dakwah.id Pendidikan Iman, Mata Pelajaran ‘Wajib’ dalam Dunia Pendidikan Tiap Harakah Islamiyah

Pendidikan Iman, Mata Pelajaran ‘Wajib’ dalam Dunia Pendidikan Tiap Harakah Islamiyah

Terakhir diperbarui pada · 1,759 views

Kenapa harus pendidikan iman? Pada zaman yang gersang ini, di mana jiwa-jiwa telah rusak, ruh menjadi kering, cahaya hati telah padam, bara api keimanan yang menerangi hati telah redup, sujud pun tak khusyuk, dan kata-kata hikmah tak mampu lagi menembus hati untuk memberi energi positif. Jika keadaan sudah sedemikian parah, alarm tanda bahaya pun telah berbunyi di lembaga-lembaga pendidikan kita, menandakan kondisi pendidikan kita telah kritis.

Orang-orang pun berteriak, para pendidik merintih, dan para pemimpin mengeluhkan masalah ini. Semuanya mencari jalan keluar dari kondisi kritis ini dan mencari obat dari penyakit akut ini.

Setelah melalui pembahasan yang panjang dan penelitian yang detail, para ahli kejiwaan Muslim mereka sangat membutuhkan pendidikan iman yang merupakan pondasi utama untuk membangun kepribadian islami.

Baca Juga: Konsekuensi Hukum Orang yang Mendatangi Dukun

Hanya pendidikan iman yang mampu mengobati jiwa yang sakit, melunakkan hati yang membatu, dan memperbaiki niat yang salah. Dengan pendidikan iman itu pula semua tujuan menyimpang bisa diluruskan kembali.

Pendidikan iman adalah sentuhan penyegar bagi hati yang telah lelah dan kehangatan air mata yang membasahi pipi yang kering. Itulah bekal perjalanan, suplemen jiwa, dan penjernih hati.

Pendidikan iman adalah bukti kesungguhan dan tanda penerimaan, syarat datangnya pertolongan dan kemenangan. Dialah getaran yang membangkitkan hati yang sedang lalai.

Pendidikan iman adalah pendidikan yang sangat memerhatikan masalah perbaikan segumpal daging bernama hati. Apabila ia baik, baik pula semua anggota badan. Dan apabila rusak, rusak pula seluruh anggota badan. Hati adalah gerbang perbaikan jiwa dan kelurusan akhlak.

Bagi para dai—yang berikrar mengeluarkan orang-orang yang tenggelam dalam lautan kelemahan dan penyelewengan—mereka sangat membutuhkan adanya pendidikan iman yang panjang. Dengannya mereka dapat mengetahui kekurangan diri dalam mengarungi perjalanan iman yang panjang. Dengannya pula, hati mereka menjadi jernih, akidah menjadi benar, akhlak menjadi terpuji, ibadah meningkat, kemantapan bertambah, dan ketamakan nafsu terobati.

Baca Juga: Imam Mazhab Mengimbau Umat Untuk Meninggalkan Pendapat Yang Menyelisihi Sunnah

Dari pendidikan iman inilah akan lahir para Dai Rabbani, bukan dari rahim ibu-ibu mereka.

Pendidikan iman merupakan cahaya yang menyinari dahi para dai sehingga tterbitlah cahaya keimanan dalam perkataan, perbuatan, bahkan pada setiap tindak-tanduk mereka.

Pendidikan iman akan membina jiwa menjadi taat pada perintah, yang tidak dicemari oleh bid’ah dan filsafat.

 

Pendidikan Iman: Dari Hati Menuju Amal Nyata

Pendidikan iman bukanlah pendidikan teori semata. Ia membina manusia supaya berilmu dan beramal.

Pendidikan iman adalah poros pergerakan dari mihrab masjid hingga dunia politik, dari aktivitas rohani hingga aktivitas kantor, dari zikir dan istighfar hingga kekuatan dan kemenangan, dan dari kehidupan hati hingga menjawab semua tantangan.

Satu bahaya yang harus diwaspadai oleh para dai adalah jangan sampai hiruk pikuk suasana kantor dan aspek-aspek pergerakan, atau kesibukan pekerjaan duniawi melalaikan mereka dari mendidik diri sehingga tidak melangkah menuju kejayaan Islam.

Bertolak dari sini, Harakah Islamiyah (gerakan Islam) wajib menyiapkan berbagai wadah pendidikan untuk mewujudkan iklim keimanan yang kondusif, sesuai dengan jiwa manusia yang disifati Ar-Rafi’i, bagaikan pohon yang menghadapi tiga musim; musim yang menjadikannya bersemi, musim yang menjadikannya layu dan kering, dan musim yang menjadikannya rontok.

Baca Juga: Mencintai Allah Butuh Kejujuran, Bukan Pengakuan

Masalah memerhatikan kebutuhan dan keadaan jiwa dalam kehidupan nyata dan perjalanannya yang berkesinambungan termasuk masalah paling urgen yang memerlukan perhatian lebih, perencanaan, pengawasan, dan latihan agar selalu berada di atas jalan yang lurus.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,

“Iman adalah pemimpin, amal adalah sopirnya, dan nafsu adalah penyebab mogoknya. Apabila sopir membelot, maka jiwa akan tersesat dan menyimpang dari jalan yang lurus. Apabila pemimpinnya membelot, maka kendaraan akan mogok atau tak terkendali. Namun, apabila keduanya bekerjasama maka akan lurus.”

“Apabila nafsu selalu dituruti maka akan semakin menjadi-jadi; apabila dibiarkan maka akan mengajak kepada kejelekan; apabila dibawa menaati perintah Allah ‘azza wajalla maka akan menjadi baik; dan apabila urusan diserahkan kepadanya maka akan rusak.”

“Oleh karena itu, waspadalah terhadap nafsu Anda. Dan berburuk sangkalah kepadamu dalam perkara agamamu. Perlakukan ia sebagaimana Anda memperlakukan orang yang tidak Anda butuhkan, tetapi harus tetap ada.”

“Orang yang bijak akan membawa nafsunya kepada hal-hal yang tidak disukai hingga ia mengakui kebenaran. Sedangkan orang yang bodoh akan membiarkan nafsunya memilih sendiri apa akhlak yang diinginkannya, apa yang disukainya hingga ia pun ikut menyukainya, dan apa yang dibenci maka ia akan ikut membencinya.” (Dzammul Hawa, Ibnul Jauzi, 40)

Secarik kalimat menarik dari pengarang Tafsir Fi Dzilalil Quran, Sayyid Quthb rahimahullah,

“Hati manusia itu cepat berubah-ubah dan cepat lupa. Ia berselimut cahaya yang meliputinya sehingga berkilau seperti sinar. Namun, apabila lama tidak digosok dengan peringatan atau ingatan, ia akan kusam, mengeras, dan hilang kilauannya sehingga menjadi gelap dan hitam. Karena itu, harus ada peringatan bagi hati agar selalu ingat dan khusyuk. Ia harus selalu ditempa sehingga tetap halus dan berkilau, harus selalu dijaga dalam kondisi sadar agar tidak menjadi tumpul dan keras.” (Fi Dzilalil Quran, Sayyid Quthb, 2/3489)

Dari keterangan ini, kita menyadari akan pentingnya perhatian terhadap nafsu manusia dan selalu menempanya dengan pendidikan iman, amalan yang menyucikannya, dan selalu mengawasinya dari ujung pangkalnya, naik turunnya, sehat sakitnya, tinggi rendahnya, gelap terangnya, lembah buktinya, dan jauh dekatnya. (Lamhah Tarbawiyah Min Hayati at-Tabi’in, Asyraf Hasan Thabal/dakwah.id)

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *