Bentuk Keringanan Syariat dalam Beribadah Saat Bepergian/Safar

Terakhir diperbarui pada · 2,008 views

Di antara kaidah syariat ada yang berbunyi,

اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر

Beban berat itu mendatangkan kompensasi kemudahan.” (Risalah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh As-Sa’di, 49,50)

Safar adalah bagian dari Azab. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ

Safar adalah bagian dari azab. Mencegah kalian dari makan, minum, dan waktu tidur yang biasa kalian lakukan. Jika salah seorang dari kalian telah menyelesaikan keperluannya, hendaknya ia segera pulang ke keluarganya.” (HR. Al-Bukhari: 1804)

Syariat punya kewenangan memberi rukhsah dalam bentuk apapun. Bahkan jika seandainya safar itu tidak mengandung masyaqqah sekalipun. Sebab, hukum itu kaitannya adalah dengan illat-nya secara garis besar. Meskipun dalam beberapa kejadian kasuistik illat tersebut tidak terpenuhi semuanya.

Hukum untuk kasus yang sifat kasuistiknya disesuaikan dengan hukum yang lebih umum, tidak diberi hukum sendiri yang independen. Inilah maksud dari ucapan ulama fikih,

النَّادِرُ لا حُكْمَ لَهُ

Sesuatu yang jarang itu tidak ada hukumnya.”

Maksudnya, ia tidak bisa menganulir suatu kaidah dan tidak bisa menyelisihi hukumnya.

Ini adalah rumusan dasar yang harus senantiasa kita pakai. Selanjutnya, rukhsah safar yang paling besar dan mendesak kebutuhannya antara lain:

  1. Menqashar shalat

Oleh karena itu, tidak ada illat dari qashar selain safar. Maka, seringklai safar diidentikkan dengan qashar. Karena memang qashar hanya berlaku untuknya di mana shalat yang semestinya empat rakaat cukup dikerjakan dua rakaat.

  1. Menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di salah satu waktu keduanya.

Jamak sifatnya lebih luas daripada qashar. Oleh karena itu, ada sebab-sebab selain safar yang membolehkan seseorang menjamak shalat. Seperti sakit, istihadhah, hujan, kondisi tanah becek, angin kencang diiringi hawa dingin, dan lain sebagainya.

Qashar ketika safar lebih afdhal daripada itmam. Bahkan itmam dalam safar dimakruhkan kecuali ada sebab tertentu. Sedangkan jamak ketika safar, yang lebih afdhal justru dihindari kecuali jika terdesak oleh kebutuhan atau dalam rangka mengikuti shalat berjamaah, jika karena ada maslahat maka menjamak shalat ketika safar diperbolehkan.

  1. Membatalkan shaum Ramadhan termasuk rukhsah safar.
  2. Shalat sunnah di atas kendaraan atau sarana transportasi ke arah mana saja ia menghadap.
  3. Begitu juga dengan musafir yang shalat sunnah sambil berjalan.
  4. Mengusap khuff, imamah, jilbab, dan yang semisalnya selama tiga hari.

Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

“Rasulullah memberi waktu tiga hari tiga malam bagi musafir. Dan sehari semalam bagi orang yang mukim.” (HR. Muslim: 276)

Adapun tayammum, sebab rukhsahnya bukan safar. Meskipun hajat seseorang kepadanya ketika safar lebih besar daripada ketika mukim. Begitu juga dengan memakan bangkai di saat darurat, ini berlaku umum, tidak hanya ketika safar, tapi juga ketika mukim. Hanya saja seringnya kondisi darurat itu muncul di saat safar.

  1. Meninggalkan shalat sunnah rawatib saat safar tidak dimakruhkan, sedangkan meninggalkan shalat rawatib di saat mukim hukumnya makruh.

Adapun shalat sunnah fajar dan shalat witir serta shalat-shalat sunnah mutlak lainnya, maka hukum mengerjakannya sama, baik itu sedang safar atau sedang mukim.

  1. Rukhsah safar lainnya adalah apa yang disebutkan dalam sebuah hadits shahih, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seseorang sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat.” (HR. Bukhari no. 2996)

Semua amalan yang dikerjakan ketika mukim, baik yang sifatnya pribadi maupun yang bersifat menguntungkan orang lain, pahalanya akan tetap mengalir ketika ia bepergian atau sedang sakit.

Tentang shalat khauf, penyebabnya bukan safar, namun seringnya itu terjadi saat safar. (Ash-Shalatu al-Musafiru, Mafhumun wa anwa’un wa adabun, Syaikh Sa’id bin Wahf al-Qahthani, Irsyad Ulil Bashairi wal Albab, Syaikh as-Sa’di, 113-116) Wallahu a’lam. []

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *