Kedudukan Akal dalam Syariat Islam

Terakhir diperbarui pada · 2,494 views

Akal adalah syarat untuk kesempurnaan ilmu dan amal.”
(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 3/339)

 

Islam adalah agama yang sangat memuliakan akal. Ada beberapa bukti yang menunjukkan hal tersebut. Kitab suci al-Quran banyak memuat pujian bagi mereka yang mendayagunakan akal dengan baik, mencela siapa pun yang meremehkan akal, dan menjadikan akal sebagai sebab ditetapkannya taklif (pembebanan berupa perintah dan larangan) kepada seorang manusia.

Selain itu, di antara tujuan paling utama dalam syariat adalah hifdzu aql (penjagaan akal). Maka, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa ajaran Islam menempatkan akal pada posisi yang tinggi dan istimewa.

Mengingat betapa pentingnya peran akal, mungkinkah ia dapat mengalahkan nash dan dijadikan landasan utama dalam menentukan suatu hukum?

Ada dua pendapat yang saling bertentangan dalam menjawab pertanyaan di atas.

Pendapat pertama, lebih mengedepankan akal daripada nash. Pemikiran ini dipopulerkan oleh ath-Thufi dan Ibnu Rusyd.

Sebaliknya, pendapat kedua memandang bahwa nash harus diutamakan, sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Imam asy-Syathibi. Di bawah ini penjelasan lebih lanjut tentang kedua pendapat tersebut.

Kitab tentang akal Risalah fi Ri'ayah al-Maslahah karya Ath-Thufi dan kitab Fashl al-Maqal karya Ibnu Rusyd dakwah.id

Akal Menurut Ath-Thufi dan Ibnu Rusyd

Thufi adalah nama sebuah desa di daerah Sarsar Irak, dan di desa itulah ath-Thufi dilahirkan. Nama lengkapnya Najamudin Abu ar-Rabi Sulaiman bin Abd al-Qawi bin abd al-Karim bin Said at-Tufi as-Sarsari al-Baghdadi al-Hanbali. Terkenal dengan nama ath-Thufi.

Ath-Thufi diperkirakan lahir pada tahun 657 H/1259M dan meninggal pada tahun 716 H/1318M. Jadi, tokoh ini lahir setahun setelah serbuan pasukan mongol ke kota Baghdad yang dipimpin oleh Hulagu Khan pada tahun 1258M.

Di Indonesia, pemikiran Najmuddin ath-Thufi menjadi masyhur karena diadopsi oleh orang-orang liberal, seperti Moqsith al-Ghazali. (Moh. Mufid, ath-Thufi; Representasi Kaum Liberalis dalam Pembentukan Hukum Islam, Jurnal ISTINBATH, UIN Sunan Ampel, 2016, vol. 13, no.1; Jurnal wawasan Yuridika, STAIC Cirebon, vol. 3, no. 2, September 2019; Hukum Islam Progresif; Tawaran teori Maslahat at-Tufi sebagai Epistimologi Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia)

Artikel Sejarah: Khazanah Fikih Islam: Pentingnya Kajian Sejarah Hukum Islam(Opens in a new browser tab)

Ketika membahas maslahat, ath-Thufi mempunyai pandangan yang bertolak belakang dengan ulama-ulama lainnya. Pandangan ath-Thufi tentang maslahat berasal dari pembahasan (syarah) hadis Nabi: “لاضرر ولاضرار” (‘Alal al-Fasi, Maqashid asy-Syari’ah wa Makarimuha, 147) yang artinya: tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.

Hadis ini sahih. Diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad. Al-Hakim menyebutkan bahwa hadis ini sahih berdasarkan kriteria Imam Muslim. (Lihat Ath-Thufi, Risalah fi Riayah al-Maslahah, 23)

Hadis ini menjadi dasar pendapatnya mengenai empat prinsip maslahat yang membuatnya menolak pembagian maslahat menjadi tiga, yakni:

Pertama, Maslahat mu’tabarah, yakni maslahat yang ditunjuk langsung oleh al-Quran atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua, Maslahat mulghah, yakni maslahat yang bertentangan dengan teks wahyu, hadis atau ijma’.

Ketiga, Maslahat mursalah, yakni maslahat yang secara tegas tidak bertentangan dengan wahyu atau hadis dan juga tidak mendukungnya. (Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammd al-Gazali, al-Mustasyfa’ fi ilm al-Usul, 174)

Bagi ath-Thufi, segala bentuk maslahat (didukung atau tidak didukung oleh wahyu) harus dicapai tanpa memerincinya. (Ensiklopedi Hukum Islam. Abdul Azis Dahlan (ed.), 4/1147)

Ath-Thufi menolak pembagian tersebut, lalu ia menawarkan pembagian versinya sendiri yang terdiri dari empat bagian prinsip maslahat.

Pertama, akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemudaratan, khususnya dalam bidang muamalah dan adat. Dasar ini membawa implikasi bahwa untuk menentukan sesuatu, termasuk maslahat atau bukan, cukup menggunakan nalar manusia tanpa harus didukung oleh wahyu atau hadis.

Pandangan ini berbeda dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa sekalipun kemaslahatan dan kemudaratan itu dapat dicapai dengan akal, namun kemaslahatan itu harus mendapatkan dukungan dari nas atau ijmak, baik bentuk, sifat, maupun jenisnya. (Ibid. 4/1147)

Kedua, maslahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu, tidak diperlukan dalil pendukung untuk kehujahan maslahat, karena maslahat itu didasarkan kepada pendapat semata.

Ketiga, maslahat hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan, adapun dalam masalah ibadah atau ukuran-ukuran yang ditetapkan syariat (shalat zuhur empat rakaat, puasa selama tiga puluh hari, dan tawaf itu dilakukan tujuh kali), tidak termasuk obyek maslahat, karena maslah-masalah seperti ini merupakan hak Allah semata, sedangkan bidang muamalah duniawi dan adat kebiasaan terkait dengan kemaslahatan manusia.

Keempat, maslahat merupakan dalil syara’ paling kuat. Karenanya, ia juga mengatakan apabila nash atau ijmak bertentangan dengan maslahat, maka didahulukan maslahat dengan cara takhsis nas tersebut (pengkhususan hukum) dan bayan (perincian/penjelasan hukum). (At-Thufi, 23; Lihat juga Yusdani, 11; Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, 52-54; Ensiklopedi Hukum Islam, 1147,1837)

Sebenarnya, sebelum ath-Thufi mengajukan konsep tentang akal dan maslahat, di Andalusia sudah tersohor seorang filsuf yang berpendapat bahwa akal harus didahulukan daripada nash syar’i ketika terjadi pertentangan di antara keduanya.

Filsuf besar itu bernama Ibnu Rusyd yang oleh orang-orang Barat begitu dikagumi dan disebut Aveoroes.

Nama lengkapnya adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Rusyd. Dilahirkan pada tahun 520 dan wafat pada tahun 592 H. Ia seorang tokoh yang menguasai banyak ilmu seperti teologi, fikih, filsafat, kedokteran, fisika dan linguistik.

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa hukum tidak terlepas dari dua kondisi; hukum yang disebutkan secara eksplisit (musharrah) dan hukum yang didiamkan (maskutanhu).

Di dalam perkara yang maskutanhu inilah akal memainkan perannya. Ketika nash sesuai dengan penalaran akal, maka tidak ada masalah di dalamnya. Akan tetapi, apabila keduanya bertentangan, yang harus dimenangkan adalah akal.

Sebab, menurutnya, hukum-hukum yang disimpulkan akal itu jelas dan tidak butuh intepretasi lagi. Sebaliknya, yang masih ambivalen dan butuh ditafsirkan itu nash. (Ibnu Rusyd, Fashl Maqal, 19)

Baik ath-Thufi ataupun Ibnu Rusyd, sama-sama menomorsatukan akal saat terjadi pertentangan—secara zahir—antara akal dan nash. Padahal, sejatinya Allah menganugerahkan akal kepada manusia agar mereka berpikir secara maksimal dalam memahami nash dan menerapkannya, bukan malah mempertentangkan antara keduanya.

Namun, bagaimana gambaran relasi yang benar antara akal dan nash, antara ra’yu dan wahyu dalam syariat Islam?

Berikut ini jawaban dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam asy-Syathibi.

Kitab tentang akal al Muwafaqat dan Dar u Taarudh al Aql wa an Naql dakwah.id

Akal Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam asy-Syathibi

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mempunyai karya-karya yang sangat kontributif dalam bidang pemikiran, khususnya tentang akal, logika, dan filsafat.

Di antara karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam bab ini ialah kitab yang berjudul Dar’u Ta’arudh al-Aql wa al-Naql au Bayan Muwafaqah Shahih al-Manqul li Sharih al-Ma’qul (menepis anggapan bahwa akal dan naql bertentangan, atau kepastian sesuainya manqul yang shahih dan akal yang sharih).

Selain itu, beliau juga menulis ar-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin (bantahan, penolakan dan atau antitesis terhadap pola pikir kefilsafatan Yunani).

Saat berbicara apa itu akal, Ibnu Taimiyah menjelaskan beberapa pengertian bahwa definisi akal mencakup ilmu-ilmu eksakta, dan mengamalkan konsekuensi dari ilmu-ilmu tersebut.

Di samping itu, akal juga dapat bermakna naluri atau insting yang ada pada diri manusia, yang dengannya ia dapat mengetahui dan membedakan serta menghendaki perkara yang bermanfaat, bukan yang berbahaya. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad dan al-Harits al-Muhasibi. (Ibn Taimiyah, Majmu’ah al-Fatawa, 5/153)

Artikel Pemikiran: ‘Statement’ Politik Syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Menurut Ibnu Taimiyah, akal dan wahyu itu tidak saling bertentangan satu sama lain. Bahkan beliau menyindir sebagian ulama yang mengira bahwa dalil dalam agama hanya dalil naqli tanpa mengindahkan dalil aqli. (Ibn Taimiyah, Dar’u Ta’arudh, 1/199)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berpadangan bahwa pendapat akal yang lurus akan selalu sesuai dengan wahyu yang benar. Akal bukanlah dasar untuk menentukan kebenaran wahyu, karena wahyu telah pasti benar dengan sendirinya, baik wahyu itu diketahui oleh akal atau tidak. Wahyu tidak memerlukan pembenaran akal. Wahyu menyempurnakan akal. Akal dan wahyu mungkin bisa bertentangan, tetapi pendapat akal yang jelas akan sesuai dengan wahyu yang benar. Wahyu selamanya tidak dapat dipisahkan dari akal. (Ibn Taimiyah, Majmu’atu ar-Rasail wa al-Masail, 3/64-65)

Pemikiran Ibnu Taimiyah di atas mungkin lebih kental dengan kajian teologis. Akan tetapi pandangannya ini bisa dijadikan basis dalam memahami hubungan dan keterkaitan antara ra’yu dan wahyu.

Adapun pembahasan yang lebih spesifik mengkaji kedudukan akal dalam syariat Islam, kaitannya dalam proses inferensi hukum berbasis maslahat, kiranya salah satu rujukan paling otoritatif adalah Imam asy-Syathibi yang terkenal dengan magnum opus berjudul al-Muwafaqat.

Kitab ini sangat fenomenal dan menuai pujian dari para ulama. Di dalamnya terdapat banyak penjabaran tentang maqashid yang sangat teoritis. Karena sebab itulah asy-Syathibi dijuluki bapak maqashid dan disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali menyerukan pentingnya menjadikan maqashid sebagai landasan dalam berijtihad. (Hamad al-Ubaidi, asy-Syathibi wa Maqashid asy-Syari’ah, 181)

Hal ini menunjukkan betapa asy-Syatibi membuka peluang yang lebar bagi akal untuk berperan dalam aktivitas jurisprudensi hukum Islam. Namun demikian, asy-Syathibi tetap memberikan rambu-rambu dan batasan sejauh mana penalaran akal dapat diandalkan.

Berikut ini beberapa percikan-percikan pemikiran asy-Syathibi tentang akal.

Pertama, peran akal di dalam syariat bukanlah ibtida’ (berinovasi), akan tetapi ittiba’ (mengikuti) wahyu. (Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, 3/27,28)

Kedua, menurut asy-Syathibi, akal tidak pernah menyelisihi atau betentangan dengan nash syar’i. Karena sesungguhnya, yang berlawanan dengan nash syar’i adalah hawa nafsu yang mendominasi akal sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qashash ayat 50. (Hamad al-Ubaidi, asy-Syathibi wa Maqashid asy-Syari’ah, 168)

Ketiga, oleh sebab itu, asy-Syathibi menegaskan bahwa apabila seakan-akan terjadi pertentangan antara wahyu dan akal, maka yang didahulukan adalah wahyu. (Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, 1/88)

Keempat, dalam mewujudkan suatu maslahat, manusia harus terbebas dari hawa nafsu karena kemaslahatan ini tidak diukur menurut keinginan nafsu (لا من حيث أهواء النفوس). (Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, 2/469)

Kelima, asy-Syathibi juga menegaskan bahwa maslahat syar’i bukan sekedar maslahat duniawi semata. Akan tetapi mencakup di dalamnya maslahat ukhrawi. Dan maslahat ini bersifat mutlak; melampaui batas-batas waktu dan tempat. (Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, 4/195)

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Imam asy-Syathibi dengan sangat brilian mendudukkan persoalan dengan membongkar akar masalahnya, yaitu perlunya membedakan antara akal dan hawa nafsu.

Sebab, perdebatan para pemikir baik itu ulama atau pun filsuf, selalunya berkutat pada masalah pendefinisian akal. Terkadang, apa yang mereka kira akal, sebenarnya adalah nafsu. (Abdul Aziz bin Marzuq ath-Tharifi, al-Fashl Bayna al-‘Aql wa an-Naql, 13)

Maka dari itu, dari sekian banyak pemaparannya dalam kitab al-Muwafaqat, Imam asy-Syathibi ingin menjelaskan bahwa argumentasi yang terkesan logis namun bertentangan dengan syariat, bukanlah akal, melainkan hawa nafsu.

Artikel Fikih: Hukum Berjamaah Dalam Melaksanakan Shalat Fardhu

Adapun peran akal dalam syariat sangat jelas sekali. Penalarannya dibutuhkan untuk menggali maqashid dan memperkaya metode ijtihad yang mengiringi dalil-dalil syar’i seperti qiyas, istishlah, istihsan dan saddu dzara’i yang semua itu membutuhkan kejelian akal dalam mengkontekstualisasikan nash-nash syar’i.

 

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai Allah Ta’ala, telah mengatur gerak-gerik akal yang mencakup hakikat, fungsi, dan perannya.

Secara umum, akal dapat digunakan untuk membangun logika, bernalar, menganalisis, melahirkan ide-ide inovatif, kreatif, dan variatif. Namun, secara khusus, kaitannya dengan syariat Islam, akal dibutuhkan sebagai instrumen fundamental untuk menggali hukum dari nash-nash syar’i dan mengaktualisasikannya.

Inilah jalan tengah dalam menempatkan kedudukan akal: tidak terlalu ekstrem menafikan peran akal sama sekali, juga tidak kebablasan dalam memfungsikannya.

Singkat kata, hubungan antara wahyu dan akal sangat erat sekali seperti halnya hubungan antara imam dan makmum. Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq. (Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)

 

Daftar Pustaka

Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, (Riyadh: Maktabah al-Ubaikan 1998)
Ibn Taimiyah, Dar’u Ta’arudh Bayna al-‘Aql wa an-Naql, (Jami’ah al-Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyyah, 1991)
Ibn Taimiyah, Majmu’atu ar-Rasail wa al-Masail, (Lajnah at-Turats al-Arabiy, 2008)
Asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah, (Tahqiq Abdullah Darraz, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004).
Hamad al-Ubaidi, asy-Syathibi wa Maqashid asy-Syari’ah, (Beirut: Dar Qutaibah, 1992)
Abdul Aziz bin Marzuq ath-Tharifi, al-Fashl Bayna al-‘Aql wa an-Naql, (Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 2018)

Artikel Pemikiran terbaru:

Topik Terkait

Muhammad Faishal Fadhli

Pengkaji Literatur Islami. Almnus Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor angkatan 14.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *