Gambar Adab-Adab Mudik Lebaran dakwah.id.jpg

Adab-Adab Mudik Lebaran yang Harus Diperhatikan

Terakhir diperbarui pada · 173 views

Mudik lebaran adalah istilah yang dipakai bagi para perantau untuk pulang ke kampung halamannya. Di Indonesia, mudik identik dengan tradisi tahunan yang terjadi pada akhir Ramadhan menjelang hari raya Idul Fitri.

Pada momen ini, masyarakat muslim yang berada di kota-kota besar seluruh Indonesia biasanya akan berbondong-bondong pulang kampung dengan tujuan berkumpul dan melepas rindu dengan keluarga.

Menurut prediksi dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tahun 2024, diperkirakan sebanyak 71,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 193,6 juta orang akan melakukan mudik ke kampung halaman masing-masing. Angka ini meningkat pesat dibandingkan dengan tahun 2023 yang berjumlah 123,8 juta orang.

Mudik dalam bahasa fikih disebut dengan safar yang artinya bepergian. Meski sebenarnya, mudik lebih khusus daripada safar. Mudik identik dengan makna pulang kampung, sementara safar maknanya bepergian secara umum.

Dalam pembahasan fikih, safar dapat diklasifikasikan ke dalam lima bagian.

Pertama: Safar wajib, adalah seseorang menempuh perjalanan untuk menunaikan kewajiban, seperti menuntut ilmu, haji yang wajib, umrah yang wajib, atau kewajiban berjihad.

Kedua: Safar yang sunah, adalah seseorang menempuh perjalanan yang disunahkan, seperti melaksanakan umrah yang sunah, haji yang sunah, atau jihad yang sunah.

Ketiga: Safar yang mubah (boleh), adalah bepergian untuk melakukan hal-hal sehari-hari yang dibolehkan dalam agama, seperti dalam rangka silaturahmi, bekerja, dan refreshing.

Keempat: Safar yang makruh, adalah bepergian seorang diri tanpa ada yang menemani. Bepergian seperti itu dimakruhkan, kecuali untuk melakukan hal-hal yang sangat penting.

Kelima: Safar haram, adalah seseorang yang menempuh perjalanan untuk melakukan sesuatu yang diharamkan syar’i. Menempuh perjalanan untuk berdagang khamr (minuman keras) misalnya.

Dari lima klasifikasi di atas, dapat kita lihat bahwa mudik lebaran menjelang Idul Fitri masuk pada jenis safar yang mubah. Boleh dilakukan selama tidak ada unsur-unsur kemaksiatan di dalamnya.

Fenomena mudik lebaran selalu dianggap oleh sebagian kalangan sebagai sebuah perjuangan yang luar biasa. Bagaimana tidak, hasil jerih payah yang selama berbulan-bulan dikumpulkan digunakan untuk kegiatan setahun sekali ini.

Ia memeras pikiran, mengorbankan tenaga, dan mengeluarkan banyak biaya. Harga tiket mahal, lalu lintas macet, kecelakaan, dan cuaca yang ekstrem akan menjadi tantangan yang harus dihadapi bagi pemudik.

Maka, agar tradisi mudik ini tak sekadar tradisi tahunan yang menguras pikiran, tenaga, dan biaya saja, penting kiranya memperhatikan adab-adab safar untuk dipraktikkan saat mudik. Harapannya, selain capek di fisik dan pikiran, ada pahala yang terselip di sebaliknya.

Adab-Adab Mudik Lebaran

Adab-adab yang berkaitan dengan masalah safar secara umum banyak sekali. Para ulama bahkan memberikan perhatian khusus tentang masalah ini.

Salah satu ulama yang membahas dengan sangat detail adab-adab safar adalah Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Di dalamnya beliau menyebutkan sebanyak 62 poin terkait adab-adab bagi seorang musafir (juz 4/hlm. 385—402).

Poin-poin ini kemudian sebagian diringkas dan diberi penjelasan oleh Syaikh Shalih al-Munajjid dalam tulisan beliau yang berjudul as-Safaru Adabun wa Ahkamun.

Berikut beberapa di antaranya.

Pertama: Mengikhlaskan niat

Safar (baca: mudik) memang bukan termasuk perkara ibadah mahdhah. Mudik hanya bagian dari tradisi atau kebiasaan saja. Tetapi, ia tetap bisa bernilai ibadah jika dalam pelaksanaannya diniatkan ikhlas dalam rangka ketaatan (taqarrub) kepada Allah.

Sesuai dengan definisi ibadah yang disebutkan oleh para ulama: “Ismun jami’ likulli ma yuhibbuhullahu wa yardhahu minal aqwali wal af’ali adzahirati wal bathinati”. Yang dimaksud ibadah adalah segala sesuatu yang diridhai Allah, baik itu perkataan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tidak tampak.

Selain diniatkan untuk taqarrub, selayaknya pula mudik lebaran diniatkan untuk menjalin tali silaturahmi dengan orangtua, keluarga, atau kerabat. Bertanya dan berbagi kabar, memberi rasa kebahagiaan, serta meminta doa restu dari mereka.

Mudik bukan ajang untuk flexing (pamer harta atau pencapaian), berbangga-bangga di hadapan sanak saudara untuk menunjukkan bahwa dirinya sukses. Tidak!

Kedua: Bertobat dan menyelesaikan urusan dan hak-hak sesama manusia

Apabila seseorang hendak melakukan safar jarak jauh (mudik), sebelum berangkat ia dianjurkan untuk bertobat dan menyelesaikan urusan-urusan antarsesama manusia. Seperti, membayar hutang, mengembalikan barang titipan, atau meninggalkan nafkah untuk orang yang menjadi tanggungannya.

Selain itu, dianjurkan juga untuk berpamitan dengan keluarga, kerabat, tetangga, dan orang terdekatnya.

Mengapa demikian?

Manusia bisa saja berencana, tapi takdir Allah yang menentukan. Jika qadarullah ada musibah dalam perjalanan, bahkan yang menyebabkan kematian, maka dengan tobat dan diselesaikannya hak-hak tersebut, di akhirat nanti dia tidak lagi menanggung dosa dan bebas dari tuntutan Allah karena ada hak sesama yang belum ditunaikan.

Mudik adalah perjalanan penuh risiko. Korlantas Polri mencatat ada sebanyak 1.457 kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi selama arus mudik lebaran pada 18—23 April 2023.

Sebanyak 189 orang meninggal dunia, dan 2.013 orang mengalami luka ringan selama perjalanan mudik.

Tingginya angka kecelakaan ini bisa terjadi karena beberapa faktor, seperti tingginya intensitas lalu lintas jalan raya, faktor kelelahan pengemudi, kondisi kendaraan yang kurang layak, atau cuaca buruk yang tidak mendukung untuk melakukan perjalanan.

Karenanya, memperhatikan faktor-faktor tersebut ketika mudik adalah bagian dari akhdzul asbab (mengambil sebab) yang juga disyariatkan dalam safar.

Ketiga: Melakukan shalat Istikharah dan bermusyawarah sebelum berangkat

Istikharah adalah meminta petunjuk dari Allah, sementara musyawarah berarti meminta petunjuk atau pendapat dari manusia.

Shalat Istikharah dianjurkan oleh Rasulullah, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah (Shahih al-Bukhari no.7390), ketika seorang muslim memiliki sebuah rencana.

Fungsinya untuk kemantapan hati dan meminta petunjuk langsung dari Allah. Sebab fungsi akal terbatas, tidak bisa menunjuki semua hal. Manusia harus melibatkan Allah sebagai satu-satunya Zat Yang Maha Pemberi petunjuk dalam setiap rencananya.

Adapun musyawarah sebelum safar yang dimaksud adalah meminta pendapat dari orang yang kita anggap lebih paham dan lebih berpengalaman mengenai seluk-beluk perjalanan yang akan kita lalui. Tujuannya, agar perjalanan aman, lancar, tanpa kendala.

Keempat: Membawa barang-barang yang dibutuhkan

Membawa barang-barang yang dibutuhkan, baik berupa makanan, pakaian, peralatan MCK, handphone, tiket, surat-surat kendaraan, maupun yang terkait dengan identitas diri, seperti KTP, SIM, dan surat kesehatan.

Semua barang-barang yang akan dibawa dihitung berdasarkan prioritasnya. Sebelum berangkat, dicek dan dipastikan tidak ada yang tertinggal.

Kelima: Mudik lebaran menggunakan harta yang halal

Menggunakan harta haram untuk beribadah, konsekuensinya ibadah akan ditolak oleh Allah subhanahu wata’ala.

Sedangkan menggunakannya pada perkara muamalah, termasuk untuk kebutuhan safar, akan membawa kerugian dan penderitaan bagi yang bersangkutan. Karena sama sekali tidak ada berkahnya.

Selain itu, berdasarkan hadits Rasulullah, salah satu waktu mustajab dalam berdoa adalah ketika safar.

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

Tiga waktu diijabahi (dikabulkan) doa yang tidak diragukan lagi, yaitu (1) doa orang yang terzalimi, (2) doa seorang musafir, dan (3) doa orangtua atas anaknya.” (HR. Ahmad no. 7510, at-Tirmidzi no. 1905, Ibnu Majah no. 3862)

Sementara itu, salah satu penghalang terkabulnya doa saat safar adalah penggunaan harta yang haram atau syubhat.

Sebagaimana dalam sebuah hadits Rasul. Ada seorang laki-laki yang memohon kepada Allah dalam keadaan safar, tapi doanya tertolak karena tubuhnya penuh dengan barang-barang haram.

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang bepergian lama. Rambutnya kusut, tubuhnya berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Ia lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul?” (HR. Muslim no. 1015)

Keenam: Tidak berangkat mudik lebaran sendirian

Mencari teman yang baik dan saleh dalam safar adalah anjuran dari Rasulullah agar amaliyah ibadah lebih terjaga selama dalam perjalanan, dan ada orang yang menegur apabila dirinya lalai.

Sabda Rasul dalam riwayat Ibnu Umar,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي الْوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ

“Jika semua orang mengetahui kesendirian dalam bepergian sebagaimana yang aku ketahui, maka tidak akan ada satu orang penunggang pada malam hari seorang diri.” (HR. Al-Bukhari no. 2998)

Khusus untuk perempuan, dia tidak diperbolehkan untuk bersafar seorang diri. Ia harus ditemani mahram atau teman-temannya yang terpercaya.

Ketujuh: Membaca doa atau zikir safar mudik lebaran

Beberapa doa dan zikir yang harus dibaca ketika safar ialah sebagai berikut.

1.     Doa untuk orang yang akan ditinggalkan

أَسْتَوْدِعُكَ اللَّهَ الَّذِي لَا تَضِيعُ وَدَائِعُهُ

“Kutitipkan kalian kepada Allah, Zat yang tidak mungkin menyia-nyiakan titipan yang dititipkan kepada-Nya.”

2.     Doa mukim kepada orang yang hendak bersafar

زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى وَغَفَرَ ذَنْبَكَ وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ

“Semoga Allah membekalimu ketakwaan, mengampuni dosamu, dan memudahkan kebaikan untukmu di mana pun kamu berada.”

3.     Doa ketika keluar rumah

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

“Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada-Nya. Tidak ada daya dan kekuatan, kecuali dengan-Nya.”

4.     Doa ketika naik kendaraan

بِسْمِ اللهِ (3x) اَلْحَمْدُ لِلهِ

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ

اَلْحَمْدُ لِلهِ (3x) اَللهُ أَكْبَرُ (3x)  

سُبْحَانَكَ إِنِّيْ قُدْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ

Dengan menyebut nama Allah (3x). Segala puji bagi Allah.

Mahasuci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami.

Segala puji bagi Allah (3x).

Allah Mahabesar (3x).

Mahasuci Engkau. Sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri maka ampunilah aku karena tidak ada yang mengampuni dosa-dosa selain Engkau.

5.     Doa ketika sudah di kendaraan

اَللهُ أَكْبَرُ (3x)

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنْ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى

اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ

اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ

Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar.

Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali.

Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, ketakwaan, dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh.

Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan keluarga.

Adab safar lainnya adalah membaca tasbih (subhanallah) ketika jalan menurun, membaca takbir (Allahu Akbar) ketika melewati jalan mendaki.

Termasuk adab safar adalah mendoakan kebaikan diri, keluarga, orang terdekat, dan kaum muslimin ketika safar.

Rukhsah Shalat dan Puasa bagi Musafir

Rukhsah artinya keringanan hukum bagi mukalaf dalam melaksanakan sebuah ibadah. Musafir termasuk dalam kategori orang yang mendapatkan keringanan tersebut.

Di antara keringanan bagi musafir: boleh menjamak dan mengqasar shalat, serta boleh tidak puasa Ramadhan.

Jamak artinya menggabungkan. Jadi, jamak shalat berarti menggabungkan dua waktu shalat menjadi satu waktu, baik di awal (taqdim) maupun di akhir (ta’khir). Berlaku bagi shalat Dzuhur dengan Ashar, dan Magrib dengan Isya.

Sedangkan yang dimaksud qashar adalah meringkas shalat dari empat rakaat menjadi dua rakaat, berlaku untuk shalat ruba’iyah (empat rakaat): Zuhur, Ashar, dan Isya.

Syarat dibolehkannya jamak qashar bagi musafir

Diperbolehkan bagi seorang musafir untuk menjamak dan meng-qashar shalat. Dalam mazhab Syafi’i disyaratkan harus:

1) perjalanannya bukan dalam rangka maksiat,

2) jarak perjalanan tidak kurang dari enam belas farsakh (dalam kitab Taqriraat as-Sadidah disebutkan bahwa enam belas farsakh sekitar 82 km),

3) dilakukan pada shalat yang berjumlah empat rakaat,

4) niat qashar shalat ketika takbir,

5) tidak boleh bermakmum kepada orang yang mukim (Matan Ghayah wa Taqrib, hlm. 11—12).

Hukum puasa bagi musafir

Adapun hukum bagi orang yang berpuasa ketika safar dirinci sebagai berikut.

Pertama: bila puasa ketika safar membuatnya merasa berat dan lemas, lebih utama baginya untuk tidak berpuasa.

Kedua: bila puasa ketika safar tidak membuatnya merasa berat dan lemas, maka puasa baginya lebih utama.

Ketiga: bila puasa ketika safar membahayakan keselamatan atau kesehatannya, maka wajib baginya untuk tidak berpuasa.

Syarat boleh berbuka bagi musafir

Adapun perincian syarat yang membolehkan seseorang berbuka puasa yang disebutkan dalam kitab fikih kontemporer mazhab Syafi’i (Taqrirat as-Sadidah fi Masa’il al-Mufidah, hlm. 339) adalah sebagai berikut:

  1. Safar thawil (jauh). Jarak minimalnya sama dengan jarak qashar shalat (82 km).
  2. Safar mubah. Maksudnya adalah bukan dalam rangka bermaksiat.
  3. Menuju tempat yang jelas. Orang yang bepergian tanpa ada tujuan yang jelas tidak mendapat rukhsah.
  4. Safar untuk tujuan yang baik.
  5. Telah melewati batas di mana dia tinggal.
  6. Memulai safar sebelum subuh. Apabila dia mulai safar dalam keadaan sudah puasa, maka wajib meneruskan puasanya

Jadi, apabila orang yang dalam perjalanan mudik lebaran menuju kampung halamannya telah memenuhi semua syarat di atas, maka dia boleh mengambil rukhsah, baik pada shalat maupun puasanya.

Demikian adab-adab mudik lebaran dalam Islam.

Bagi yang mudik, semoga mudiknya berkah, sehat, selamat sampai tujuan. Bisa melepas rindu dengan sanak kerabat dan orang-orang tercinta di kampung halaman. Wallahu a’lam. (Ashabul Yamin/dakwah.id)

Penulis: Ashabul Yamin
Editor: Ahmad Robith

Artikel Adab terbaru:

Topik Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *