materi kultum ramadhan 7 Tiga Nikmat Terbesar dakwah.id

Materi Kultum Ramadhan: Tiga Nikmat Terbesar

Terakhir diperbarui pada · 1,457 views

Tulisan yang berjudul “Tiga Nikmat Terbesar” ini adalah seri ke-07 dari serial Materi Kultum Ramadhan 1446 H yang ditulis oleh Ustadz Yasir Abdull Barr.

اْلحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَسْبَغَ عَلَيْنَا نِعَمَهُ الظَّاهِرَةَ وَالْبَاطِنَةَ. وَالصَّلاَةُ وَالَّسلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ الْمَبْعُوثِ بِالْقُدْوَةِ الْحَسَنَةِ, وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِاْلإِحْسَانِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ.

Segala puji milik Allah Ta’ala semata. Atas izin dan karunia-Nya, kita masih dapat bersua kembali dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah pada tahun ini. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada suri teladan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, sahabatnya, dan umatnya yang sabar mengamalkan petunjuknya. Amma ba’du.  

Jamaah shalat tarawih yang dirahmati Allah…

Nikmat yang Allah Ta’ala karuniakan kepada makhluk-Nya sangat banyak. Begitu banyaknya sehingga makhluk-Nya tidak akan sanggup untuk menghitungnya. Nikmat-nikmat Allah tersebut, secara umum dapat dibagi menjadi dua; nikmat duniawi dan nikmat ukhrawi.

Nikmat duniawi adalah nikmat-nikmat yang berkaitan dengan kehidupan jasmaniah makhluk di alam dunia, seperti kesehatan, makanan, minuman, pakaian, rumah, kendaraan, sawah-ladang, uang, perusahaan, emas-perak, suami, istri, anak-anak, kerabat, teman-teman, dan lain sebagainya. 

Nikmat ukhrawi (nikmat yang berkaitan dengan negeri akhirat kelak) atau nikmat dînî (nikmat yang berkenaan dengan perkara agama) adalah nikmat-nikmat yang berkaitan dengan urusan agama dan kehidupan di akhirat kelak. Yaitu nikmat masuk Islam, memiliki iman, memiliki ketakwaan, dan mampu beramal shalih.

Nikmat ukhrawi adalah nikmat yang paling penting, paling mulia, dan paling utama. Apabila seseorang memiliki nikmat ukhrawi, maka ia akan mendapatkan ridha Allah Ta’ala dan kebahagiaan yang abadi di dalam surga kelak. Meskipun seseorang bergelimang nikmat duniawi, jika ia tidak mendapatkan nikmat ukhrawi, niscaya hidupnya akan diliputi kebingungan, kecemasan, dan kerugian dunia maupun akhirat.

Jamaah shalat tarawih yang dirahmati Allah…

Imam Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits shahih sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh telah beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya merasa puas dengan rezeki apa pun yang Allah karuniakan kepadanya (meskipun jumlahnya sedikit).” (HR. Muslim no. 1054, At-Tirmidzi no. 2348, Ibnu Majah no. 4138, dan Ahmad no. 6572)

Hadits shahih di atas menjelaskan bahwa apabila pada diri seseorang terkumpul tiga nikmat, niscaya ia telah sukses, beruntung, dan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak. Ketiga nikmat tersebut adalah:

Pertama, masuk Islam

Masuk Islam adalah nikmat terbesar dari tiga nikmat yang Allah karuniakan kepada seorang hamba. Dengan masuk Islam, seorang hamba dapat mengenal Allah secara benar, dan beribadah kepada-Nya secara benar pula. Dengan masuk Islam, seorang hamba dapat mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan meneladani petunjuknya dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan masuk Islam, seorang hamba menjalani hidupnya di bawah bimbingan Al-Quran dan as-sunnah, yang akan mengantarkannya kepada syafaat Nabi, ridha Allah Ta’ala dan surga-Nya.

Masuk Islam adalah modal pertama dan modal terpenting untuk meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Masuk Islam adalah syarat pertama dan utama agar seorang hamba tidak tersesat di dunia, tidak mendapatkan murka Allah dan tidak terperosok ke dalam neraka di akhirat kelak.

Kedua, mendapatkan rezeki yang kafâf

Kafâf adalah kecukupan, yaitu diberi rezeki yang halal dan jumlahnya sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, tanpa kekurangan dan tanpa kelebihan. Dengan rezeki tersebut ia memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer dan sekundernya, sehingga tidak termasuk golongan miskin yang kekurangan, pun tidak termasuk golongan orang kaya yang hidup mewah.

Ketiga, hatinya memiliki sifat qanâ’ah

Qanâ’ah adalah rela dan puas dengan apa pun nikmat yang Allah karuniakan kepadanya. Ia tidak mencari-cari tambahan harta, karena ia menyadari sepenuhnya rezekinya yang telah ditetapkan Allah dan ia tidak akan memperoleh selain apa yang telah ditakdirkan untuknya. Dengan keyakinan itu, ia tidak pernah mencari harta yang haram, makruh, ataupun syubhat. (Muhammad bin Ali Al-Ithiobi Al-Wallawi, Al-Bahru Al-Muhîth Ats-Tsajjâj fî Syarh Shahîh Al-Imâm Muslim ibni Al-Hajjâj, Juz XX hal. 98)

Jamaah shalat tarawih yang dirahmati Allah…

Orang yang memiliki tiga nikmat tersebut adalah orang yang beruntung. Sebab, ia dapat mensyukuri rezeki apa pun yang Allah karuniakan kepadanya, meskipun jumlahnya relatif sedikit. Ia akan rela dan puas dengan rezeki dari Allah tersebut.

Ia tidak akan iri dan dengki kepada orang lain yang mendapatkan rezeki lebih banyak dari dirinya. Ia tidak akan dendam, putus asa, atau stres saat melihat orang lain memiliki harta kekayaan yang lebih banyak dan lebih melimpah. 

Hatinya merasa nyaman dan tenteram, karena ia memiliki iman dan qana’ah. Jiwanya tidak merasakan kegelisahan, kegalauan, maupun stress. Sebab, ia tidak rakus kepada harta kekayaan.

Hati yang puas dengan rezeki yang Allah karuniakan, akan membuatnya senantiasa mensyukuri nikmat Allah Ta’ala. Di dunia ia hidup dengan hati yang nyaman, tenteram, dan damai. Di akhirat ia akan memperoleh ridha Allah dan surga-Nya.

Ia sukses memperoleh kenikmatan hidup di dunia maupun akhirat. Imam Syarafuffin Al-Husain bin Muhammad Ath-Thibi (w. 743 H) berkata, “Makna beruntung di sini adalah sukses meraih keinginannya dan kebutuhan hidupnya di dunia maupun akhirat.” (Muhammad bin Ali Al-Ithiobi Al-Wallawi, Al-Bahru Al-Muhîth Ats-Tsajjâj fî Syarh Shahîh Al-Imâm Muslim ibni Al-Hajjâj, Juz XX hal. 98) Wallahu a’lam bish shawab. (Yasir Abdull Barr/dakwah.id)

Topik Terkait

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Discover more from Dakwah.ID

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading