Valentine Day Adalah Produk Budaya Bangsa Penyembah Dewa

Valentine Day Adalah Produk Budaya Bangsa Penyembah Dewa

Terakhir diperbarui pada · 2,292 views

Apa ada dalam buku sejarah Islam kisah tentang asal-usul valentine’s day? Sudah pasti tidak ada. Valentine day adalah produk budaya bangsa penyembah dewa. Valentine day bukan adat islami, bukan pula syariat yang ada dalilnya.

Valentine day adalah produk budaya masyarakat paganis di masa lampau. Jika ditelusuri sejarahnya, ditemukan beberapa versi cerita yang semuanya sangat tidak relevan dengan gaya hidup seorang muslim, justru malah bertentangan.

Di antara sekian banyak versi, versi yang paling populer sebagai sejarah valentine day adalah festival Lupercalia. Festival Lupercalia adalah festival yang diadakan oleh kerajaan Romawi sekitar abad ke-3.

Perayaan festival Lupercalia dilaksanakan sekitar tanggal 13 hingga tanggal 18 februari. Acara ini diawali dengan upacara persembahan untuk dewi cinta Juno Februata. Pada 14 Februari digelar sebuah permainan yang melibatkan para pemuda dan pemudi di wilayah kerajaan Romawi itu.

Para pemuda mengundi nama gadis kota dari sebuah kotak kaca. Nama gadis yang terpilih otomatis menjadi pasangannya selama setahun. Sehari setelahnya para pemuda akan mencambuk gadisnya dengan menggunakan kulit binatang. Cambukan itu diyakini akan meningkatkan kesuburan para gadis.

Baca juga: Pembaruan Ajaran Agama di Era jahiliyah

Seiring dengan perkembangan perayaan itu, penguasa beserta para tokoh agama Romawi mengkombinasikannya dengan aroma Kristen Katolik yang ssst itu menjadi agama kerajaan.

Suatu ketika Romawi menghadapi peperangan yang menyebabkan Kaisar Claudius II memerintahkan para pria dan pemuda untuk ikut bertarung di medan pertempuran. Namun, banyak pemuda yang berat meninggalkan kekasih dan keluarga mereka.

Menghadapi masalah itu, Kaisar Claudius II akhirnya membuat peraturan yang berisi larangan menikah bagi para pemuda. Tentu saja keputusan ini mendapat banyak pertentangan keras dari berbagai pihak. Salah satunya adalah dari pastor Valentine.

Valentine masih tetap menjalankan upacara pernikahan pasangan yang datang kepadanya secara sembunyi sembunyi. Kaisar Claudius II pun murka, ia memerintahkan untuk menangkap Valentine dan memenggal kepalanya.

Akhirnya pastor Valentine wafat tepat di tanggal 14 Februari tahun 270 Masehi. Dalam rangka mengenang kematiannya, nama Festival Lupercalia pun berganti nama menjadi Festival Valentine. Dan saat ini viral dengan istilah Valentine’s Day. (Disadur dari berbagai sumber)

Bagaimanapun versi sejarah valentine’s day, bagi umat Islam seluruh pemaparan sejarah yang bervariasi itu memiliki satu substansi: Valentine Day bukan adat Islam, bukan pula bagian dari syariat Islam. Valentine day adalah produk budaya penyembah dewa.

Masyarakat muslim harus pintar-pintar mengambil sikap terhadap trend, budaya, adat, dan kebiasaan yang berasal dari luar Islam. Jika itu bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam, maka harus dijauhi. Kenapa? Karena mempraktikannya hanya akan membuat pribadi seorang muslim semakin jauh dari ajaran syariat Islam.

Baca juga: Trend Mengikuti Tradisi non-Muslim: Pintu Kehancuran Generasi Islam

Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberikan peringatan mengenai kebiasaan meniru budaya di luar Islam. Beliau bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2/50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, Irwa’ul Ghalil no. 1269)

Tindakan meniru tradisi dan budaya selain Islam disebut dengan istilah Tasyabbuh. Dalam hal ini, budaya Valentine Day sudah jelas-jelas budaya asing yang sangat merusak generasi muda Islam.

Trend meniru budaya atau tasyabbuh terhadap valentine Day ini akan merusak moral generasi muda Islam secara pelan-pelan. Trend ikut-ikutan merayakan Valentine Day ini harus dihilangkan secara total sebelum jatuh korban perusakan moral lebih banyak lagi. Oleh sebab itulah trend Tasyabbuh dalam Islam itu dilarang. Banyak ulama yang menjelaskan tentang ini.

Syaikh Ibnu Taimiyah menyatakan,

أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ

“Penyerupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang menyerupai (tasyabbuh) dengan orang kafir.” (Majmu’ al-Fatawa, Syaikh Ibnu Taimiyah, 22/154)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah menasehati,

عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَكُوْنَ عَزِيْزًا بِدِيْنِهِ وَأَنْ لَا يَكُوْنَ إِمَّعَةً يَتَّبِعُ كُلَ نَاعِقٍ

Seorang muslim itu semestinya cukup merasa mulia dengan agamanya, jangan menjadi Imma’ah yang suka ikut-ikutan teriakan yang ada. (Majmu’ Fatawa, Syaikh Ibnu Utsaimin, 16/199, Imma’ah: membebek) Wallahu a’lam [M. Shodiq/dakwah.id]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

4 Tanggapan

Muliakan diri dengan menjalani syariah dan akhlak Rasulallah Saw.

jazakumullahukhoiron ustadz… semoga umat muslim semakin banyak yg meninggalkan hari raya orang kafir dan kembali kpd Al-Qur’an dan Sunnah Nabi

Barokallahufikum wa jazakumullahukhoiron, semoga umat muslim semakin banyak yg meninggalkan hari raya orang kafir dan kembali kpd Al-Qur’an dan Sunnah Nabi

Barokallahufikum wa jazakumullahukhoiron ustadz…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *