nur ala nur cahaya di atas cahaya-dakwah.id-01

Makna Ayat Nur ‘ala Nur, Cahaya di Atas Cahaya

Terakhir diperbarui pada · 21,685 views

Penjelasan tentang nur ‘ala nur yang artinya cahaya di atas cahaya dalam surat An-Nur ayat 35, terkadang dikaitkan dengan istilah nur Muhammad atau cahaya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Banyak yang meyakini, terutama dari kalangan Sufi, bahwa cikal bakal alam semesta adalah cahaya Nabi Muhammad. Menurut mereka, nur Muhammad diciptakan dari cahaya Allah. Dan dari nur tersebut, terciptalah seluruh makhluk.

Sayangnya, tidak ada keterangan dari hadits shahih untuk mendukung statemen ini. Dalil yang dipakai tertolak karena statusnya adalah hadits maudhu’ alias hadits palsu.

Ustadz Abdus Somad sendiri yang dikenal sebagai seorang sufi, tidak mendukung pendapat ini. Kata beliau, demikianlah penjelasan dari Mursyid Tarekat Syadziliyah sekaligus ahli hadits yang pernah datang ke Riau, Syaikh Muwaffaq. Dan UAS lebih menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa makhluk Allah yang pertama kali diciptakan adalah “Al-Qalam” pena, berdasarkan hadits shahih.

Pembahasan lebih lanjut tentang nur Muhammad memang perlu kajian tersendiri. Sebab ada berbagai argumen yang perlu diterangkan.

Adapun tulisan singkat ini lebih mendalami makna kalimat nur ‘ala nur dengan merujuk pendapat para mufasir. Baik itu dari ulama terdahulu di zaman sahabat dan tabi’in, seperti Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Mujahid, dan Abdurrahman bin Ismail As-Sudiy, maupun dari ahli tafsir kontemporer seperti Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahumullahu ajma’in.

 

Artikel Hikmah: Abu Umamah, Ahli Sedekah yang Penuh Berkah

 

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, menurut Mujahid, maksud dari cahaya di atas cahaya adalah cahaya api dan cahaya minyak.

Kemudian As-Sudiy menerangkan, “Sebagaimana cahaya minyak dan cahaya api apabila bersatu dapat menerangi dan tidak bisa memberi penerangan jika salah satunya tidak ada. Demikian halnya dengan cahaya iman dan cahaya al-Quran di dalam dada seorang mukmin. Ketika keduanya berkumpul, maka bisa saling menerangi. Salah satu dari keduanya, tidak bisa berdiri sendiri (dipisahkan).”

Imam Ibnu Katsir juga mengutip pendapat Al-Aufi tentang hal ini yang ia dengar dari Ibnu Abbas, bahwa makna cahaya di atas cahaya adalah iman seorang hamba dan amalannya.

Senada dengan pendapat-pendapat di atas, Ubay bin Ka’ab juga punya penafsiran yang sangat menarik tentang nur ‘ala nur. Secara eksplisit, ia mengatakan bahwa ini perumpamaan bagi seorang hamba yang beriman.

Cahaya di atas cahaya, kata Ubay, artinya kehidupan seorang mukmin yang bergelimang cahaya, dan itu terwujud dalam lima perkara: ucapan, amal perbuatan, tempat masuk, tempat keluar, dan tempat kembalinya ke dalam Surga kelak pada hari kiamat. Semua itu cahaya.

 

Artikel Hadits: Virus Corona Menyebar, Adakah Hadits Doa Terhindar dari Wabah Penyakit?

***

Agar pembahasan ini semakin melekat dalam hati, penting untuk diingat kembali, bahwa nur ‘ala nur atau cahaya di atas cahaya merupakan sepotong kalimat dari sebuah ayat yang cukup panjang yang menerangkan Dzat Allah sebagai sumber cahaya di langit dan di bumi, “Allahu nurus samawati wal ardhi.”

Cahaya di sini bisa diartikan secara hakiki atau maknawi.

Secara hakiki, berarti Dialah yang menerangi alam ini dengan cahaya yang bersifat materiil. Kita semua, berajalan di bawah cahaya-Nya.

Adapun secara maknawi, cahaya-Nya adalah cahaya kebenaran, keadilan, pengetahuan, keutamaan, petunjuk, dan keimanan.

“Matsalu nuurihi kamisykaatin fiihaa misbaah.” Maksud dari potongan ayat ini, adalah: kejelasan cahaya-Nya yang agung, dan bukti-buktinya yang mengagumkan, laksana sinar yang memancar dari sebuah lampu yang sangat terang. Lampu itu, diletakkan di sebuah celah dinding rumah yang dapat membantu mengumpulkan cahaya dan memantulkannya.

“Al-Mishbaahu fi zujaajah. Az-zujaajatu ka-annaha kawkabun durriyun.” Lampu tersebut berada dalam kaca yang bening dan bersinar seperti matahari. Mengkilap seperti mutiara.

“Yuuqadu min syajaratin mubaarakatin zaytuunaatin laa syarqiyyahtin wa laa ghrabiyyatin.” Bahan bakar lampu itu, diambil dari minyak pohon yang penuh berkah, berada di tempat dan tanah yang baik, yakni pohon zaitun. Pohon ini ditanam di tengah-tengah; antara timur dan barat yang membuatnya selalu mendapat sinar matahari sepanjang hari, pagi dan sore.

“Yakaadu zaytuhaa yudhii’u walaw lam tamsashu naar.” Karena teramat jernih, minyak dari pohon zaitun seakan hampir menyala meskipun lampu belum disentuh api. Dengan demikian, sinar dan cahaya lampu menjadi berlipat ganda. Inilah yang dimaksud dengan nur ‘ala nur. Yakni, cahaya yang berlapis-lapis.

Menurut riwayat dari Ibnu Abbas, sebab turunnya ayat ini dikarenakan orang Yahudi bertanya kepada Nabi Muhammad tentang bagaimana cahaya Allah dapat menerangi langit dan bumi. Maka, setelah Allah memberikan sebuah permisalan yang begitu gamblang dan demikian detail, ayat ini diakhiri dengan sebuah kalimat penutup yang sangat elegan.

 

Materi Khutbah Jumat: Merindukan Bulan Ramadhan

 

“Yahdillahu linuurihi man yasyaa’u, wa yadhribullahul amtsaala lin naasi. Wallahu bikulli syay’in ‘aliim.” Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Maksudnya, melalui bukti-bukti yang dapat menghapus keragu-raguan yang telah disampaikan, Allah menuntun siapa saja yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui; siapa yang memperhatikan ayat-ayat-Nya, dan siapa yang enggan dan sombong.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di meringkas semua penjelasan di atas. Menurut beliau, perumpamaan yang Allah buat dalam ayat ini, jika ditarik ke dalam kondisi seorang mukmin, artinya; terdapat cahaya Allah di dalam hati setiap insan.

Maka, secara fitrah penciptaannya, hati manusia itu bersih dan siap menerima pengajaran dari Allah serta mengamalkannya. Bersih dari maksud yang buruk dan pemahaman yang buruk.

Jika telah sampai kepadanya seayat ilmu, cahaya yang ada di hatinya akan menyala seumpama sumbu yang menyala di dalam lampu.

Kemudian, apabila iman sampai kepadanya, maka akan bersinar lagi hatinya dengan sinar yang semakin terang karena bersih dari kotoran. Hal itu persis seperti bersihnya kaca yang berkilau.

Maka, berkumpullah cahaya fitrah, cahaya iman, cahaya ilmu, dan bersihnya makrifat (mengenal Allah). Sehingga, dalam diri seorang mukmin, terdapat cahaya yang berlapis-lapis.

 

Fikih Instan: Anggota Wudhu Terluka, Bagaimana Wudhunya?

***

Masih dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, berkaitan dengan hidayah dan siapa yang berhak mendapatkannya, ada sebuah sebuah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudhri yang menyebutkan bahwa Baginda Nabi menerangkan jenis-jenis hati.

Berikut ini teks haditsnya.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ قَلْبٌ أَجْرَدُ فِيهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يُزْهِرُ وَقَلْبٌ أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى غِلَافِهِ وَقَلْبٌ مَنْكُوسٌ وَقَلْبٌ مُصْفَحٌ فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ فَقَلْبُ الْكَافِرِ وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ الْمُنَافِقِ عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمُصْفَحُ فَقَلْبٌ فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ فَمَثَلُ الْإِيمَانِ فِيهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ يَمُدُّهَا الْمَاءُ الطَّيِّبُ وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ كَمَثَلِ الْقُرْحَةِ يَمُدُّهَا الْقَيْحُ وَالدَّمُ فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ.

“Hati itu ada empat macam; hati yang bersih ia seperti lentera yang bercahaya, hati yang tertutup ia terikat dengan tutupnya, hati yang sakit dan hati yang terbalik. Adapun hati yang bersih adalah hatinya orang beriman, ia seperti lentera yang bercahaya, sedangkan hati yang tertutup adalah hatinya orang kafir, hati yang sakit adalah hati orang munafik, ia mengetahui yang baik namun ia mengingkari, dan hati yang terbalik adalah hati yang di dalamnya ada iman dan nifak, contoh keimanan di situ adalah seperti tanah yang dapat memberikan air yang bersih, sedangkan nifak adalah seperti bisul, di dalamnya hanya nanah dan darah, maka di antara keduanya yang paling kuat ia akan mengalahkan lainnya.” (HR. Ahmad No. 10705)

Pertama, qalbun ajrad (قلب أجرد): Hati yang polos tak bernoda. di dalamnya seperti ada pelita yang bersinar.

Kedua, qalbun aghlaf (قلب أغلف): Hati yang tertutup yang terikat tutupnya.

Ketiga, qalbun mankuus (قلب منكوس): Hati yang terbalik.

Keempat, qalbun mushfah (قلب مصفح): Hati yang terlapis.

 

Artikel Tafsir: Kumpulan Kitab Tafsir Terpopuler Klasik dan Kontemporer

 

Adapun qalbun ajrad adalah hati seorang mukmin, pelita dalam hatinya adalah cahaya.

Qalbun aghlaf adalah hati orang kafir.

Qalbun mankuus adalah hati orang munafik, ia mengetahui tetapi kemudian malah mengingkari.

Qalbun mushfah adalah hati yang di dalamnya bercampur iman dan nifak. Iman yang ada di dalamnya, seperti tanaman yang disirami air yang segar. Dan nifak yang ada di dalamnya, seperti bisul yang disirami darah dan nanah. Dari dua unsur tersebut, mana yang lebih dominan, maka itulah yang akan menguasai hatinya.

Dengan menyebut hadits ini dalam menafsirkan ayat nur ‘ala nur, seakan imam Ibnu Katsir hendak menekankan bahwa segala kebaikan, cahaya, dan hidayah, sumbernya dari Allah Ta’ala.

Maka, kepada-Nya semua itu diminta. Semakin seseorang dekat kepada Allah, semakin mudah ia mendapatkan cahaya hidayah. Untuk itu, dalam mencari hidayah atau petunjuk, para penuntut ilmu harus meninggalkan kemaksiatan. Seperti pesan Waki’ kepada Imam Asy-Syafi’i yang sangat terkenal.

Saat membincang adab menuntut ilmu dan erat kaitannya dengan konteks penafsiran ayat ini, Imam Burhanuddin Az-Zarnuji dalam kitabnya, “Ta’limul Muta’allim” berpendapat, hendaknya seseorang mengagungkan ilmu dengan berwudhu sebelum memegang buku.

Seperti keteladanan yang dicontohkan oleh dua Syamsul Aimmah As-Sarkhasi dan Al-Halwani yang senantiasa menjaga tharahah (kesucian diri) dalam menunut ilmu.

Dikisahkan bahwa pada suatu malam, As-Sarkhasi terkena diare. Setiap kali batal, beliau selalu mengulangi wudhunya sampai tujuh belas kali. Hal ini dikarenakan ilmu adalah cahaya, dan wudhu juga cahaya. Dengan demikian, bertambahlah cahaya ilmu pada diri seseorang.

Nah, mulai sekarang, jangan malas berwudhu sebelum belajar atau mengajarkan ilmu. Agar pendar cahaya yang kita pegang, semakin terang benderang. Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq. (Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)

 

Referensi:

Al-Hafidzh Imaduddin Abu Ismail Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil ‘Adzhiim, Darul Aqiidah, jilid Ke-3, tahun 2008.
Al-Imam Burhanuddin Az-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim Thariqut Ta’allum, Maktabah At-Turmusi lit Turats, 2019.

Muhammad Faishal Fadhli

Pengkaji Literatur Islami. Almnus Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor angkatan 14.

1 Tanggapan

Sangat bagus bersi dan bercahaya sangat puas penjelasan tentang cahaya diatas cahaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *