jamak shalat

Jamak Shalat Saat Bepergian atau Safar

Terakhir diperbarui pada · 4,010 views

Saat bepergian, Allah memberikan keringanan bagi hamba-Nya dalam rangka melaksanakan perintah shalat fardhu berupa jamak shalat dan qashar shalat. Keringanan inilah yang disebut dengan istilah rukhsah.

Keringanan tersebut berbentuk bolehnya mengumpulkan dua salat dalam satu waktu atau meringkas dua shalat yang semestinya dilaksanakan empat rakaat, menjadi dua rakaat.

Keringanan atau rukhsah dalam bentuk meringkas jumlah rakaat shalat disebut dengan qashar. Sedangkan mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu disebut dengan jamak. Mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu lalu meringkas jumlah rakaatnya disebut dengan jamak qashar.

Tentang jamak shalat ketika safar, para Ulama Fikih merinci hukumnya dalam tiga bentuk.

Baca juga: Bentuk Keringanan Syariat dalam Beribadah Saat Bepergian

1. Jamak Ta’khir

Jika seorang musafir sedang berada di tengah perjalanan, ketika masuk waktu shalat pertama, maka ia boleh berhenti pada waktu shalat kedua dan melakukan jamak ta’khir. (Majmu’ Fatawa, Syaikh Ibnu Taimiyah, 24/56)

Dalilnya, hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

“Apabila Rasulullah berangkat safar sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat Dhuhur hingga waktu Ashar. Ketika singgah untuk istirahat, beliau menjamak keduanya. Dan jika matahari tergelincir sebelum beliau berangkat, beliau shalat Dhuhur kemudian berangkat.” (HR. Al-Bukhari: 1111, 1112)

2. Jamak Taqdim

Jika seorang musafir berhenti di suatu tempat, ketika masuk waktu shalat pertama dan pada waktu shalat kedua dia akan berada dalam kondisi berjalan, maka hendaknya ia melakukan jamak taqdim.

Ini seperti bentuk jamak shalat ketika di Arafah. Dan inilah yang shahih dari hadits Anas dalam riwayat al-Hakim. Hadits ini juga tercantum dalam Mustakhraj Muslim karya Abu Nu’aim. Diriwayatkan secara shahih pula dari hadits Mu’adz dalam Sunan at-Tirmidzi dan Abu Dawud.

3. Jamak Qashar

Jika di kedua waktu shalat seorang musafir dalam kondisi berhenti dalam waktu yang agak lama, maka yang sunnah dan sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini adalah tidak menjamak keduanya. Tetapi shalat sesuai waktu masing-masing dengan meng-qashar-nya.

Sebagaimana yang beliau lakukan saat berada di Mina dan di kebanyakan safar yang beliau lakukan.

Memang pernah sesekali Rasulullah melaksanakan jamak shalat di saat beliau berhenti dalam waktu lama. Sebagaimana disebutkan, dari Muadz radhiyallahu ‘anhu bahwa para sahabat keluar bersama Rasulullah dalam perang Tabuk. Maka beliau melaksanakan jamak shalat Dhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’.

Pada suatu hari beliau mengakhirkan shalat, kemudian beliau keluar untuk melaksanakan jamak shalat Dhuhur dan Ashar. Lalu beliau masuk lagi. Kemudian keluar untuk melaksanakan jamak shalat Maghrib dan Isya’. (HR. An-Nasa’i: 587, Abu Dawud: 1206, Al-Muwaththa’ Imam Malik, 1/143,144)

Maka, jika seorang musafir merasa perlu untuk melaksanakan jamak shalat, silakan ia menjamak. Baik ia sedang dalam perjalanan ketika masuk pada waktu shalat yang kedua atau waktu shalat yang pertama dan ia merasa keberatan jika harus berhenti.

Atau ketika sedang berhenti tapi dalam waktu yang sama ia terdesak oleh kebutuhan lain, semisal butuh tidur untuk istirahat yang kebetulan di waktu Dhuhur atau Isya’. Dalam kondisi seperti ini boleh bagi musafir untuk mengakhirkan waktu Dhuhur di waktu Ashar. Setelah itu mungkin ia perlu menyegerakan waktu Isya’ di waktu shalat Maghrib agar setelah itu bisa istirahat sebagai persiapan perjalanan berikutnya.

Kondisi yang demikian itu membolehkan seorang musafir untuk melakukan jamak shalat.

Adapun orang yang singgah di sebuah kampung atau kota selama beberapa hari, seolah-olah ia sudah seperti penduduk setempat, maka dia tidak perlu menjamak shalat, meskipun ia boleh meng-qashar karena statusnya sebagai musafir. (Majmu’ Fatawa, Syaikh Ibnu Taimiyah, 24/64,65)

Syaikh Ibn Baaz rahimahullah berpendapat, menjamak shalat bagi musafir ketika ia berhenti itu tidak apa-apa. Namun tidak melakukannya itu lebih baik. (Majmu’ Fatawa, Syaikh Ibnu Baaz, 12/297)

Dalilnya, hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, ia pernah mendatangi Rasulullah ketika beliau singgah di Mekah tepatnya daerah Al-Abthah pada waktu Haji Wada’ di sebuah tenda merah dari kulit. Abu Juhaifah berkata,

“Maka Rasulullah keluar di tengah siang yang terik memakai pakaian merah. Kemudian beliau wudhu, dan Bilal mengumandangkan azan. Lalu ditancapkanlah sebilah tombak sebagai satir. Kemudian beliau maju untuk mengimami shalat; Dzuhur dua rakaat, dan Ashar dua rakaat.” (HR. Al-Bukhari: 187, Muslim: 503)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

“Dalam Hadits ini terdapat dalil tentang bolehnya jamak qashar dalam safar. Sekaligus dalil bahwa orang yang berhenti di waktu shalat pertama jika hendak menjamak maka yang lebih baik adalah melakukan jamak taqdim. Adapun orang yang di waktu shalat pertama dalam kondisi berjalan, maka yang lebih baik adalah melakukan jamak ta’khir.” (Syarh an-Nawawi ala Shahih Muslim, Imam an-Nawawi, 4/468)

wallahu a’lam. [dakwah.id]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *