rifah.

Menurut Sayyid Quthub rahimahullah, ilmu adalah pemahaman (al-fahmu = understand). Adapun ma’rifah (pengetahuan) adalah level yang lebih tinggi dari ilmu. Ma’rifah adalah kesadaran (al-idrâk = realization).

Untuk memudahkan kita dalam memahami perbedaan antara ilmu dan pengetahuan, mari kita menyimak uraian berikut ini.

  • Kita meyakini bahwa suatu hari kelak, Baitul Maqdis pasti akan berhasil dibebaskan dari cengkeraman penjajah Zionis Yahudi. Kita meyakini hal itu karena kita membaca al-Quran, hadits-hadits Nabawi, dan buku-buku tentang akhir zaman. Keyakinan kita yang didasarkan kepada pembacaan dan pengkajian ini disebut: ILMU.
  • Setelah kita meyakini kebenaran janji Allah dan Rasul-Nya tentang kemerdekaan Baitul Maqdis dari cengkeraman penjajah Zionis Yahudi, kita mengetahui langkah-langkah nyata dan tahapan demi tahapan yang harus kita tempuh dalam rangka merealisasikan janji pembebasan Baitul Maqdis. Pengetahuan yang mendalam tentang langkah-langkah, aksi-aksi, dan tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam rangka membebaskan Baitul Maqdis ini disebut: MA’RIFAH (Pengetahuan = Kesadaran).

Umat Islam tidak boleh berhenti dan berpuas diri pada level ilmu semata. Mereka harus mendaki dan meningkat sehingga sampai kepada level marifah atau idrâk (kesadaran).

Prof. Dr. Abdul Fattah al-Awaisi menjelaskan bahwa ada enam langkah ilmiah dan metodologis yang harus dilalui oleh umat Islam untuk sampai kepada level idrâk, yaitu

Pertama,

Accurate description = al-washfu ad-daqîq. Yaitu mendiagnosa dan mendeskripsikan secara detail dan benar problematika yang dialami oleh umat Islam. (Unsur what?)

Kedua,

Explanation = at-taudhîh. Yaitu mampu menghubungkan antara realita menyedihkan kaum muslimin dengan penyakit-penyakit pokok yang menjadi penyebabnya. (Unsur why?)

Ketiga,

Knowledge = al-ilmu wa al-fahmu. Buah dari deskripsi yang detail dan penjelasan yang ilmiah adalah umat Islam sampai kepada pengetahuan dan pemahaman.

Keempat,

Interpretation = attafsîr. Untuk bisa melakukan interpretasi, umat Islam memerlukan kerangka-kerangka teoritis, baik berupa teori-teori maupun contoh-contoh model. Tanpa adanya kerangka-kerangka teroritis, umat Islam akan gagal melakukan interpretasi.

Sayangnya, selama 108 tahun yang sudah berjalan ini, umat Islam tidak memiliki kerangka-kerangka teoritis untuk menginterpretasikan kegagalan-kegagalan upaya pembebasan Baitul Maqdis dan merumuskan langkah-langkah strategis agar sukses membebaskan Baitul Maqdis. Seakan-akan ada “tembok Berlin” yang menghalangi umat Islam untuk naik dari level 3 (ilmu dan pengetahuan) kepada level-level setelahnya.

Umat Islam hanya mengenal dan mengetahui teori-teori Barat, yang dirumuskan oleh para ilmuwan dan orientalis Barat. Sementara itu, para ulama Islam belum mampu merumuskan teori-teori baru yang selaras dengan ajaran Islam.

Dampak negatifnya, upaya-upaya pembebasan Baitul Maqdis selama ini didominasi oleh faktor emosi (perasaan), reaktif, dan langkah-langkah sporadis. Bukan oleh ilmu-pengetahuan, kesadaran, aksi yang konstruktif, dan langkah-langkah strategis.

Kelima,

Realization = al-idrâk (kesadaran). Ketika umat Islam telah sukses melewati level interpretation, mereka akan sampai kepada level realization. Yaitu level umat Islam mampu menemukan gambaran langkah-langkah strategis untuk membebaskan Baitul Maqdis.

Keenam,

Direction = at-taujîh (arah). Setelah umat Islam mencapai level idrâk, mereka akan mengetahui arah yang harus dituju untuk mampu membebaskan Baitul Maqdis.

Kejutuh,

Strategic planning = al-khuthuwât al-istirâtîjiyyah (rencana strategis). Jika para ulama dan tokoh-tokoh umat Islam sudah memiliki arah yang jelas, mereka akan mampu merumuskan langkah-langkah strategis.

Tahapan-Tahapan Strategic Planning

Untuk bisa merumuskan sebuah rencana strategis dalam rangka pembebasan Baitul Maqdis, umat Islam harus menempuh sejumlah tahapan. Prof. Dr. Abdul Fattah al-Awaisi memaparkan tiga tahapan tersebut sebagai berikut.

Pertama: Ilmu yang bermanfaat

Setiap tindakan harus didasarkan kepada ilmu. Ilmu adalah penuntun bagi amal. Adapun yang dimaksud dengan ilmu bermanfaat di sini adalah setiap ilmu agama maupun ilmu umum nonagama yang diperlukan, dan memberi kontribusi, dalam upaya pembebasan Baitul Maqdis.

Dalam hal ini umat Islam harus memiliki ilmu yang memadai dalam berbagai aspek kehidupan, seperti

  • Ilmu Syariat (akidah, ibadah, akhlak, muamalah),
  • Ilmu Sejarah,
  • Ilmu Ekonomi,
  • Ilmu Politik,
  • Ilmu Hubungan Internasional dan Geopolitik,
  • Ilmu Hukum,
  • Ilmu Bahasa,
  • Ilmu Komunikasi,
  • Ilmu Teknologi, dan
  • Ilmu Militer.

Kedua: Strategic Thingking

Ketiga: Strategic Planning

Foundation Stones Pembebasan Baitul Maqdis

Ibarat sebuah bangunan, proses pembebasan Baitul Maqdis adalah kumpulan dan kombinasi dari banyak unsur: pondasi, tiang-tiang, tembok, atap, dan lain-lain. Kekokohan pondasi menjadi harga mati, yang tidak bisa ditawar lagi, bagi eksistensi bangunan pembebasan Baitul Maqdis.

Langkah pertama bagi upaya membangun rumah pembebasan Baitul Maqdis adalah memasang batu-bata pondasi yang tepat. Prof. Dr. Abdul Fattah al-Awaisi berpendapat batu-batu pondasi (foundation stones) pertama dalam upaya membangun rumah pembebasan Baitul Maqdis adalah kembali memakai terminologi-terminologi dan konsep-konsep islami terkait Baitul Maqdis.

Inilah starting point yang harus ditempuh oleh setiap orang yang merindukan dan mencita-citakan pembebasan Baitul Maqdis dari cengkeraman penjajah Zionis Yahudi.

Sebagai wujud dari foundation stones tersebut, kita harus mulai mempopulerkan istilah-istilah dan konsep-konsep islami seputar Baitul Maqdis kepada kaum muslimin. Istilah-istilah dan konsep-konsep islami tersebut bersumber kepada al-Quran, al-hadits, dan riwayat-riwayat ulama Islam dari zaman sahabat, tabi’in, dan seterusnya, sebagaimana tercantum dalam literatur-literatur klasik Islam.

Kita harus mulai meninggalkan istilah-istilah dan konsep-konsep penjajah Barat yang dibuat untuk menjajah akal kaum muslimin dan melayani kepentingan penjajahan Barat. Di antara contohnya adalah sebagai berikut.

No.Terminologi IslamTerminologi Penjajah
1Baitul Maqdis = Ardh MuqaddasahPalestina
2Tembok BuraqTembok Ratapan
3Al-Quds = Al-AqshaElia = Yerusalem
4Tanah yang diberkahi = Ardh MubarakahTanah yang dijanjikan
5Masjid Al-AqshaSolomon Temple
6Persoalan umat IslamPersoalan Palestina

Negara Palestina, dengan batas-batas teritorialnya saat ini, adalah konsep penjajah Inggris dan Prancis yang dirumuskan melalui Perjanjian Sykes-Piccot. Konsep Islam tidak mengenal “Negara Palestina”.

Konsep Islam mengenalkan terminologi Ardhun Muqaddasah atau Baitul Maqdis (istilah hadits Nabawi), Masjid al-Aqsha, dan Ardhun Mubarakah (istilah Qur’ani), dengan batas-batas wilayahnya berdasarkan riwayat-riwayat hadits, sebagaimana ditegaskan oleh sahabat Abdullah bin Umar bin Khathab radhiyallahu anhuma.

Demikian pula, “bendera Palestina” yang dikenal luas saat ini adalah konsep yang dirumuskan oleh penjajah Inggris dalam Perang Dunia I. “Palestina” sebagai bagian dari Negeri Syam Raya, di bawah pemerintahan Islam selama lebih dari lima abad tidak memiliki bendera seperti itu.

Demikianlah, penjajahan Salibis Inggris (dan Amerika Serikat sebagai penerusnya) telah berhasil menjajah akal-akal kita, sebelum mereka menjajah tanah suci kita. Batu pertama untuk membebaskan Baitul Maqdis harus dimulai dari bidang keilmuan dan pengetahuan. Memperbaiki dan menggunakan istilah-istilah dan konsep-konsep islami adalah starting point yang harus kita tempuh. Wallahu alam bish-shawab. (Yasir Abdul Barr/dakwah.id)

Penulis: Yasir Abdul Barr

Artikel terbaru:

Topik Terkait

Discover more from Dakwah.ID

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading