Doa buka puasa yang dalilnya shahih itu lafalnya seperti apa?

Doa Buka Puasa yang Dalilnya Shahih itu Lafalnya Seperti Apa?

Terakhir diperbarui pada · 3,130 views

Pada dasarnya, untuk mendapatkan berkah lebih banyak pada tiap aktivitas apapun yang bermakna hendaknya diawali dengan basmalah. Basmalah sebagai pembuka sekaligus doa. Dalam amalan-amalan tertentu terdapat doa dengan lafal tertentu yang diajarkan secara langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Doa-doa tersebut sampai kepada kita melalui jalur riwayat hadits. Termasuk doa buka puasa.

Namun, mengapa lafal doa buka puasa yang beredar di masyarakat versinya ada lebih dari satu? Ini menjadi menarik untuk dibahas dalam rangka mencari manakah yang paling mendekati kebenaran.

Ada banyak kemungkinan. Bisa jadi memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan doa yang berbeda pada satu amalan tertentu, kemudian diriwayatkan dengan jalur periwayatan yang berbeda. Sehingga sampai kepada kita beberapa hadits dengan riwayat yang berbeda.

Jika demikian halnya, maka langkah awal adalah melakukan verifikasi terlebih dahulu status kekuatan riwayat masing-masing. Apabila jalur-jalur periwayatan tersebut sama shahihnya, boleh memilih mana yang ingin diamalkan. Namun jika ada hadits yang statusnya shahih sementara yang lainnya dhaif, maka yang terbaik dan dipilih untuk diamalkan adalah hadits dengan riwayat yang shahih.

Baca juga: Doa Menyambut Ramadhan Apakah Sumbernya dari Hadits Shahih?

Lafal doa buka puasa yang paling popular di masyarakat Indonesia adalah lafal doa yang bersumber dari riwayat Muadz bin Zuhrah, bahwasanya ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka beliau mengucapkan,

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan atas rizki-Mu aku berbuka.” (HR. Abu Daud, no. 2358)

Doa ini yang sering di ajarkan di sekolah-sekolah, di taman pendidikan al-Quran hampir di tiap masjid, dan berbagai majelis ilmu serta pengajian.

Ada satu lagi lafal doa buka puasa yang mirip itu dengan redaksi yang agak sedikit berbeda. Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Ia berkata, ketika berbuka puasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Ya Allah, untuk-Mu kami berpuasa, dan atas rizki-Mu kami berbuka, maka terimalah amalan kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (HR. Ath-Thabarani dalam kitab Mu’jamul Kabir, Ibnu Sunni dalam kitab Amalul Yaumi wal Lailati, 1/430, Ad-Daruquthi dalam kitab as-Sunan, 2/18)

Berdasarkan keterangan para ulama hadits, ternyata hadits di atas statusnya dha’if. Di dalam riwayat tersebut terdapat perawi yang bernama Abdul Mulk bin Harus. Perawi ini dinilai oleh para ulama sebagai perawi yang Matruk, Muttaham bil kidzbi dan Wadh’ul hadits.

Baca juga: Hukum Berciuman dengan Istri di Siang Hari Bulan Ramadhan

Selain dua lafal di atas, ada satu lafal doa buka puasa yang secara periwayatan lebih kuat dari dua hadits di atas. Lafal doa tersebut adalah,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إن شَاءَ الله

“Telah hilang rasa dahaga, telah basah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki.”

Hadits tersebut diriwayatkan dari Ibnu Umar radhyallahu ‘anhuma dan dikeluarkan oleh Abu Daud (no. 2357) An-Nasa-i (Sunan al-Kubra, 1/66) Ad-Daruquthni (no. 240) Al-Hakim (1/422) dan al-Baihaqi (4/239)

Syaikh Nashiruddin al-Albani menilai hadits ini hasan (Misykatul Mashabih, 1/621, Shahih Abu Daud, 7/124, Irwa-ul Ghalil, 4/39, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, 2/855)

Lalu, Apa Tidak Boleh Doa Buka Puasa Menggunakan Lafal dari Hadits yang Lemah?

Ranah ini sebenarnya memang ranah ikhtilaf, dimana seseorang boleh memilih pendapat yang diyakininya memiliki argumentasi paling kuat. Ditambah lagi, ada sebuah hadits yang menunjukkan keutamaan berdoa di waktu buka puasa.

Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Tiga doa yang tidak tertolak; (1) Doa pemimpin yang adil; (2) Doa orang yang berpuasa sampai ia berbuka; (3) Doa orang yang terzalimi.” (HR. Ibnu Majah no. 1752, Tirmidzi no. 3595. Hadits ini anggap shahih oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya no. 2408 dan dianggap hasan oleh Ibnu Hajar. Zaadul Ma’ad, 2/50).

Baca juga: Hukum Meninggalkan Shiyam Ramadhan Tanpa Udzur Syar’i

Juga ada hadits yang senada dengan itu, dari Abdullah bin Amru ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ

 “Sesungguhnya pada orang yang berpuasa ada doa yang tak tertolak.” (HR. Ibnu Majah no. 1753. Hadits ini dikuatkan dengan hadits sebelumnya yang telah disebutkan. Zaadul Ma’ad, 2/49-50).

Setelah mengetahui bahwa ternyata waktu ketika buka puasa termasuk waktu yang utama untuk berdoa, maka seorang Muslim boleh berdoa dengan lafal apapun sesuai dengan apa yang dimintanya dari Allah ‘Azza wa Jalla.

Barangkali, ini yang menjadikan sebagian kalangan membolehkan menggunakan lafal doa buka puasa dari hadits yang dhaif. Selain memang dijumpai beberapa ulama yang membolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam masalah doa buka puasa ini. (fatwa.islamweb.net)

Saat Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab pertanyaan tentang kedua lafal doa buka puasa yang popular di tengah masyarakat tersebut, beliau sendiri juga mengakui adanya kedhaifan di salah satu haditsnya. Namun, beliau memberi catatan,

وعلى كل حال فإذا دعوت بذلك أو بغيره عند الإفطار فإنه موطن إجابة

“Walau bagaimanapun, jika engkau berdoa dengan lafal itu atau dengan lafal lainnya pada saat buka puasa, maka itulah tempat doa yang diijabahi.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa-il, Syaikh Ibnu Utsaimin, 19/no. 341)

Tampaknya Syaikh Ibnu Utsaimin lebih mengedepankan urgensi waktu mustajab untuk berdoa daripada polemik keshahihan riwayat lafal doa buka puasa. Meski demikian, mengamalkan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan akurasi riwayat yang lebih kuat tentu itu lebih utama dan lebih mendekat kepada kebenaran. Wallahu a’lam. [M. Shodiq/dakwah.id]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *