menjual barang di atas penjualan saudaranya

Menjual Barang Di Atas Penjualan Saudaranya

Terakhir diperbarui pada · 6,431 views

Untuk memperjelas persoalan hukum menjual barang di atas penjualan orang lain akan lebih mudah dipahami dengan ilustrasi berikut.

Si A ingin membeli suatu barang. Lalu ia melakukan transaksi dengan seorang penjual. Penjual menyebutkan harga barang yang akan dibeli oleh si A. lalu si A memeriksa kondisi barang yang akan dia beli (Khiyar). Belum sampai si A membayar barang yang akan dibeli, seseorang mendekatinya lalu mengatakan, “Saya punya barang itu juga, dengan harga yang lebih murah. Beli ke saya saja.”

Mendengar orang itu memberikan tawaran lebih murah, akhirnya secara sepihak si A membatalkan proses transaksi dengan penjual untuk kemudian mendatangi orang kedua yang memberi tawaran harga lebih murah.

Nah, pada kasus seperti di atas, bagaimana hukum transaksi yang dilakukan oleh Si A tersebut?

Pada dasarnya, dalam proses transaksi jual beli, seorang pembeli memiliki hak secara syar’i untuk memilih dan memeriksa (hak khiyar) barang yang akan dibeli. Namun, ia tidak boleh membatalkannya secara sepihak lantaran ada orang yang menawarkan barang yang sama dengan harga yang lebih murah, atau bahkan harganya tetap sama.

Transaksi baru yang dilakukan oleh si A dan penjual kedua termasuk kategori transaksi menjual barang di atas penjualan saudaranya. Transaksi jenis ini dihukum haram oleh para ulama secara Ijma’.

Ilustrasi lain, seorang penjual yang sedang menawarkan barang kepada seorang pembeli. Transaksi masih pada tahap pengecekan keutuhan fisik barang yang hendak dibeli (hak khiyar), tiba-tiba datang orang lain yang ingin membeli barang yang sama. Lalu, secara sepihak si penjual langsung menghentikan proses transaksi dengan pembeli pertama, dan langsung melakukan transaksi dengan pembeli kedua.

Tindakan yang dilakukan oleh penjual pada ilustrasi kedua ini juga termasuk kategori menjual barang di atas penjualan orang lain. Melakukan proses akad dengan satu pihak, lalu secara sepihak membatalkannya dan mengalihkan akad kepada pihak yang lain. Ini adalah praktik jual beli yang dilarang dalam Islam. Haram. Pelakunya dihukumi telah bermaksiat. Dosa. (Fathul Qadir, 6/477. Al-Mabsuth, 15/75. At-Tamhid, 13/318)

Baca juga: Transaksi Jual Beli: Definisi, Hikmah, Rukun, Syarat

Dalil Larangan Menjual Barang Di Atas Penjualan Saudaranya

Dalilnya, hadits Ibnu ‘Umar radhyallahu ‘anhuma. Dia berkata, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لاَ يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ

Janganlah seseorang menjual di atas penjualan saudaranya. Janganlah pula seseorang melamar di atas lamaran saudaranya kecuali jika ia mendapat izin akan hal itu.” (HR. Muslim no. 1412)

Di dalam hadits lain disebutkan,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لاَ يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ

Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh sebagian kalian menjual atas jualan orang lain atau membeli atas pembelian orang lain” (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa, menjual di atas penjualan orang lain, begitu pula membeli di atas pembelian orang lain, hukumnya haram.

Dalam penjelasannya tersebut, beliau mengilustrasikan, “Bentuknya adalah seperti seseorang membeli suatu barang dari pembeli pertama dan masih pada proses khiyar, lalu penjual kedua mengatakan, ‘Batalkan saja transaksimu tadi, ini saya jual dengan harga lebih murah.’ Atau dengan bentuk seorang pembeli mengatakan pada penjual, ‘Batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi, saya bisa beli lebih dari yang ia tawarkan.’ Jual beli semacam ini haram dan disepakati keharamannya oleh para ulama.” (Fathul Bari, 4/353)

Dalam teknis transaksinya, Ibnu Daqiq al-‘Id menjelaskan dengan lebih detail, “Kasus transaksi di atas dihukumi haram, menurut Ulama Fikih Mazhab asy-Syafi’I, harus memenuhi dua syarat: (1) penjual dan pembeli telah menyepakati harga barang yang disebutkan. (2) Antara penjual dan pembeli telah saling ridha dan sepakat atas transaksinya. (Ihkamul Ahkam, 2/113)

Hikmah Larangan Menjual Barang Di Atas Penjualan Saudaranya

Praktik transaksi menjual barang di atas penjualan saudaranya ini pada dasarnya telah menyalahi prosedur yang berlaku dalam sebuah transaksi. Di mana seorang pembeli suatu barang berhak untuk meneruskan transaksinya setelah melalui proses khiyar sampai akhir transaksi; pembayaran dan penyerahan barang, tanpa ada gangguan eksternal. Semuanya bermuara pada tujuan syariat dihalalkannya jual beli; saling memenuhi kebutuhan sesama.

Jika prosedur tersebut dilanggar dengan bentuk memotong proses transaksi oleh pihak ketiga, tentu tindakan tersebut akan menimbulkan kezaliman terhadap salah satu pelaku transaksi.

Jika yang melakukan itu pihak pembeli, maka pihak penjual akan merasa terzalimi. Jika yang melakukan pihak penjual, maka pihak pembeli tentu akan merasa terzalimi. Kezaliman tersebut akhirnya dapat memunculkan rasa saling memusuhi antara satu sama lain. (Taudhihun Nahyi ‘An Bai’I Rajul ‘ala Bai’I Akhihi, www.binbaz.org.sa)

Apakah Pengharaman Menjual Barang Di Atas Penjualan Saudaranya itu Membatalkan Akad Jual Beli?

Hukum haram yang telah menjadi Ijma’ ulama fikih terhadap praktik transaksi menjual barang di atas penjualan saudaranya ini sama dengan hukum haram yang ditetapkan oleh para ulama terhadap kasus melamar perempuan yang sedang dalam proses lamaran dengan laki-laki lain.

Baca juga: Ingin Melamar Perempuan? Baca ini dulu

Artinya, hukum haram ini tidak sampai menjadikan proses jual beli yang kedua dihukumi tidak sah/batal. Sebab, sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, alasan pengharaman ini bukan karena akad jual belinya bermasalah, namun karena sebab eksternal, yaitu timbulnya kezaliman dan permusuhan diakibatkan praktik jual beli semacam itu. Sehingga, jual beli tetap sah, namun pelakunya berdosa. Hanya mazhab Hanbali yang menyatakan bahwa akad jual beli yang kedua dianggap tidak sah dan batal. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 9/204. Syarh al-Mumthi’, 8/206. islamqa.info) Wallahu a’lam [dakwah.id]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *