dakwahid, menikah tanpa sepengetahuan orang tua, bagaimana menurut syariat

Menikah Tanpa Sepengetahuan Orang Tua, Bagaimana Pandangan Syariat Tentang Ini?

Terakhir diperbarui pada · 3,929 views

Pertanyaan:
Saya seorang wanita muslimah berdarah Cina. Saya menikah dengan seorang Muslim berdarah Lebanon. Kami menikah dengan cara Islami, namun kami terpaksa menikah tanpa sepengetahuan orang tua kami karena beberapa faktor yang sangat menyulitkan. Apakah pernikahan kami ini hukumnya haram?

 

Jawaban:

Tentang persoalan menikah tanpa sepengetahuan orang tua, jika itu terjadi karena orang tua Anda melakukan penolakan terkait dengan persoalan keislaman calon suami, atau karena orang tua lebih menginginkan Anda menikah dengan laki-laki lain yang non-Muslim, maka Anda tidak memiliki kewajiban untuk menaatinya. Anda boleh menikah tanpa sepengetahuan orang tua, tanpa harus mendapat ridha darinya.

Meski demikian, Anda tetap harus mengondisikan ini sebaik mungkin. Anda jelaskan kepada orang tua Anda bahwa agama Anda melarang seorang muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim dalam kondisi apapun.

Akan tetapi jika orang tua Anda menolak pernikahan tersebut karena faktor buruknya kondisi etika, perilaku, dan hubungan sosial calon suami yang Anda pilih, atau karena faktor lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan keislamannya, maka alangkah lebih baik Anda mencari calon suami yang memiliki kualitas etika dan perilaku yang lebih baik dimana dengan cara itu Anda akan tetap bisa mendapatkan ridha orang tua plus calon suami Muslim yang baik.

Baca Juga: Anak Zina, Bagaimana Wali dan Hak Warisnya?

Sikap tersebut termasuk bagian dari komunikasi yang baik (Mushahabah bil ma’ruf) antara seorang anak dengan orang tua—meskipun orang tuanya non-Muslim—yang diperintahkan dalam syariat Islam.

Allah ‘azza wajalla berfirman,

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)

Imam ath-Thabari menjelaskan bahwa makna ayat di atas adalah ketaatan yang tidak berkonsekuensi merusak hubunganmu dengan Allah ‘azza wajalla, maka ini boleh. (Jami’ Al-Bayan, 18/553)

Menurut Ibnu Asyur, makna Al-Ma’ruf dalam ayat di atas adalah sikap yang baik dan lemah lembut yang tidak ditolak (dalam syariat), sikapilah dengan sikap yang baik, pergaulilah kedua orang tua dengan pergaulan yang baik. (At-Tahrir wa at-Tanwir, 21/161) Jadi, di dalamnya termasuk sikap lemah lembut, musyawarah, dan kesopanan terhadap orang tua.

Apabila ternyata kesepakatan antara Anda dan orang tua untuk pilihan seorang calon suami—Muslim yang baik—tidak tercapai, maka keputusan diserahkan kepada Anda selaku wanita yang ingin menikah dengannya, sebab orang tua tidak memiliki hak untuk memaksakan kehendaknya kepada Anda. Non-Muslim tidak memiliki hak untuk mengatur—apalagi memaksa—seorang wanita Muslimah dalam persoalan pernikahan dan lainnya.

Dalam kondisi yang demikian, maka perwalian atas diri Anda dalam akad nikah diserahkan kepada kerabat laki-laki Anda yang Muslim. Jika tidak didapati, perwalian diserahkan kepada Ulama, atau pemimpin agama Islam, atau imam masjid setempat. Wallahu A’lam [dakwah.id/Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *