Jenazah korban Bunuh Diri Dishalati atau Enggak dakwah.id

Jenazah Korban Bunuh Diri Dishalati atau Enggak? Bagaimana Pendapat Ulama?

Terakhir diperbarui pada · 4,268 views

Sepanjang tahun 2017 lalu, tercatat ada 34 kasus bunuh diri di Indonesia ini, tepatnya di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Banyak sekali motif tindakannya, cara bunuh dirinya pun beragam. Paling banyak, bunuh diri dilakukan dengan gantung diri. Jumlah kasus bunuh diri ini meningkat dibanding tahun sebelumnya. Padahal, bunuh diri adalah perbuatan dosa besar. Tentang korban bunuh diri ini ada pertanyaan menarik yang setiap Muslim perlu paham jawabannya: apakah jenazah korban bunuh diri dishalati—yang Muslim—meskipun ia meninggal dengan cara melakukan dosa besar? Bagaimana penjelasan Ulama tentang ini?

Bunuh diri secara umum merupakan perbuatan yang dilarang secara syar’i. Bunuh diri termasuk bagian dari al-Kabair; dosa besar. Orang yang membunuh dirinya sendiri lebih berat dosanya ketimbang membunuh orang lain.

Allah ‘azza wajalla berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am: 151)

Dalam hadits terdapat sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا

“Barang siapa menjatuhkan diri dari gunung, hingga membunuh jiwanya (bunuh diri), maka ia akan jatuh ke neraka Jahanam, ia kekal serta abadi di dalamnya selama-lamanya. Barang siapa menenggak racun hingga meninggal dunia, maka racun tersebut akan berada di tangannya, dan ia akan menenggaknya di neraka Jahanam, ia kekal serta abadi di dalamnya selama-lamanya. Dan barang siapa bunuh diri dengan (menusuk dirinya dengan) besi, maka besi itu akan ada di tangannya, dengannya ia akan menghujamkan ke perutnya di neraka Jahanam, ia kekal dan abadi di dalamnya selama-lamanya. (HR. Al-Bukhari No. 5333; HR. Muslim No. 158)

Secara zahir, hadits ini menunjukkan kufurnya perbuatan Intihar; bunuh diri, sebab kekekalan di dalam neraka dan keharaman masuk janah hanya berlaku bagi orang-orang yang statusnya kafir. Ini merupakan konsep final dalam ahlu Sunnah wal Jamaah.

Baca Juga: Fenomena Perbedaan Fatwa di Kalangan Ulama Fikih

Namun, ternyata tak ada satu pun Ulama dari kalangan empat mazhab yang menyatakan kafirnya orang yang melakukan tindakan bunuh diri. Sebab, kufur sendiri maknanya adalah ingkar dan keluar dari Islam, dan dalam konsepsi ahlu Sunnah wal Jamaah dinyatakan bahwa pelaku dosa besar—selain pelaku syirik—tidak dianggap keluar dari status keislamannya. Banyak riwayat shahih yang menyebutkan bahwa pelaku maksiat nantinya akan diadzab di neraka lalu berikutnya dikeluarkan dari neraka, selama dia masih bertauhid; Muslim. (baca Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 6/291-292)

Semua sepakat, mazhab Ahlu Sunnah wal Jamaah tidak mengkafirkan seorang Muslim yang melakukan suatu dosa. Imam ath-Thahawi rahimahullah berkata,

وَلَا نُكَفِّرُ أَحَداً مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلَّهُ

Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Kiblat hanya karena suatu dosa selama dia tidak menghalalkan perbuatan dosa tersebut.” (Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah, 355)

Pernyataan imam ath-Thahawi di atas berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan dosa besar (Al-Kabair) selain syirik. Selama seseorang meninggal dalam kondisi mentauhidkan Allah ‘azza wajalla, mazhab Ahlu Sunnah wal Jamaah tidak melabelinya dengan status kafir, meski ia belum sempat bertaubat dari perbuatan dosa besarnya itu.

Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يُخْرَجُ مِنْ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ الْإِيمَانِ

Akan dikeluarkan dari neraka orang yang dalam hatinya masih ada keimanan meski sebiji dzarrah.” (HR. At-Tirmidzi No. 2523)

Berkaitan dengan orang yang meninggal karena bunuh diri, jumhur Ulama fikih dari mazhab Hanafi, mazhab Maliki, dan Mazhab Syafii semua sepakat bahwa jenazah korban bunuh diri tetap dishalati oleh kaum muslimin. Sebab, jenazah korban bunuh diri tersebut belum keluar dari status keislamannya. Korban bunuh diri tersebut hanya dianggap fasiq dan jenazah orang fasiq tetap dishalati.

Baca Juga: Istri Berbuat Nusyuz? Begini Cara Menghadapinya

Agak sedikit berbeda dengan mazhab yang lain, mazhab Hanbali menyatakan bahwa pemimpin kaum muslimin tak boleh ikut serta dalam menyalati jenazah korban bunuh diri. Cukup rakyatnya saja yang menyalatinya.

Al-Khiraqi, salah seorang Ulama mazhab Hanbali menyatakan,

وَلَا يُصَلِّيَ الْأِمَامُ عَلَى الْغَالِ وَلَا عَلَى مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ

Imam atau pemimpin kaum muslimin tidak usah menyalati jenazah al-Ghal dan jenazah korban bunuh diri.”

Ibnu Qudamah menjelaskan pernyataan al-Khiraqi di atas, “Al-Ghal adalah orang yang menyembunyikan seluruh atau sebagian ghanimah (harta hasil rampasan perang) untuk kepentingan dirinya. Seorang Imam atau pemimpin kaum muslimin tak perlu menyalati jenazah pelaku perbuatan tersebut dan jenazah korban bunuh diri yang dilakukan secara sengaja, meski demikian masyarakat Muslim lainnya boleh menyalati jenazah kedua pelaku perbuatan tersebut. Pendapat ini dinaskan dari Ahmad bin Hanbal.” (Al-Mughni, 2/415)

Pernyataan al-Khiraqi di atas dikuatkan dengan sebuah hadits riwayat Muslim, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bin Samurah ia berkata,

أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

Pernah didatangkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam jenazah seorang laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah. Tetapi jenazah tersebut tidak dishalati oleh beliau.” (HR. Muslim: 1624) https://tafsirq.com/hadits/muslim/1624

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Jabir bin Samurah, ia berkata,

مَرِضَ رَجُلٌ فَصِيحَ عَلَيْهِ فَجَاءَ جَارُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ إِنَّهُ قَدْ مَاتَ قَالَ وَمَا يُدْرِيكَ قَالَ أَنَا رَأَيْتُهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَمْ يَمُتْ قَالَ فَرَجَعَ فَصِيحَ عَلَيْهِ فَجَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ مَاتَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَمْ يَمُتْ فَرَجَعَ فَصِيحَ عَلَيْهِ فَقَالَتْ امْرَأَتُهُ انْطَلِقْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبِرْهُ فَقَالَ الرَّجُلُ اللَّهُمَّ الْعَنْهُ قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ الرَّجُلُ فَرَآهُ قَدْ نَحَرَ نَفْسَهُ بِمِشْقَصٍ مَعَهُ فَانْطَلَقَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَدْ مَاتَ فَقَالَ وَمَا يُدْرِيكَ قَالَ رَأَيْتُهُ يَنْحَرُ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ مَعَهُ قَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ إِذًا لَا أُصَلِّيَ عَلَيْهِ

“Ada seseorang yang mengalami sakit kemudian ia diteriaki (keluarganya menjerit karenanya). Lalu tetangganya datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya ia telah meninggal.’ Beliau berkata, ‘Bagaimana engkau mengetahui?’ Ia berkata, ‘Saya melihatnya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya ia belum mati.’”

Jabir berkata, “Kemudian orang itu kembali dan orang yang sakit tersebut diteriaki, lalu ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata. ‘Sesungguhnya ia telah meninggal.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya ia belum mati.’ Kemudian orang itu kembali dan orang yang sakit tersebut diteriaki. Kemudian istrinya berkata, ‘Pergilah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beritahukan kepada beliau!’ Lalu orang itu berkata, ‘Ya Allah, laknatlah dia!’”

Baca Juga: Wudhu Anda Sudah Benar? Mari Cek Di Sini

Jabir bin Samurah berkata, “Kemudian orang itu pergi dan ia melihat orang yang sakit tersebut telah menyembelih dirinya menggunakan anak panah bermata lebar yang ia bawa. Orang itu pergi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengabarkan kepada beliau bahwa ia telah meninggal. Lalu beliau bersabda, ‘Bagaimana engkau mengetahui?’ Ia berkata, ‘Saya melihatnya telah menyembelih dirinya menggunakan anak panah bermata lebar yang ia bawa.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau melihatnya?’ Ia berkata, ‘Iya.’ Beliau bersabda, ‘Jika demikian maka aku tidak akan menyalatinya.’” (HR. Muslim No. 2770)

Hadits yang cukup panjang di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selaku Nabi dan pemimpin umat tidak ikut menyalati jenazah korban bunuh diri tersebut sebagai bentuk pelajaran bagi Muslim yang lain, meski demikian para sahabat masih menyalati dia.

Berdasarkan argumentasi di atas, Syaikh Hisamuddin ‘Afanah menyimpulkan bahwa jenazah korban bunuh diri tetap dishalati.

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dalam penjelasannya menukil fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang juga pernah ditanya tentang apakah jenazah korban bunuh diri dari kaum muslimin itu dishalati atau tidak. Beliau menjawab,

يُصَلِّي عَلَيْهِ بَعْضُ الْمُسْلِمِيْنَ كَسَائِرِ الْعُصَاةِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَزَالُ فِي حُكْمِ الْإِسْلَامِ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ

“Jenazah tersebut tetap dishalati oleh sebagian kaum Muslimin sebagaimana para pelaku maksiat lainnya. Sebab, menurut Ahlu Sunnah ia masih berada dalam lingkar status hukum Islam.” (Majmu’ al-Fatawa, Syaikh Ibnu Baz, 13/162)

Dalam fatwanya yang lain beliau menyatakan,

“Jenazah korban bunuh diri tetap dimandikan, dishalati, dan dimakamkan di pemakaman Muslim, karena statusnya hanya sebatas pelaku maksiat saja, tidak sampai kafir; membunuh diri sendiri adalah kemaksiatan, bukan kekufuran. (Majmu’ al-Fatawa, Syaikh Ibnu Baz, 13/122)

Jika dia membunuh dirinya sendiri—wal ‘iyadzu billah—jenazahnya tetap dimandikan, dikafani, dan dishalati. Akan tetapi sebaiknya bagi imam, pemimpin, atau tokoh Muslim setempat tidak usah ikut menyalatinya sebagai wujud sikap pengingkaran terhadap kemaksiatan yang ia lakukan agar umat tidak beranggapan bahwa ia meridhai kemaksiatan orang tersebut.

Seorang Imam besar, penguasa, hakim, atau pemimpin negara jika mengambil sikap untuk tidak ikut menyalati jenazah korban bunuh diri tersebut, maka ia adalah representasi yang menyatakan bahwa perbuatan (bunuh diri) itu adalah buruk. Meski demikian sebagian kaum muslimin yang lain tetap menyalatinya. (Fatawa Islamiyah, 2/62) Wallahu a’lam (Sodiq Fajar/dakwah.id)

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *