materi kultum ramadhan nikmat iman nikmat yang paling besar dakwah.id

Materi Kultum 23: Nikmat Iman Nikmat Allah Paling Besar

Terakhir diperbarui pada · 8,106 views

Tulisan yang berjudul Nikmat Iman Nikmat Allah Paling Besar adalah seri ke-23 dari serial Materi Kultum Ramadhan yang ditulis oleh ustadz Muhammad Faishal Fadhli.

Ada satu kisah menarik sebagai bahan renungan betapa kita harus selalu mensyukuri nikmat Iman dan Islam.

Imam ash-Shu’luki, seorang ulama besar madzhab Syafi’i, pernah ditanya oleh seorang budak Yahudi tentang hadits nabi yang berbunyi,

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ

Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim No. 7606)

Budak Yahudi itu melihat bahwa Imam ash-Shu’luki menjalani kehidupan yang bergelimang nikmat: mempunyai kehormatan dan kedudukan yang tinggi. Sementara dirinya adalah seorang hamba sahaya yang hina dina. Ia merasa bahwa realita ini justru sangat berbeda dengan kandungan hadits tersebut.

Imam ash-Shu’luki menjawab, “Jika kelak dirimu berada dalam siksaan Allah, maka semua ini merupakan surga bagimu. Dan jika kelak aku berada dalam nikmat Allah, maka semua ini merupakan penjara bagiku.”

Apa maksud di balik kalimat jawaban imam ash-Shu’luki di atas?

Jadi, meskipun orang Yahudi itu menjadi budak dan merasa dirinya direndahkan, nasib buruk ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan siksa api neraka di akhirat kelak.

Begitu juga sebaliknya, meskipun Imam ash-Shu’luki dan semua orang beriman hidup dalam kemudahan, kesenangan, dan kehormatan di dunia, nasib baik ini tidak apa-apanya jika dibadingkan kenikmatan surgawi yang Allah sediakan bagi mereka.

Itulah salah satu contoh cara mensyukuri nikmat Iman yang sangat elegan. Jawaban Imam Ash-Shu’luki di atas menunjukkan betapa beliau paham betul bahwa nikmat iman adalah nikmat Allah yang paling agung.

Al-Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mencantumkan kisah ini dalam kitabnya Badai’ul Fawa’id. Ada beberapa hikmah dan faidah yang bisa kita kutip, di antaranya adalah:

Pertama, kunci kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup ini adalah iman kepada Allah. Oleh karenanya, seorang mukmin akan merasakan kebahagiaan, bagaimana pun keadaan yang ia hadapi di dunia ini.

Allah Ta’ala berfirman,

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ

Allażīna āmanụ wa lam yalbisū īmānahum biẓulmin ulā`ika lahumul-amnu wa hum muhtadụn.

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)

Kedua, betapa berharganya nikmat keimanan.

Hidup ini hanya ada dua kemungkinan; antara nikmat atau musibah. Orang-orang beriman akan bersyukur saat mendapat nikmat, dan mereka akan mampu bersabar saat ditimpa musibah.

Itulah rahasia kenapa hidup mereka begitu tenang dan menakjubkan. Sehingga siapapun yang mengetahui kebahagiaan hati orang beriman, mereka akan merebut kebahagian itu.

Sebagaimana dikatakan oleh Ibrahim bin Adham,

‌لَوْ ‌عَلِمَ ‌الْمُلُوكُ ‌وَأَبْنَاءُ ‌الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ مِنَ السُّرُورِ وَالنَّعِيمِ إِذًا لَجَالَدُونَا عَلَى مَا نَحْنُ فِيهِ بِأَسْيَافِهِمْ

Seadainya para raja dan putra-putranya mengetahui kebahagiaan hati kami, niscaya mereka akan merampasnya dari kami dengan pedang-pedang mereka.” (Abu Nu’aim, Hilyah Auliya, 3/370)

Ketiga, pentingnya mensyukuri nikmat iman.

Dalam surah An-Nahl ayat 18 disebutkan bahwa kita tidak akan pernah mampu menghitung semua nikmat Allah. Dan nikmat iman adalah contoh nikmat Allah paling mahal yang harus disyukuri.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَمَاتُوْا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْ اَحَدِهِمْ مِّلْءُ الْاَرْضِ ذَهَبًا وَّلَوِ افْتَدٰى بِهٖۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ وَّمَا لَهُمْ مِّنْ نّٰصِرِيْنَ

Innallażīna kafarụ wa mātụ wa hum kuffārun fa lay yuqbala min aḥadihim mil`ul-arḍi żahabaw wa lawiftadā bih, ulā`ika lahum ‘ażābun alīmuw wa mā lahum min nāṣirīn.

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong.” (QS. Ali Imran: 91)

Ayat ini menunjukkan bahwa siapa pun yang meninggal dunia sementara ia belum sempat mengucap dua kalimat syahadat, tidak mempunyai keimanan walau seberat biji dzarrah, tidak akan masuk surga, meskipun mereka pernah mendonasikan emas sepenuh bumi saat masih hidup dunia.

Tentu saja tidak ada orang sekaya itu.

Maka ayat ini sebenarnya adalah sebuah metafora tentang keagungan kalimat tauhid, kalimat keimanan, jika dibandingkan dengan dunia.

Kebalikan dari kondisi di atas, meskipun seorang mukmin bersedekah hanya dengan sebiji kurma, karena keikhlasan dan keimanannya, sedekah yang sedikit itu bisa membebaskannya dari siksa api neraka.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

Jauhilah neraka walaupun dengan bersedekah sebelah butir kurma, maka siapa saja yang tidak mendapatkannya, maka hendaklah (bersedekah) dengan kata-kata yang baik’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dengan nikmat iman yang ada di dalam hati, kita akan mudah melakukan banyak amal saleh. Seperti shalat, shaum, zakat, infaq, shadaqah, dan berjihad di jalan Allah. Semua anggota tubuh bisa bergerak atas dasar keimanan.

Itulah rahasia kenapa nikmat paling agung adalah nikmat iman dan Islam.

Maka dari itu, kita diajarkan sebuah doa; memohon kepada Allah Ta’ala agar senantiasa berada di atas nikmat keimanan.

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً ۚاِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ

Rabbanā lā tuzig qulụbanā ba’da iż hadaitanā wa hab lanā mil ladungka raḥmah, innaka antal-wahhāb.

Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 8)

Wallāhul muwaffiq ilā aqwamith tharīq. (Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)

Baca juga artikel Materi Kultum Ramadhan atau artikel menarik lainnya karya Muhammad Faishal Fadhli.

Penulis: Muhammad Faishal Fadhli
Editor: Sodiq Fajar

Artikel Materi Kultum Ramadhan sebelumnya:

Topik Terkait

Muhammad Faishal Fadhli

Pengkaji Literatur Islami. Almnus Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor angkatan 14.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *