kaidah toleransi dalam islam dakwah.id

Kaidah Toleransi dalam Islam

Terakhir diperbarui pada · 8 views

Daftar Isi

Artikel yang berjudul “Kaidah Toleransi dalam Islam” ini memberikan tinjauan ekstensif mengenai konsep toleransi yang dalam literatur Islam diwakili oleh kata as-samaahah. Penjelasan dimulai dengan membandingkan definisi toleransi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan pengertian linguistik Arab, khususnya membedakannya dari toleransi biasa.

Bagian utama argumen berfokus pada toleransi sebagai karakter inti ajaran Islam, yang didukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi, yang berlaku dalam konteks hubungan vertikal (dengan Allah) maupun horizontal (antar sesama manusia).

Selanjutnya membahas perbedaan antara perkara-perkara yang disepakati (mujma’ ‘alaiha)—yang harus dipegang teguh tanpa kompromi—dengan perkara-perkara yang bersifat ijtihadiyah (furu’), di mana toleransi dan kelapangan dada antar ulama dan umat sangat ditekankan untuk menjaga persatuan Islam. Akhirnya, teks tersebut menggarisbawahi pentingnya memahami perbedaan pendapat ulama dalam masalah furu’ sebagai kunci untuk menghindari konflik internal dan mendorong kebijaksanaan dalam berfatwa, sejalan dengan praktik teladan para sahabat dan imam madzhab.

Perbandingan Definisi Toleransi Menurut Ulama Islam dan Bahasa Indonesia

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah “toleran” dimaknai: bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. (Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008 M, hlm. 1722) Adapun istilah “intoleran” diberi makna: tidak tenggang rasa; tidak toleran.

Dalam bahasa Arab dan literatur ulama, toleransi diwakili oleh kata as-samaahah, yang berasal dari kata kerja dasar samaha – yasmahu – samaah wa samaahah. Dalam kamus Mukhtar Ash-Shihah dikatakan:

‌‌س م ح: (السَّمَاحُ) وَ (‌السَّمَاحَةُ) الْجُودُ (سَمَحَ) بِهِ يَسْمَحُ بِالْفَتْحِ فِيهِمَا (سَمَاحًا) وَ (سَمَاحَةً) أَيْ جَادَ. وَسَمَحَ لَهُ أَيْ أَعْطَاهُ. وَ (الْمُسَامَحَةُ) الْمُسَاهَلَةُ وَ (تَسَامَحُوا) تَسَاهَلُوا.

As-samaah dan as-samaahah: kedermawanan.

Samaha bihi – yasmahu bihi – samaahan dan samaahatan: Berderma.

Samaha lahu: Memberikan kepadanya.

Musaamahah: Musaahalah (sikap saling memberi kemudahan).

Tasaamahuu: Tasaaahaluu (saling memberi kemudahan) (Muhammad bin Abu Bakr Ar-Razi, Mukhtar Ash-Shihah, Beirut: Maktabah Lubnan, cet. 1, 1989 M, hlm. 274)

Al-‘allamah al-imam Muhammad Thahir bin ‘Asyur At-Tunisi (w. 1393 H) menyebutkan perbedaan antara jaada (dermawan, berderma) dengan samaha. Beliau menulis:

يُقَالُ سَمَحَ فُلاَنٌ: إِذَا جَادَ بِمَالٍ لَهُ بَالٌ.

Dalam bahasa Arab dikatakan Fulan itu samaha: apabila fulan tersebut berderma dengan harta yang sangat berharga

Beliau menyitir bait syair Muqanna’ Al-Kindi yang menjelaskan makna tersebut:

لَيْسَ الْعَطَاءُ مِنَ الْفُضُولِ سَمَاحَةً                        حَتَّى تَجُودَ وَمَا لَدَيْكَ قَلِيلُ

Memberi dari kelebihan harta itu tidak disebut toleran

Sampai engkau berderma walau hartamu sedikit (Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Ushul An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, Kairo: Dar As-Salam, cet.4, 143 7H, hlm. 23)

Dari tinjauan bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa samaahah (toleransi) memiliki kesamaan makna dengan jaada (dermawan, berderma, suka memberi) dalam hal memberikan harta kepada orang lain.

Meskipun demikian, antara kedua kata tersebut terdapat perbedaan. Jaada itu memberi orang lain dengan kelebihan harta yang dimiliki, sedangkan samaha itu memberi orang lain saat dirinya sendiri miskin atau kekurangan harta. Demikian secara tinjauan kebahasaan.

Adapun pengertian samaahah (toleransi) secara istilah, Muhammad Thahir bin ‘Asyur menjelaskan sebagai berikut:

‌السَّمَاحَةُ: سُهُولَةُ الْمُعَامَلَةِ فِيمَا اِعْتَادَ النَّاسُ فِيهِ الْمُشَادَّةَ، فَهِيَ وَسَطٌ بَيْنَ الشِّدَّةِ وَالتَّسَاهُلِ.

Toleransi adalah berinteraksi dengan mudah (longgar) dalam perkara-perkara yang masyarakat biasanya bersikap keras (kaku) di dalamnya. Maka, toleransi adalah sikap pertengahan antara terlalu kaku (keras) dan terlalu mempermudah. (Muhammad Thahir bin ‘Asyur, ibid, hlm. 22-23)

Dalam bukunya yang lain, beliau menyatakan:

السَّمَاحَةُ: سُهُولَةُ الْمُعَامَلَةِ فِي اعْتِدَالٍ، فَهِيَ وَسَطٌ بَيْنَ التَّضْيِيقِ وَالتَّسَاهُلِ. وَهِيَ رَاجِعَةٌ إِلَى مَعْنَى الْاِعْتِدَالِ، وَالْعَدْلِ، وَالتَّوَسُّطِ.

Toleransi adalah berinteraksi dengan mudah (longgar) secara proporsional. Maka, toleransi adalah sikap pertengahan antara terlalu mempersempit (mempersulit) dan terlalu mempermudah. Makna toleransi kembali kepada makna proporsional, adil, dan pertengahan. (Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, Kairo: Dar As-Salam, cet. 6, 1435 H, hlm. 65)

فَالسَّمَاحَةُ: السُّهُولَةُ الْمَحْمُودَةُ فِيمَا يَظُنُّ النَّاسُ التَّشْدِيدَ فِيهِ. وَمَعْنَى كَوْنِهَا مَحْمُودَةً أَنَّهَا لاَ تُفْضِي إِلَى ضَرِّ أَوْ فَسَادٍ.

Toleransi adalah kemudahan yang terpuji dalam perkara-perkara yang dianggap masyarakat harus disikapi secara keras (sulit dan kaku) di dalamnya. Makna terpuji di sini adalah kemudahan tersebut tidak mengakibatkan bahaya atau kerusakan. (Muhammad Thahir bin ‘Asyur, ibid, hlm. 66)

Dr. Izzuddin bin Zughaibah Al-Jazairi dalam disertasi doktoralnya, Al-Maqaashid Al-‘Aammah li Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, mendefinisikan toleransi dengan perngertian yang kurang lebih semakna:

السَّمَاحَةُ هِيَ وَصْفٌ إِذَا مَا أُنِيطَ بِتَصَرُّفٍ يَحْمِلُهُ عَلَى التَّوَسُّطِ وَالْاِعْتِدَالِ, وَيَقِيهِ مِنَ الْاِنْحِرَافِ إِلَى جِهَتَيْ الشِّدَّةِ وَالتَّسَاهُلِ.

Toleransi adalah sifat yang apabila dikaitkan pada sebuah tindakan niscaya dapat mengantarkan tindakan tersebut kepada pertengahan dan proporsional, dan mencegahnya dari menyimpang kepada dua sikap; terlalu mempersulit dan terlalu mempermudah. (Izzuddinbin Zughaibah Al-Jazairi, Al-Maqashid Al-‘Ammah lisy-Syari’ah Al-Islamiyyah, Amman: Dar An-Nafais, cet. 1, 1436 H, hlm. 263)

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian “toleransi” dalam bahasa Arab dan istilah para fuqaha’ Islam lebih luas dari sekedar pengertian “toleransi” dalam bahasa Indonesia.

Toleransi Adalah Karakter Utama Agama Islam

Para ulama menyatakan bahwa di antara maqashid ‘aammah atau maqashid kulliyyah (tujuan-tujuan mulia dan hikmah-hikmah agung yang bisa ditemukan dalam semua atau sebagian besar ajaran Islam) dari syariat Islam adalah:

  • Islam membawa kemudahan dan keringanan
  • Islam tidak membiarkan kesempitan dan kesusahan
  • Islam itu toleran
  • Islam bertujuan mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat (Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, hlm. 55; Mas’ud Shabri, Bidayat Al-Qashid ila Ilmi Al-Maqashid, Kuwait: Dar Azh-Zhahiriyyah, cet. 1, 1440 H, hlm. 60; Izzuddin bin Zughaibah Al-Jazairi, Al-Maqashid Al-‘Ammah lisy-Syari’ah Al-Islamiyyah, hlm. 259-294. Nu’man Jughaim, Thuruq Al-Kasyfi ‘an Maqashid Asy-Syari’, Amman: Dar An-Nafais, cet. 1, 14 22H, hlm. 26)

Unsur kemudahan dan toleransi dalam ajaran Islam bersifat menyeluruh, dalam aspek hubungan dengan Allah Ta’ala maupun hubungan dengan sesama hamba. Dalam aspek akidah, ibadah, mu’amalah, maupun akhlak. Dalam wujud keyakinan, ucapan, maupun perbuatan. Dalam hal yang berkaitan dengan kebutuhan akal pikiran, hati (ruhani), maupun jasmani.

Al-‘allamah Muhammad Thahir bin ‘Asyur menulis:

‌السَّمَاحَةُ أَوَّلُ أَوْصَافِ الشَّرِيعَةِ وَأَكْبَرُ مَقَاصِدِهَا

Toleransi merupakan karakteristik pertama syariat Islam dan tujuan-tujuan agungnya yang paling besar. (Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, hlm. 65)

وَاسْتِقْرَاءُ الشَّرِيعَةِ دَلَّ عَلَى أَنَّ السَّمَاحَةَ وَالْيُسْرَ مِنْ مَقَاصِدِ الدِّينِ.

Pembacaan (pengkajian) secara menyeluruh dan mendalam terhadap syariat Islam menunjukkan bahwa toleransi dan kemudahan merupakan salah satu dari tujuan agung agama Islam. (Muhammad Thahir bin ‘Asyur, ibid, hlm. 67)

Ayat dan Hadits Toleransi dalam Konteks Hubungan Vertikal Kepada Allah

Banyak sekali nash-nash syariat yang menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam dibangun di atas landasan toleransi dan kemudahan. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. (QS. Al-Baqarah [2]: 185)

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ

Dan Allah sekali-kali tidak menghendaki untuk menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Maidah [5]: 6)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ

Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kalian orang-orang muslim dari dahulu. (QS. Al-Hajj [22]: 78)

رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ

Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. (QS. Al-Baqarah [2]; 286)

Di antara bukti lainnya adalah hadits-hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا وَأَبَا مُوسَى إِلَى الْيَمَنِ قَالَ يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا

Dari Abu Burdah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa Al-Asy’ari untuk berdakwah di negeri Yaman. Beliau berpesan kepada keduanya, “Hendaklah kalian berdua mempermudah dan janganlah kalian berdua mempersulit! Hendaklah kalian berdua memberi kabar gembira dan janganlah kalian berdua membuat masyarakat lari menjauhi!” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya agama Islam itu mudah, dan tiada seorang pun yang memperberat dirinya dalam melaksanakan ajaran Islam melainkan ia akan kewalahan sendiri.” (HR. Al-Bukhari)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قِيلَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, “Agama seperti apakah yang paling dicintai Allah Ta’ala?” Maka beliau menjawab, “Agama yang lurus (dalam masalah akidah) dan toleran (dalam masalah ibadah dan mu’amalah).” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, Ahmad, dan Ibnu Abi Syaibah)

Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa seorang sahabat menemukan sebuah gua yang memiliki mata air yang sangat jernih dan tanah di sekitarnya subur. Maka terbetiklah keinginannya untuk menetap di gua dan menghabiskan usianya untuk beribadah ritual semata kepada Allah Ta’ala. Sebelum melaksanakan niat tersebut, ia berkonsultasi dan meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau bersabda kepada sahabat tersebut,

إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُودِيَّةِ وَلَا بِالنَّصْرَانِيَّةِ، وَلَكِنِّي بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ

Sesungguhnya aku tidak diutus dengan membawa ajaran Yahudi maupun ajaran nasrani. Namun, aku diutus dengan membawa ajaran yang hanif (lurus akidahnya, yaitu Islam) dan toleran (ibadah dan mu’amalahnya).” (HR. Ahmad, Al-Khathib Al-Baghdadi, dan Ath-Thabarani)

Diriwayatkan bahwa Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anhu menghabiskan waktunya untuk melakukan ibadah ritual, senantiasa berpuasa sunah di siang hari, senantiasa shalat malam tanpa tidur, dan tidak mau menggauli istrinya. Ketika berita itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau segera menasehatinya:

إِنِّي إِنَّمَا بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ، وَلَمْ أُبْعَثْ بِالرَّهْبَانِيَّةِ الْبِدْعَةِ، أَلَا وَإِنَّ أَقْوَامًا ابْتَدَعُوا الرَّهْبَانِيَّةَ فَكُتِبَتْ عَلَيْهِمْ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا أَلَا فَكُلُوا اللَّحْمَ وَائْتُوا النِّسَاءَ وَصُومُوا وَأَفْطِرُوا وَصَلُّوا وَنَامُوا، فَإِنِّي بِذَلِكَ أُمِرْتُ

Sesungguhnya aku diutus dengan ajaran yang lurus lagi toleran, dan aku tidak diutus dengan ajaran kependetaan yang bid’ah. Ketahuilah, sesungguhnya ada beberapa kaum yang mengada-adakan gaya hidup kependetaan, sehingga akhirnya kependetaan diwajibkan atas diri mereka. Namun, mereka tidak melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Ketahuilah, hendaklah kalian memakan daging, menggauli istri, melakukan shaum dan berbuka, melakukan shalat malam dan tidur malam. Sebab, dengan ajaran itulah aku diperintahkan.” (HR. Ath-Thabarani)

Dalam riwayat lain beliau bersabda,

خُذْ مِنَ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُ فَإِنِّي إِنَّمَا بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ فَلَا تُثْقِلْ عَلَيْكَ عِبَادَةَ رَبِّكَ لَا تَدْرِي مَا طُولُ عُمُرِكَ ؟

Lakukanlah amal kebajikan sesuai kesanggupan jasmani kalian, karena sesungguhnya aku diutus dengan ajaran yang lurus lagi toleran. Maka janganlah engkau memperberat dirimu sendiri dalam ibadah ritualmu kepada Rabbmu. Sebab, engkau tidak tahu berapa panjang umurmu kelak?” (HR. Ath-Thabarani)

Dalam hadits-hadits di atas, toleransi dalam Islam berkaitan dengan hubungan vertikal seorang hamba dengan Rabbnya.

Ayat dan Hadits Toleransi dalam Konteks Hubungan Horizontal Sesama Manusia

Di samping itu terdapat nash-nash syariat yang menjelaskan toleransi dalam konteks hubungan horizontal seorang hamba dengan sesama hamba lainnya. Di antara contohnya adalah:

عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:أُتِيَ اللهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللهُ مَالًا، فَقَالَ لَهُ: مَاذَا عَمِلْتَ فِي الدُّنْيَا؟ قَالَ: وَلَا يَكْتُمُونَ اللهَ حَدِيثًا، قَالَ: يَا رَبِّ آتَيْتَنِي مَالَكَ، فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ، وَكَانَ مِنْ خُلُقِي الْجَوَازُ، فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ، وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ، فَقَالَ اللهُ: أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ، تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِي.

Dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seorang hamba yang dikaruniai kekayaan dihadapkan ke hadapan Allah di akhirat, lalu Allah bertanya kepadanya, “Apa yang engkau telah lakukan semasa hidup di dunia?” Para hamba tentu saja tidak mampu menyembunyikan suatu pembicaraan pun dari Allah Ta’ala.

Hamba tersebut menjawab, “Wahai Rabbku, Engkau telah mengaruniakan harta-Mu kepadaku. Aku biasa berjual-beli (memberikan pinjaman) kepada masyarakat. Salah satu akhlakku adalah mudah memaafkan. Aku biasa memberikan kemudahan kepada orang yang ekonominya longgar (orang kaya), dan aku biasa memberikan tambahan tempo pembayaran kepada orang yang kesusahan ekonominya.”

Maka Allah berfirman kepada hamba tersebut, “Aku lebih berhak melakukan hal itu daripada dirimu. Wahai para malaikat-Ku, maafkanlah dosa-dosa hamba-Ku ini.” (HR. Muslim)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya kepada orang yang bersikap longgar saat menjual, saat membeli, dan saat menagih piutangnya.” (HR. Al-Bukhari)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ»

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah seorang suami membenci istrinya. Jika ia tidak menyukai salah satu akhlak istrinya, niscaya ia bisa mendapati akhlak-akhlak lainnya yang menyenangkan dalam diri istrinya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَفْضَلَ الصَّدَقَةِ الصَّدَقَةُ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْكَاشِحِ

Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya sedekah yang paling utama adalah bersedekah kepada kerabat yang memutus tali-kekerabatan lagi membencimu.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani)

Nash-nash syariat juga mengajarkan sikap toleran kepada orang-orang yang berada di luar agama Islam. Bukan hanya sekedar bersikap toleran. Lebih dari itu, berbuat baik dan bersikap adil kepada mereka. Sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa contoh nash berikut ini:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan jika ayah-ibumu memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaatii keduanya! Namun, tetap pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (QS. Luqman [31]: 15)

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena faktor agama, dan tidak pula mengusir kalian dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)

عَنْ مُجَاهِدٍ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ فِي أَهْلِهِ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: أَهْدَيْتُمْ لِجَارِنَا اليَهُودِيِّ؟ أَهْدَيْتُمْ لِجَارِنَا اليَهُودِيِّ؟ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ.

Dari Mujahid bin Jabr bahwasanya seekor domba disembelih dalam keluarga Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhu. Ketika Abdullah bin Amru datang kepada istrinya, ia segera bertanya, “Apakah engkau telah menghadiahkan sebagian dagingnya kepada tetangga kita si orang Yahudi? Apakah engkau telah menghadiahkan sebagian dagingnya kepada tetangga kita si orang Yahudi? Sebab, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai aku menyangka Jibril akan menjadikan tetangga sebagai ahli warisku.” (HR. At-Tirmidzi)

Dari Sahl bin Hunaif dan Qais bin Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhuma, keduanya berkata:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّتْ بِهِ جِنَازَةٌ فَقَامَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهَا جِنَازَةُ يَهُودِيٍّ فَقَالَ أَلَيْسَتْ نَفْسًا

Sebuah jenazah dibawa melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau pun berdiri untuk menghormati jenazah tersebut. Maka diberitahukan kepada beliau bahwa itu adalah jenazah seorang Yahudi. Maka beliau bersabda, “Bukankah ia juga seorang manusia yang layak dihormati?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ

Dari Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anha bercerita, “Ibu kandungku yang seorang musyrikah datang (dari kota Mekkah) mengunjungiku (di Madinah) pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (yaitu pada masa perjanjian Hudaibiyah). Maka aku pun mendatangi beliau untuk bertanya, “Sesungguhnya ibuku mendatangiku karena ingin bantuan finansial dari diriku. Apakah aku boleh menyambung tali kekerabatanku dengan ibuku?”

Maka beliau menjawab, “Ya, sambunglah tali kekerabatanmu dengan ibumu!” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Dari Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahid (orang kafir yang memiliki perjanjian damai dengan kaum muslimin), niscaya ia telah mencederai jaminan perlindungan Allah. Sehingga, ia tidak akan mencium bau surga. Padahal bau surga dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam riwayat yang lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلاَ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهِدًا لَهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ، فَقَدْ أَخْفَرَ بِذِمَّةِ اللهِ، فَلاَ يُرَحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ خَرِيفًا.

Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahid, yang memiliki jaminan perlindungan keamanan dari Allah dan rasul-Nya, niscaya ia telah mencederai jaminan perlindungan Allah. Sehingga, ia tidak akan mencium bau surga. Padahal bau surga dapat tercium dari jarak perjalanan tujuh puluh tahun.” (HR. At-Tirmidzi)

Dari penjelasan di atas nampak jelas bahwa toleransi adalah intisari ajaran Islam. Toleransi telah diatur dalam Al-Qur’an dan As-sunnah dengan sangat detail. Sehingga, umat Islam tidak memerlukan konsep toleransi dari luar syariat Islam.

Memegang Teguh Perkara-Perkara yang Telah Tercapai Ijma’ Padanya

Ajaran agama Islam secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: perkara yang telah disepakati oleh para ulama mujtahidin dan perkara yang masih diperselisihkan oleh para ulama mujtahidin.

Perkara-perkara yang telah tercapai ijma’ ulama terhadapnya (mujma’ ‘alaiha) biasa juga disebut dengan istilah ushul, qath’iyyat, atau tsawabit. Perkara-perkara yang mujma’ ‘alaiha itu terdapat dalam semua unsur bidang ajaran Islam; akidah, ibadah, mu’amalah, dan akhlak.

Contoh-contoh perkara mujma’ ‘alaiha adalah sebagai berikut:

Contoh perkara mujma’ ‘alaiha dalam bidang Akidah:

  1. Allah itu Esa
  2. Muhammad bin Abdullah adalah hamba Allah dan rasul-Nya
  3. Muhammad bin Abdullah adalah penutup seluruh nabi dan rasul
  4. Al-Qur’an adalah kitab suci Allah yang murni dan terpelihara
  5. Alam kubur itu ada
  6. Surga dan neraka itu ada
  7. Malaikat itu ada

Contoh perkara mujma’ ‘alaiha dalam bidang Ibadah:

  1. Shalat lima waktu sehari semalam itu fardhu ‘ain
  2. Shaum Ramadhan itu fardhu ‘ain
  3. Shalat harus didahului oleh thaharah

Contoh perkara mujma’ ‘alaiha dalam bidang Muamalah:

  1. Jual-beli itu mubah
  2. Riba itu haram
  3. Hutang-piutang itu boleh
  4. Wajib melunasi hutang

Contoh perkara mujma’ ‘alaiha dalam bidang Akhlak:

  1. Wajib berbakti kepada kedua orang tua
  2. Wajib menyambung tali kekerabatan
  3. Haram berdusta
  4. Haram berzina, berjudi, mengonsumsi khamr/narkoba, korupsi

Dalam perkara-perkara yang bersifat mujma’ ‘alaiha, umat Islam wajib memegang teguhnya dan meyakininya sebagai kebenaran. Hal itu sesuai dengan arahan dari nash-nash syariat. Di antara contohnya adalah arahan firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, niscaya Kami biarkan ia bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisâ’ [4]: 115)

Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (w. 204 H) menjadikan ayat tersebut sebagai dalil kehujjahan ijma’. Beliau menjelaskan ayat tersebut dengan mengatakan,

لَا يُصْلِيهِ جَهَنَّمَ عَلَى خِلَافِ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ، إلَّا وَهُوَ فَرْضٌ.

Tidaklah Allah memasukkan dirinya ke dalam neraka Jahanam, karena ia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, melainkan karena mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah sebuah kewajiban.” (Ahmad bin Husain Al-Baihaqi, Ahkâm Al-Qur’ân lisy-Syâfi’î, Kairo: Maktabah Al-Khanji, cet. 2, 1414 H, Juz I hlm. 39-40)

Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razi (w. 604 H) dalam tafsirnya, Mafâtîh Al-Ghaib, memberikan penjelasan yang sangat bagus tentang makna surat An-Nisa’ ayat 114 tersebut.

Di dalam ayat tersebut, Allah mengaitkan ancaman siksa neraka Jahanam dengan dua perkara:

[1] sikap menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah jelas kepadanya petunjuk dan

[2] sikap mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman. Menyelisihi Raslullah shallallahu ‘alaihi wasallam semata sebenarnya sudah cukup untuk mendatangkan ancaman siksa neraka Jahanam. Sehingga, hukum mengimani dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah wajib.

Meskipun demikian, dalam ayat tersebut Allah masih menyebutkan perkara kedua, yaitu mengikuti jalan selain kaum beriman. Allah menggabungkan antara sikap menyelisihi Rasul dengan sikap mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman.

Dipahami dari hal itu bahwa hukum mengikuti jalan orang-orang yang beriman adalah wajib, bukan sekedar sunah atau mubah. Sehingga mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman adalah haram.

Seandainya mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman sekedar mubah, tidak haram, niscaya Allah tidak akan menggabungkan antara sikap menyelisihi Rasul dengan sikap mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman.

Sebab, hal itu berarti menggabungkan perkara haram dengan perkara mubah dalam hal ancaman terkena siksa neraka Jahannam. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan Al-Qur’an suci dari kesia-siaan seperti itu.

Dengan demikian, hal itu berarti Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menggabungkan antara dua perkara yang sama-sama dapat mengantarkan kepada siksa neraka Jahannam (yaitu [1] menyelisihi Rasul dan [2] mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman).

Penggabungan kedua perkara itu menunjukkan bahwa masing-masing dari keduanya berstatus hukum haram, dan masing-masing dari keduanya dapat mengakibatkan siksaan neraka Jahannam. (Muhammad bin Umar Ar-Razi, Tafsîr Mafâtîh Al-Ghaib, Beirut: Darul Fikr, cet. 1, 1401 H, Juz XI hlm. 43-44)

Imam Fakhrul Islam Al-Bazdawi Ali bin Muhammad Al-Hanafi (w. 482 H) menjelaskan aspek kehujahan ijma’ dalam ayat tersebut dengan mengatakan:

فَأَوْجَبَ هَذَا أَنْ يَكُونَ سَبِيلُ الْمُؤْمِنِينَ حَقًّا بِيَقِينٍ

Hal ini berkonskuensi jalan kaum beriman (yaitu ijma’) adalah kebenaran secara yakin.” (Alibin Muhammad Al-Bazdawi, Ushul Al-Bazdawi: Kanzu Al-Wushul ilaMa’rifatiAl-Ushul, Beirut: Dar Al-Basyair Al-Islamiyyah, cet. 2, 14 37 H, hlm. 545)

Imam ‘Alauddin Al-Bukhari Abdul Aziz bin Ahmad Al-Hanafi (w. 730 H) menjelaskan kehujahan ijma’ dalam ayat tersebut dengan mengatakan:

أَنَّهُ تَعَالَى تَوَعَّدَ عَلَى مُتَابَعَةِ غَيْرِ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ كَمَا تَوَعَّدَ عَلَى مُخَالَفَةِ الرَّسُولِ وَالسَّبِيلُ مَا يَخْتَارُ الْإِنْسَانُ لِنَفْسِهِ قَوْلًا وَعَمَلًا وَلَوْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مُحَرَّمًا لَمَّا تَوَعَّدَ عَلَيْهِ وَلَمَا حَسُنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مُشَاقِّ الرَّسُولِ فِي الْوَعِيدِ كَمَا لَا يَحْسُنُ الْجَمْعُ بَيْنَ الْكُفْرِ وَأَكْلِ الْخُبْزِ الْمُبَاحِ فِي الْوَعِيدِ، وَإِذَا حَرُمَ اتِّبَاعُ غَيْرِ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ وَجَبَ اتِّبَاعُ سَبِيلِهِمْ فَيَكُونُ الْإِجْمَاعُ حُجَّةً؛ لِأَنَّهُ سَبِيلُهُمْ وَعَلَى مَا ذُكِرَ فِي هَذَا الْكِتَابِ أَنَّهُ تَعَالَى جَعَلَ مُتَابَعَةَ غَيْرِ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ بِمَنْزِلَةِ مُشَاقَّةِ الرَّسُولِ فِي اسْتِيجَابِ النَّارِ وَسَوَّى بَيْنَهُمَا فَكَانَ تَرْكُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَاجِبًا قَطْعًا.

Allah Ta’ala mengancam tindakan mengikuti selain jalan kaum beriman sebagaimana Allah mengancam tindakan menyelisihi Rasul. “Jalan” adalah apa yang dipilih oleh manusia untuk dirinya sendiri, baik berupa ucapan maupun perbuatan.

Andaikata mengikuti selain jalan kaum beriman itu tidak diharamkan, pastilah Allah tidak akan mengancam tindakan tersebut, dan pastilah tidak bagus menyatukan ancaman antara tindakan tersebut dengan tindakan menentang (menyelisihi Rasul), sebagaimana tidak bagus menyatukan ancaman untuk kekufuran dan memakan roti yang mubah.

Maka, apabila mengikuti selain jalan kaum beriman itu haram, niscaya wajib untuk mengkuti jalan kaum beriman, sehingga ijma’ (yaitu jalan kaum beriman) itu adalah hujjah.

Sebab, ijma’ adalah jalan mereka (kaum beriman) dan sekaligus berdasarkan ayat Al-Qur’an ini Allah Ta’ala menjadikan tindakan mengikuti selain jalan kaum beriman sama kedudukannya dengan tindakan menentang Rasul dalam hal sama-sama menyebabkan masuk neraka.

Allah menyamakan kedudukan kedua perbuatan tersebut, sehingga meninggalkan masing-masing dari kedua tindakan tersebut adalah wajib secara qath’i. (AbdulAziz bin Ahmad Al-Bukharii, Kasyfu Al-Asrâr ‘an Ushul Fakhri Al-Islam Al-Bazdawi, Beirut; Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, cet. 1., 1418 H, Juz III hlm. 374)

Dalam perkara-perkara yang bersifat mujma’ ‘alaiha, umat Islam tidak boleh kendor, lemas, dan “mengalah”.

Contoh memegang teguh ijma’ dalam perkara akidah:

  • Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Oleh karena itu, umat Islam meyakini semua agama dan kepercayaan di luar Islam adalah salah dan keliru.
  • Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penutup seluruh nabi dan rasul. Oleh karena itu, umat Islam meyakini semua orang yang mengaku sebagai nabi atau rasul setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang sesat dan kafir. Demikian pula, orang yang membenarkan klaim kenabian atau kerasulan sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam divonis sesat. Maka, umat Islam menolak agama Ahmadiyah-Qadiyaniyah, Lia Eden, dan lain sebagainya.
  • Al-Qur’an adalah kitab Allah yang murni dan terpelihara dari segala bentuk penambahan, pengurangan, dan penyelewengan. Oleh karena itu, umat Islam meyakini Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariah adalah ajaran sesat dan kufur karena—salah satu alasannya—mereka meyakini bahwa Al-Qur’an di tangan umat Islam telah mengalami penambahan, pengurangan, dan penyelewengan. Menurut keyakinan mereka, kitab suci yang murni dan terpelihara adalah Mushaf Fathimah yang dibawa oleh imam ke-12 mereka.

Contoh memegang teguh ijma’ dalam bidang ibadah:

Shalat lima waktu dalam sehari semalam adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim dan muslimah yang telah mukallaf.

Oleh karena itu, umat Islam tidak menerima pendapat sebagian kelompok Khawarij yang menyatakan shalat sehari dan semalam hanya dua waktu saja. Umat Islam meyakini bahwa teledor, bermalas-malasan, dan enggan melaksanakan shalat wajib lima waktu sehari-semalam itu adalah dosa besar, yang terancam hukuman berat di dunia dan akhirat.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ذَكَرَ الصَّلَاةَ يَوْمًا فَقَالَ: مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ بُرْهَانٌ وَلَا نُورٌ وَلَا نَجَاةٌ وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَهَامَانَ وَفِرْعَوْنَ وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ.

Dari Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya pada suatu hari beliau membahas tentang shalat, maka beliau bersabda, “Barangsiapa menjaga shalat wajib, niscaya shalat tersebut akan menjadi cahaya, bukti nyata, dan keselamatan baginya pada hari kiamat kelak.

Adapun barangsiapa tidak menjaga shalat wajib, niscaya ia tidak memiliki cahaya, bukti nyata, dan keselamatan pada hari kiamat. Bahkan, ia akan dikumpulkan (di neraka) bersama Qarun, Haman, Fir’aun, dan Ubay bin Khalaf.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu Hibban, dan Ath-Thabarani)

Bentuk Toleransi Dalam Perkara Mujma’ ‘alaiha

Apakah dengan memegang teguh perkara-perkara yang mujma’ ‘alaiha tersebut, umat Islam bisa dituduh intoleran, radikal, fundamentalis, ekstrimis?

Tentu tidak. Sebab, setiap agama, negara, lembaga, atau personal tentu memiliki prinsip-prinsip pokok yang dipegang teguh, “harga mati”, dan tidak boleh ditawar-tawar.

Jika demikian, di mana letak toleransi Islam dalam perkara-perkara yang bersifat mujma’ ‘alaiha tersebut?

Letak toleransi Islam dalam perkara-perkara mujma’ ‘alaiha tersebut adalah Islam tidak memaksakan ajarannya kepada siapa pun. Islam menyampaikan dan menyebar-luaskan ajarannya dengan menempuh mekanisme dakwah, tarbiyah, dialog, amar’ ma’ruf, dan nahi mungkar.

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah Yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl [16]: 125)

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran [3]: 104)

Sebagai contoh, umat Islam memvonis semua agama dan keyakinan di luar Islam sebagai keliru, salah, sesat, dan kufur. Namun, Islam tidak memaksa seorang pun non-muslim untuk masuk Islam. Sebab, hak menganut agama dan keyakinan adalah hak asasi setiap individu, muslim maupun non-muslim. Setiap individu bebas memilih agama dan keyakinan. Sebagai konskuensinya, setiap invididu akan dimintai pertanggung jawaban atas agama dan keyakinannya tersebut kelak di hadapan Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

Sama sekali tidak ada paksaan (untuk menganut Islam) dalam agama Islam. Sebab, jalan yang benar telah jelas terpisah dari jalan yang menyimpang. (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

Al-‘allamah al-imam Muhammad Thahir bin ‘Asyur (w. 1393 H) dalam tafsirnya, At-Tahrir wa At-Tanwir, menjelaskan bahwa makna ayat tersebut adalah kebenaran telah terpisah dengan jelas dari kebatilan, karena dakwah Islam telah disampaikan secara baik, sehingga setiap obyek dakwah bisa menentukan pilihan masing-masing, apakah akan memilih jalan Islam atau jalan non-Islam.

Konskuensinya, tidak boleh ada paksaan untuk memeluk Islam, karena setiap individu berhak menentukan sikapnya apakah akan memilih jalan kebenaran atau jalan kesesatan. Ajaran Islam dijelaskan dan didakwahkan secara tuntas terlebih dahulu. Setelah itu setiap individu bebas menentukan sikapnya apakah akan memilih jalan kebenaran (agama Islam) ataukah jalan kesesatan (non-Islam).

Baca juga: Kumpulan Kitab Tafsir Terpopuler Klasik dan Kontemporer

Ibnu ‘Asyur menulis:

وَقَوْلُهُ: قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ وَاقِعٌ مَوْقِعَ الْعِلَّةِ لِقَوْلِهِ: لَا إِكْراهَ فِي الدِّينِ وَلِذَلِكَ فُصِلَتِ الْجُمْلَةُ… وَضُمِّنَ تَبَيَّنَ مَعْنَى تَمَيَّزَ فَلذَلِك عدي بِمن، وَإِنَّمَا تَبَيَّنَ ذَلِكَ بِدَعْوَةِ الْإِسْلَامِ وَظُهُورِهِ فِي بَلَدٍ مُسْتَقِلٍّ بَعْدَ الْهِجْرَةِ.

Firman Allah “Sebab, jalan yang benar telah jelas terpisah dari jalan yang menyimpang” dalam ayat tersebut merupakan ‘illah (alasan hukum) dari firman Allah “Sama sekali tidak ada paksaan (untuk menganut Islam) dalam agama Islam.” Oleh karena itu kalimat tersebut dipisah dari kalimat sebelumnya.

Dalam kata tabayyana (telah jelas) terkandung makna tamayyaza (telah terpisah), oleh karenanya kata kerja tersebut dijadikan fi’il muta’addi dengan huruf min. Kebenaran menjadi jelas karena adanya dakwah Islam dan dominasinya di sebuah negeri tersendiri setelah peristiwa hijrah ke Madinah. (Muhammad Thahir bin ‘Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, Beirut: Dar Ibni Hazm, cet. 1, 1443 H, Juz II hlm. 25; Muhammad Thahir bin ‘Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, Tunisia: Ad- DarAt-Tunisiyah, cet. 1, 1984 M, Juz III hlm. 28)

Lebih lanjut, imam Ibnu ‘Asyur menjelaskan:

وَتَعْقِيبُ آيَةِ الْكُرْسِيِّ بِهَاتِهِ الْآيَةِ بِمُنَاسَبَةِ أَنَّ مَا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ الْآيَةُ السَّابِقَةُ مِنْ دَلَائِلِ الْوَحْدَانِيَّةِ وَعَظَمَةِ الْخَالِقِ وَتَنْزِيهِهِ عَنْ شَوَائِبِ مَا كَفَرَتْ بِهِ الْأُمَمُ، مِنْ شَأْنِهِ أَنْ يَسُوقَ ذَوِي الْعُقُولِ إِلَى قَبُولِ هَذَا الدِّينِ الْوَاضِحِ الْعَقِيدَةِ، الْمُسْتَقِيمِ الشَّرِيعَةِ، بِاخْتِيَارِهِمْ دُونَ جَبْرٍ وَلَا إِكْرَاهٍ، وَمِنْ شَأْنِهِ أَنْ يَجْعَلَ دَوَامَهُمْ عَلَى الشِّرْكِ بِمَحَلِّ السُّؤَالِ: أَيُتْرَكُونَ عَلَيْهِ أَمْ يُكْرَهُونَ عَلَى الْإِسْلَامِ، فَكَانَتِ الْجُمْلَةُ اسْتِئْنَافًا بَيَانِيًّا.

Ayat Kursi (Al-Baqarah [2]: 255) disusul oleh ayat ‘tidak ada paksaan apa pun dalam agama Islam” (Al-Baqarah [2]: 256) karena Ayat Kursi mengandung bukti-bukti keesaan Allah Al-Khaliq dan keagungan-Nya serta penyucian-Nya dari segala kotoran kesyirikan umat-umat terdahulu. Hal itu akan menggiring orang-orang yang menggunakan akal sehatnya untuk dapat menerima agama yang akidahnya jelas dan syariahnya lurus ini, atas pilihan mereka sendiri, tanpa paksaan apa pun. Hal itu juga akan mengantarkan kepada sebuah pertanyaan penting: apakah orang-orang kafir tersebut akan dibiarkan bertahan di atas kekafiran mereka ataukah mereka akan dipaksa untuk masuk Islam? Maka ayat ini merupakan sebuah kalimat baru sebagai penjelasan atas pertanyaan tersebut. (Ibnu‘Asyur, ibid, Beirut: Dar Ibni Hazm, Juz II hlm. 22; Ibnu ‘Asyur, ibid, Tunis: Ad-Dar At-Tunisiyah, Juz IIIhlm. 25)

Urgensi Memahami Ikhtilaf Ulama

Selain perkara yang telah tercapai ijma’ padanya, dalam agama Islam dikenal perkara-perkara yang masih diperselisihkan oleh para ulama mujtahidin. Perkara-perkara tersebut biasa disebut furu’, mukhtalaf fiiha, ijtihadiyah, atau khilafiyat. Perkara-perkara furu’ terdapat dalam semua ajaran Islam; akidah, ibadah, mu’amalah, dan akhlak.

Contoh perkara-perkara furu’ atau mukhtalaf fiiha atau ijtihadiyah:

Pertama, contoh perkata dalam bidang Akidah:

  1. Apa saja rincian 99 Al-Asma’ Al-Husna itu?
  2. Apakah Nabi melihat Allah pada malam mi’raj?
  3. Isra’ dan mi’raj itu dengan jasad saja, ruh saja, atau jasad dan ruh sekaligus?
  4. Apakah orang yang mati akan disiksa di alam kubur karena ratapan keluarganya yang hidup?
  5. Apa hukum memakai jimat yang bertuliskan ayat Al-Qur’an atau doa ma’tsur dari hadits Nabi?
  6. Apa hukum meminta diruqyah?
  7. Berapa kali tiupan terompet malaikat Israfil?
  8. Apakah mayit yang belum baligh akan ditanyai malaikat Mungkar dan Nakir?
  9. Apa yang ditimbang dengan mizan Allah kelak? Apakah wujud amal, catatan amal, pelaku amal, ataukah semuanya?

Kedua, contoh perkata dalam bidang Ibadah:

  1. Apa hukum mengikuti salah satu madzhab fikih yang empat?
  2. Apa hukum melafalkan niat sebelum melakukan wudhu, tayamum, mandi, shalat, shaum, dst?
  3. Apa hukum mandi sebelum shalat Jum’at?
  4. Apa hukum mengeraskan basmalah dalam surat Al-Fatihah dalam shalat?
  5. Apa hukum shalat berjama’ah di masjid?
  6. Apa hukum shalat witir?
  7. Apa hukum membaca qunut dalam shalat Shubuh dan shalat witir?
  8. Apa hukum menetapkan awal bulan-bulan hijriyah dengan ilmu falak / ilmu hisab semata?

Ketiga, contoh perkata dalam bidang Muamalah

  1. Apa hukum jual beli kredit?
  2. Apa hukum jual beli dengan sistem dropship?
  3. Apakah koruptor bisa dijatuhi hukuman mati?
  4. Siapa yang paling berhak mengasuh anak kecil saat terjadi perceraian suami-istri?
  5. Apakah khulu’ itu jatuh talak ataukah jatuh fasakh?
  6. Apa hukum alat-alat musik?
  7. Apa hukum membuat (mengambil) foto dan video makhluk yang bernyawa?

Keempat, contoh perkata dalam bidang Akhlak

  1. Apa hukum berdiri untuk menghormati ulama/tokoh?
  2. Apakah hukum ridha atas takdir yang buruk?
  3. Apakah hukum bersyukur atas takdir yang buruk?
  4. Mana yang lebih utama; orang kaya yang syukur ataukah orang miskin yang sabar?
  5. Apakah hukum mengikuti satu thariqat tertentu?

Memahami perbedaan pendapat para ulama dalam masalah-masalah ijtihadiyah sangatlah penting. Dengannya kita akan memiliki sikap lapang dada kepada ulama, pribadi, dan kelompok Islam lainnya yang berbeda pendapat dengan kita. Ia adalah kunci untuk tetap terjaganya ukhuwah islamiyah. Ia juga merupakan jembatan untuk tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama sangatlah luas. Mulai dari perbedaan pendapat ulama sahabat, perbedaan pendapat ulama tabi’in, perbedaan pendapat ulama tabi’it tabi’in, lalu perbedaan pendapat para ulama setelah generasi mereka sampai zaman sekarang.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama kalam (akidah). Perbedaan pendapat di kalangan ulama tafsir. Perbedaan pendapat di kalangan ulama hadits. Perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih dan ushul fikih. Perbedaan pendapat di kalangan ulama bahasa Arab dan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya.

Semakin luas dan dalam penguasaan seorang muslim terhadap perbedaan pendapat di kalangan ulama, maka semakin dewasa cara berfikirnya, semakin lapang dada terhadap pendapat ulama lainnya, dan semakin dalam kasih sayangnya kepada sesama kaum muslimin.

Para ustadz/ustadzah, mubaligh/mubalighah, juru dakwah, guru agama, pimpinan pondok pesantren, pimpinan ormas Islam, pimpinan partai Islam, pimpinan jama’ah Islam, dan para penuntut ilmu secara umum; hendaknya mempelajari dan memahami perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Seorang ustadz, mubaligh, juru dakwah, guru agama, pimpinan pondok pesantren, pimpinan ormas Islam dan pimpinan partai Islam yang tidak mempelajari dan memahami perbedaan pendapat di kalangan ulama biasanya cenderung memiliki pendapat, sikap dan kebijakan yang kaku. Mereka bisa saja menganggap pendapatnya yang paling benar, paling tepat dan paling maslahat. Mereka bisa saja menganggap selain pendapatnya adalah bid’ah, sesat, keliru, tidak berdalil dan anggapan negatif lainnya.

Pernyataan Ulama pentingnya Memahami Ikhtilaf

Para ulama tabi’in, tabi’it tabi’in dan generasi setelahnya telah menjelaskan kepada kaum muslimin pentingnya memahami ikhtilaf ulama. Pernyataan mereka tersebut tentunya berdasarkan kepada Al-Qur’an, As-Sunnah dan praktek generasi sahabat. Karena pentingnya masalah ini, kami akan memaparkan sebagian pernyataan mereka tersebut.

[1]- Atha’ bin Abi Rabah (w. 115 H) berkata,

لاَ يَنْبَغِي لأَحَدٍ أَنْ يُفْتِيَ النَّاسَ، حَتَّى يَكُونَ عَالِمًا بِاخْتِلاَفِ النَّاسِ ؛ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ رَدَّ مِنَ الْعِلْمِ مَا هُوَ أَوْثَقُ مِنَ الَّذِي فِي يَدِهِ

Tidak selayaknya seseorang memberi fatwa kepada masyarakat, sampai ia ahli dalam masalah perbedaan pendapat para ulama. Jika tidak demikian, niscaya ia akan menolak ilmu orang lain yang sebenarnya lebih kokoh daripada ilmu yang ia miliki.” (Yusuf bin Abdul Barr Al-Maliki, Jami’ BayaniAl-‘ Ilmi wa Fadhlihi, Damam: Dar IbniAl- Jauzi, cet. 1, 1414 H, Juz II hlm. 816, atsar no. 1524)

[2]- Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (w. 117 H) berkata,

مَنْ لَمْ يَعْرِفِ اْلاِخْتِلاَفَ لَمْ يَشُمَّ رَائِحَةَ الْفِقْهِ بِأَنْفِهِ

 “Barangsiapa tidak mengetahui perbedaan pendapat para ulama, maka hidungnya belum mencium bau fikih.” (Ibnu Abdul Barr, ibid, Juz II hlm. 814, atsar no. 1520)

[3]- Ayyub As-Sikhtiyani bin Abi Tamimah Kaisan Al-Bashri (w. 131 H) berkata,

أَجْسَرُ النَّاسِ عَلَى اْلفُتْيَا أَقَلُّهُمْ عِلْمًا بِاخْتِلاَفِ الْعُلَمَاءِ ، وَأَمْسَكُ النَّاسِ عَنِ اْلفُتْيَا أَعْلَمُهُمْ بِاخْتِلاَفِ اْلعُلَمَاءِ

Orang yang paling berani memberi fatwa adalah orang yang paling sedikit ilmunya tentang perbedaan pendapat para ulama. Adapun orang yang bisa menahan dirinya dari memberi fatwa adalah orang yang paling mengetahui perbedaan pendapat para ulama.” (Ibnu Abdil Barr, ibid, Juz II hlm. 816, atsar no. 1525)

[4]- Sa’id bin Abi Arubah Mihran Al-Bashri (w. 156 H) berkata:

Tentang perbedaan pendapat di kalangan ulama, Sa’id bin Abi Arubah berkata:

مَنْ لَمْ يَسْمَعِ اْلاِخْتِلاَفَ فَلاَ تَعُدُّوهُ عَالِمًا

Barangsiapa tidak mengetahui perbedaan pendapat para ulama, maka janganlah kalian menganggapnya seorang ulama.” (Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 2, 1402 H, JuzVI hlm. 413; Ibnu Abdil Barr, ibid, Juz I Ihlm. 815, atsar no. 1521)

[5]- Imam Malik bin Anas (w. 179 H) berkata:

لاَ تَجُوزُ الْفَتْوَى إِلاَّ لِمَنْ عَلِمَ مَا اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيهِ. قِيلَ لَهُ اِخْتِلاَفُ أَهْلِ الرَّأْيِ؟ قَالَ لاَ اِخْتِلاَفُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسِخُ وَ الْمَنْسُوخُ مِنَ اْلقُرْآنِ وَمِنْ حَدِيثِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَذَا يُفْتِيى

“Tidak boleh memberi fatwa kecuali ulama yang mengetahui perbedaan pendapat di kalangan para ulama.”

Ada murid yang bertanya kepada beliau, “Apakah perbedaan pendapat para ulama ahlu ra’yi?”

Beliau menjawab, “Bukan, melainkan perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Demikian pula ia harus mengetahui nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an. Demikian pula nasikh dan mansukh dalam hadits. Jika ia mengetahui hal itu semua, barulah ia boleh berfatwa.” (Ibnu Abdil Barr, ibid, Juz II hlm. 818, atsar no. 1529)

[6]- Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H) berkata,

أَجْسَرُ النَّاسِ عَلَى اْلفُتْيَا أَقَلُّهُمْ عِلْمًا بِاخْتِلاَفِ اْلعُلَمَاءِ

Orang yang paling berani memberi fatwa adalah orang yang paling sedikit ilmunya tentang perbedaan pendapat para ulama.” (Ibnu Abdil Barr, ibid, Juz II hlm. 817, atsar no. 1527)

[7]- Yahya bin Salam Al-Bashri Al-Maghribi (w. 200 H) berkata,

لاَ يَنْبَغِي لِمَنْ لاَ يَعْرِفُ اْلاِخْتِلاَفَ أَنْ يُفْتِيَ ، وَلاَ يَجُوزُ لِمَنْ لاَ يَعْلَمُ اْلأَقَاوِيلَ أَنْ يَقُولَ: هَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ

“Tidak selayaknya orang yang tidak mengetahui perbedaan pendapat para ulama untuk memberi fatwa. Demikian pula, orang yang tidak mengetahui pendapat-pendapat ulama tidak boleh mengatakan ‘pendapat ini lebih aku sukai’.” (Ibnu Abdil Barr, ibid, Juz II hlm. 819, atsar no. 1534)

[8]- Qabisah bin Uqbah Al-Kufi (w. 215 H) berkata,

لاَ يُفْلِحُ مَنْ لاَ يَعْرِفُ اِخْتِلاَفَ النَّاسِ

Tidak akan beruntung orang yang tidak memahami perbedaan pendapat para ulama.” (Ibnu Abdil Barr, ibid, Juz II hlm. 820, atsar no. 1537)

[9]- Hisyam bin Ubaidullah Ar-Razi (w. 221 H) berkata,

مَنْ لَمْ يَعْرِفْ اِخْتِلاَفَ اْلقُرَّاءِ فَلَيْسَ بِقَارِئٍ ، وَمَنْ لَمْ يَعْرِفْ اِخْتِلاَفَ اْلفُقَهَاءِ فَلَيْسَ بِفَقِيهٍ

Barangsiapa tidak mengetahui perbedaan pendapat para ulama qira’ah, maka ia bukan seorang ulama qira’at. Barangsiapa belum mengetahui perbedaan pendapat para ulama fikih, maka ia bukanlah ahli fikih.” (Ibnu Abdil Barr, ibid, Juz II hlm. 816, atsar no. 1523)

[10]- Al-Qadhi Sahnun bin Sa’id Al-Maliki (w. 240 H) berkata:

أَجْرَأُ النَّاسِ عَلَى اْلفُتْيَا أَقَلُّهُمْ عِلْمًا، يَكُونُ عِنْدَ الرَّجُلِ اْلبَابُ اْلوَاحِدُ مِنَ اْلعِلْمِ يَظُنُّ أَنَّ اْلحَقَّ كُلَّهُ فِيهِ

Orang yang paling berani memberi fatwa adalah orang yang paling sedikit ilmunya. Seseorang mengetahui satu bab ilmu, lalu ia menyangka seluruh kebenaran sudah terkandung dalam bab pendapatnya tersebut.”

Sahnun bin Sa’id juga berkata,

إِنيِّ لَأَحْفَظُ مَسَائِلَ ، مِنْهَا مَا فِيهِ ثَمَانِيَّةُ أَقْوَالٍ مِنْ ثَمَانِيَّةِ أَئِمَّةٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ فَكَيْفَ يَنْبَغِي أَنْ أُعَجِّلَ بِالْجَوَابِ حَتَّى أَتَخَيَّرَ فَلِمَ أُلاَمُ عَلَى حَبْسِ الْجَوَابِ

Saya sungguh mengetahui berbagai masalah agama. Di antaranya ada masalah yang padanya terdapat delapan pendapat para ulama besar. Lantas bagaimana saya harus tergesa-gesa menjawab masalah tersebut, sebelum saya tuntas mengkajinya dan memilih pendapat yang paling kuat? Kenapa saya dicela jika saya menahan diri dari memberi jawaban?” (Ibnu Abdil Barr, ibid, Juz II hlm. 1125, atsar no. 2211)

Toleransi dalam Perkara-perkara yang Bersifat Ijtihadiyah

Dalam perkara-perkara furu’, mukhtalaf fiiha, atau ijtihadiyah; umat Islam dituntut untuk bersikap bijaksana. Langkah-langkah yang harus diambil adalah sebagai berikut:

  1. Memilih salah satu pendapat yang diyakini lebih kuat dalilnya, lebih benar penyimpulan hukumnya, dan lebih maslahat bagi umat Islam. Pilihan berdasarkan ilmu, bukan berdasar hawa nafsu.
  2. Memegang teguh pendapat yang diyakininya lebih dekat kepada kebenaran atau rajih (lebih kuat). Ulama mendapatkan pendapat tersebut melalui ijtihad. Orang awam dan pelajar mendapatkannya melalui taklid, belajar, bertanya atau meminta fatwa kepada ulama.
  3. Menghargai dan menghormati orang lain yang mengikuti pendapat yang berbeda.
  4. Tidak memaksakan pendapatnya kepada orang/organisasi/madrasah lain yang memegangi pendapat yang berbeda.
  5. Tidak melemparkan vonis-vonis buruk kepada orang/organisasi/madrasah lain yang memegangi pendapat yang berbeda. Misalnya vonis “sesat”, “fasik”, “ahli bid’ah”, “gagal paham”, dan lain sebagainya.
  6. Tidak menyampaikan masalah-masalah furu’ khilafiyat dalam pengajian-pengajian umum (tabligh akbar dan sejenisnya), yang hadirinnya beragam dari aspek usia, tingkat pendidikan, tingkat pemahaman, dan lain sebagainya. Sebab, hal itu akan rentan menimbulkan kekacauan dan keributan serta salah paham.
  7. Pembahasan dan penyampaian masalah-masalah furu’ (khilfaiyah) hendaknya dilakukan terbatas dalam forum-forum ilmiah di kalangan ulama dan santri, dengan menjunjung tinggi asas kajian ilmiah, diskusi ilmiah, dan musyawarah dengan kepala dingin.
  8. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan keumatan, pendapat furu’ yang diyakini lebih kuat terkadang boleh, lebih utama, atau bahkan wajib ditinggalkan, demi tercapainya maslahat persatuan dan kesatuan umat.

Islam berada di atas semua kelompok dan madrasah. Maslahat Islam berada di atas maslahat semua individu, kelompok, organisasi, dan madrasah. Di antara maslahat terbesar Islam adalah terjaganya kerukunan dan persatuan umat Islam. Di antara mafsadat terbesar Islam adalah terjadinya perpecahan dan konflik intern umat Islam.

Untuk itu, umat Islam wajib mengupayakan hal-hal yang dapat mewujudkan persatuan dan kerukunan umat; dan menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan keretakan, perpecahan, dan konflik intern umat. Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا… (103)

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. (QS. Ali Imran [3]: 103)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ»

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setan telah berputus-asa dari disembah oleh orang-orang yang shalat (yaitu umat Islam) di jazirah Arab. Tetapi, setan masih memiliki harapan dalam membuat perpecahan dan perselisihan di antara mereka.” (HR. Muslim, Ahmad, dan At-Tirmidzi)

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ»، قَالُوا: بَلَى، قَالَ: «صَلَاحُ ذَاتِ البَيْنِ، فَإِنَّ فَسَادَ ذَاتِ البَيْنِ هِيَ الحَالِقَةُ»

Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maukah aku beritahukan kepada kalian amalan yang lebih utama daripada kedudukan shaum, shalat, dan zakat?”

Para sahabat menjawab, “Tentu.”

Maka beliau bersabda, “Baiknya hubungan antara sesama, karena rusaknya hubungan antara sesama itu bagaikan pisau cukur (yang mencukur habis pahala amal shalih).” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

عَنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمُ: الْبَغْضَاءُ وَالْحَسَدُ، وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ، لَيْسَ حَالِقَةَ الشَّعْرِ، وَلَكِنْ حَالِقَةَ الدِّينِ،

Dari Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Penyakit umat-umat terdahulu telah menular kepada kalian, yaitu penyakit kebencian dan iri-dengki. Kebencian yang sangat adalah bagaikan pisau cukur, bukan pisau yang mencukur rambut, melainkan pisau yang mencukur habis agama (pahala amal shalih).” (HR. Al-Bazzar)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan teladan dalam perkara ijtihadiyah, bagaimana beliau meninggalkan pendapat yang lebih kuat dan beralih kepada pendapat yang lebih lemah, demi menjaga maslahat umat. Bangunan Ka’bah pada zaman Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas salam cukup luas, memiliki dua pintu yang menempel ke tanah, dan Hijr Ismail berada dalam ruangan dalam Ka’bah.

Ketika Ka’bah runtuh oleh banjir pada zaman jahiliyah, kaum Quraisy merenovasinya. Namun, karena dana halal mereka kurang, mereka hanya membangun Ka’bah dengan ukuran yang lebih kecil, pintu Ka’bah hanya satu dan tidak menempel tanah, dan Hijir Ismail berada di luar bangunan Ka’bah.

Setelah pembebasan Makkah pada bulan Ramadhan 8 Hijriyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bisa saja merobohkan Ka’bah dan merenovasi ulang mengikuti bentuk aslinya pada zaman Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas salam. Namun, beliau tidak melakukan hal itu. Beliau mempertahankan bangunan Ka’bah ala zaman jahiliyah, demi menghindari keributan dan penolakan dari kaum Quraisy yang baru saja muallaf.

Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hal itu sebagai berikut,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا: «يَا عَائِشَةُ، لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لَأَمَرْتُ بِالْبَيْتِ، فَهُدِمَ، فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ، وَأَلْزَقْتُهُ بِالأَرْضِ، وَجَعَلْتُ لَهُ بَابَيْنِ، بَابًا شَرْقِيًّا، وَبَابًا غَرْبِيًّا، فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيمَ»

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Aisyah, andaikata bukan karena kaummu (suku Quraisy) baru saja meningalkan kejahiliyahan, tentulah aku akan memerintahkan untuk merobohkan Ka’bah, lalu aku merenovasinya ulang dengan memasukkan ke dalam Ka’bah bagian yang selama ini dikeluarkan dari Ka’bah (yaitu Hijr Ismail), aku akan menempelkan pintu Ka’bah ke tanah, dan aku akan membuat dua pintu Ka’bah, yaitu satu pintu di sebelah timur dan satu pintu di sebelah barat, yang dengannya aku sampai kepada pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, lafal ini adalah lafal Al-Bukhari)

Para ulama madzhab telah memberikan contoh keteladanan yang hebat dalam hal toleransi dalam perkara ijtihadiyah. Masyhur dikisahkan dalam buku-buku sejarah bahwa Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (w. 158 H) dan Harun Ar-Rasyid (w. 193 H) menawarkan kepada imam Malik bin Anas untuk menggantungkan kitab hadits karya beliau Al-Muwatha’ pada dinding Ka’bah, menulis satu naskah salinannya untuk dikirim ke masing-masing propinsi, dan mewajibkan isinya untuk diamalkan oleh seluruh penduduk muslim.

Imam al-hafizh Al-Khathib Al-Baghdadi Asy-Syafi’i (w. 463 H) dan al-hafizh Muhammad bin Yusuf Ash-Shalihi Al-Maqdisi Asy-Syafi’i (w. 942 H) meriwayatkan bahwa imam Malik bin Anas (w. 179 H) dengan rendah hati menolak usulan tersebut. Beliau mengatakan kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid (w. 193 H):

يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ, إِنَّ اخْتِلاَفَ الْعُلَمَاءِ رَحْمَةٌ مِنَ اللهِ تَعَالَى عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ, كُلٌّ يَتْبَعُ مَا صَحَّ عِنْدَهُ, وَكُلٌّ عَلَى هُدَى, وَكُلٌّ يُرِيدُ اللهَ تَعَالَى.

“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya perbedaan pendapat para ulama adalah kasih sayang dari Allah ta’ala untuk umat Islam ini. Setiap ulama mengikut hadits yang shahih menurutnya. Setiap ulama berada di atas petunjuk. Dan, setiap ulama menginginkan ridha Allah ta’ala.” (Muhammadbin Yusuf Ash-Shalihi, ‘Uqud Al-Juman fi Manaqib Al-Imam Al-A’zham Abin Hanifah An-Nu’man, Madinah: Maktabah Al-Iman, cet. 1, 1394 H, hlm. 11)

Al-imam al-qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahshabi Al-Maliki (w. 544 H) meriwayatkan bahwa imam Malik bin Anas menolak tawaran Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (w. 158 H) dengan mengatakan:

يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لاَ تَفْعَلْ! فَإِنَّ النَّاسَ قَدْ سَبَقَتْ لَهُمْ أَقَاوِيلُ وَسَمِعُوا أَحَادِيثَ وَرِوَايَاتٍ, وَأَخَذَ كُلُّ قَوْمٍ بِمَا سَبَقَ إِلَيْهِمْ وَعَمِلُوا بِهِ وَدَانُوا لَهُ مِنِ اخْتِلاَفِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ, وَإِنَّ رَدَّهُمْ عَمَّا اعْتَقَدُوا شَدِيدٌ، فَدَعِ النَّاسَ وَمَا هُمْ عَلَيْهِ وَمَا اخْتَارَ أَهْلُ كُلِّ بَلَدٍ لِأَنْفُسِهِمْ.

Wahai Amirul mukminin, janganlah Anda melakukan hal itu! Sebab, telah sampai berbagai pendapat kepada masyarakat luas, mereka telah mendengar hadits-hadits dan riwayat-riwayat (selain yang saya cantumkan dalam kitab hadits Al-Muwatha’), dan setiap kaum mengambil ilmu yang lebih dahulu sampai kepada mereka, mereka mengamalkannya, dan mereka patuh kepadanya, baik ilmu tersebut berupa perbedaan pendapat generasi sahabat maupun pendapat selain mereka. Sesungguhnya mengembalikan kepada (kepada isi kitab Al-Muwatha’) dari ilmu yang mereka sudah yakini adalah pekerjaan yang berat. Oleh karena itu, biarkanlah masyarakat dengan ilmu mereka dan pilihan pendapat yang dipilih oleh penduduk masing-masing wilayah. (Iyadhbin Musa Al-Yahshabi, Tartib Al-Madarik wa Taqrib Al-Masalik li-Ma’rifatiA’lam Madzhab Malik, Maroko: Wizarah Al-Auqaf wa Asy-Syu-un Al-Islamiyyah, cet. 2, 1403 H, Juz II hlm. 72)

Jika rencana kebijakan para khalifah Abbasiyah untuk mewajibkan isi kitab hadits Al-Muwaththa’ kepada seluruh kaum muslimin saja bukanlah sikap yang bijaksana dan bermaslahat, terlebih mewajibkan satu madzhab fikih saja, misalnya, kepada seluruh umat Islam. Tindakan seperti itu akan menimbulkan kekacauan, kegoncangan, dan konflik horizontal antar ulama dan umat Islam sendiri. Wallahu a’lam bish-shawab (Yasir Abdul Barr/dakwah.id)

Penulis: Yasir Abdul Barr
Editor: Sodiq Fajar

Referensi

Abdul Aziz bin Ahmad Al-Bukhari, Kasyfu Al-Asrâr ‘an Ushul Fakhri Al-Islam Al–Bazdawi, Beirut; Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, cet. 1., 1418 H, Juz III hlm. 374.

Ahmad bin Husain Al-Baihaqi, Ahkâm Al-Qur’ân lisy-Syâfi’î, Kairo: Maktabah Al-Khanji, cet. 2, 1414 H.

Ali bin Muhammad Al-Bazdawi, Ushul Al-Bazdawi: Kanzu Al-Wushul ila Ma’rifati Al-Ushul, Beirut: Dar Al-Basyair Al-Islamiyyah, cet. 2, 1437 H, hlm. 545.

Iyadh bin Musa Al-Yahshabi, Tartib Al-Madarik wa Taqrib Al-Masalik li-Ma’rifati A’lam Madzhab Malik, Maroko: Wizarah Al-Auqaf wa Asy-Syu-un Al-Islamiyyah, cet. 2, 1403 H.

Izzuddin bin Zughaibah Al-Jazairi, Al-Maqashid Al-‘Ammah lisy-Syari’ah Al-Islamiyyah, Amman: Dar An-Nafais, cet. 1, 1436 H.

Mas’ud Shabri, Bidayat Al-Qashid ila Ilmi Al-Maqashid, Kuwait: Dar Azh-Zhahiriyyah, cet. 1, 1440 H.

Muhammad bin Abu Bakr Ar-Razi, Mukhtar Ash-Shihah, Beirut: Maktabah Lubnan, cet. 1, 1989 M.

Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 2, 1402 H.

Muhammad bin Umar Ar-Razi, Tafsîr Mafâtîh Al-Ghaib, Beirut: Darul Fikr, cet. 1, 1401 H.

Muhammad bin Yusuf Ash-Shalihi, ‘Uqud Al-Juman fi Manaqib Al-Imam Al-A’zham Abin Hanifah An-Nu’man, Madinah: Maktabah Al-Iman, cet. 1, 1394 H.

Muhammad Thahir bin ‘Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, Beirut: Dar Ibni Hazm, cet. 1, 1443 H.

___________, At-Tahrir wa At-Tanwir, Tunisia: Ad-Dar At-Tunisiyah, cet. 1, 1984 M.

___________, Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, Kairo: Dar As-Salam, cet. 6, 1435 H.

___________, Ushul An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, Kairo: Dar As-Salam, cet. 4, 1437 H.

Nu’man Jughaim, Thuruq Al-Kasyfi ‘an Maqashid Asy-Syari’, Amman: Dar An-Nafais, cet. 1, 1422 H

Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008 M.

Yusuf bin Abdul Barr Al-Maliki, Jami’ Bayani Al-‘Ilmi wa Fadhlihi, Damam: Dar Ibni Al-Jauzi, cet. 1, 1414 H.

Anda ingin mendapat kiriman update materi khutbah
& artikel dakwah.id melalui WhatsApp?

Topik Terkait

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Discover more from Dakwah.ID

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading