Daftar Isi
Dengan mengadaptasi prinsip ilmu hadits, umat Islam bisa menjaga diri dari penyebaran informasi yang salah, fitnah, dan berita hoaks yang dapat merusakan tatanan sosial serta menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Era Digital: Era Berita Hoaks Banyak Beredar
Era digital menandai masa ketika teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet dan perangkat digital, telah menjadi bagian integral dalam kehidupan manusia sehari-hari. Salah satu ciri utama era ini adalah kemudahan akses informasi kapan saja dan di mana saja, yang memungkinkan penyebaran informasi secara masif melalui internet dan media sosial.
Namun, kemudahan ini juga membawa tantangan. Tidak semua berita atau konten yang kita terima akurat. Banyak informasi hoaks atau hanya sebagian benar beredar sehingga menuntut kita untuk bersikap selektif dan berhati-hati dalam memverifikasi kebenarannya.
Menariknya, tradisi Islam sudah memiliki ilmu khusus untuk memeriksa validitas sebuah riwayat (informasi) yang dinyatakan berasal dari Nabi, yaitu ilmu mustalāḥ al-ḥadīts. Prinsip-prinsip dalam ilmu ini bisa diterapkan untuk menilai kredibilitas berita di era digital agar terhindar dari penyebaran kebohongan.
Ini penting, karena jauh-jauh hari Rasul kita telah mengingatkan,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dikatakan pendusta apabila ia menceritakan setiap apa yang didengarnya.” (HR. Muslim no. 5)
Materi Khutbah Jumat: Tips Menangkal Informasi Hoaks
Makna “mendengar” yang dimaksud di sini tentu bukan sekadar mendengar dalam artian pasif dan terbatas pada indra telinga, tapi mencakup menyimak, melihat, membaca, dan menerima pesan dari berbagai sumber digital.
Begitu juga dengan makna “menceritakan”, bukan lagi sekadar menyampaikan cerita dari lisan ke lisan, atau secara tertulis dalam buku dan surat. Tetapi, mencakup segala bentuk penyampaian (share) informasi, opini, perasaan, dan narasi melalui media digital, baik bentuknya teks, gambar, video, suara, bahkan gestur dan simbol yang dikemas dalam konten digital.
Tiga Prinsip Ilmu Hadits untuk Menyaring Informasi
Ilmu hadits sebagai salah satu cabang keilmuan Islam, yang sangat ketat dalam menyeleksi riwayat dan sumber informasi, memberikan contoh nyata tentang bagaimana semestinya umat Islam bersikap kritis dan hati-hati dalam menerima informasi.
Metodologi yang digunakan para ulama dalam memverifikasi hadits dapat diadopsi sebagai prinsip dasar dalam menyikapi informasi di era digital.
Berikut ini tiga prinsip dalam ilmu hadits kaitannya dengan menyaring informasi.
Pertama: Al-Jarḥ wa Al-Taʿdil (menilai periwayat)
Dalam ilmu hadits, jarḥ berarti mengungkap cacat perawi, sedangkan taʿdil adalah menilai kelayakan perawi. Dengan kata lain, jarh wa ta’dil adalah meneliti kredibilitas narator (perawi) hadits, apakah perawi tersebut jujur dan teliti (ʿadl dan dhabith) atau tidak.
Dr. Ajjaj al-Khatib mendefinisikan ilmu jarḥ wa taʿdil sebagai,
عِلْمُ الَّذِي يَبْحَثُ فِي أَحْوَالِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ قُبُوْلِ رِوَايَتِهِمْ أَوْ رَدِّهَا.
“Ilmu yang membahas seputar para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan.” (Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu, 168)
Artinya, seorang perawi yang dikenal bersih akhlak dan kuat ingatan lebih dapat dipercaya. Sebaliknya, kabar dari sumber yang sering tercela akhlaknya atau ingatannya lemah, harus dicurigai.
Kedua: Syarat Hadits Shahih
Sebuah hadits akan disebut shahih apabila memenuhi lima kriteria utama yang membuatnya dapat diterima sebagai dalil dalam Islam. Kelima kriteria itu adalah
- sanad bersambung (ada hubungan guru-murid hingga Rasul),
- perawi semuanya ‘ādl (adil dalam agama) dan dhābith (kuat hafalannya),
- tidak ada syādz (kejanggalan) dibanding riwayat lain,
- bebas dari ‘illat (cacat tersembunyi), dan
- isi teks tidak kontradiktif.
Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Mahmud Thahan dalam kitabnya, Taysir Mushthalah al-Hadits, hal. 44, “… setiap hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya syadz dan ‘illah.”
Ketiga: Tahqīq (verifikasi) dan Takhrīj (penelusuran)
Tahqiq (تَحْقِيق) dan takhrij (تَخْرِيج) adalah dua istilah penting dalam ilmu hadits yang sering digunakan dalam konteks penelitian dan pemahaman hadits. Keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam konteks pemanfaatannya, meskipun keduanya sama-sama bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang hadits.
Tahqiq (تَحْقِيق) secara harfiah berarti “menyelidiki secara cermat” atau “memastikan dengan teliti”. Dalam konteks hadits, tahqiq berarti melakukan penelitian dan penelusuran yang cermat terhadap hadits, termasuk verifikasi sanad (rantai periwayatan), pengecekan matan (isi hadits), dan analisis sumber hadits tersebut.
Artikel Adab: Trend Menyebarkan Berita Dusta di Era Sosial Media
Tujuan tahqiq adalah untuk memastikan keabsahan dan kebenaran hadits serta mengidentifikasi kemungkinan kesalahan atau penyimpangan.
Hampir serupa dengan tahqiq, makna takhrij menurut Dr. Mahmud Thahan dalam Ushul Takhrij wa Dirasah al-Asanid (hal.12) adalah
ٱلدَّلَالَةُ عَلَى مَوْضِعِ ٱلْحَدِيثِ فِي مَصَادِرِهِ ٱلْأَصْلِيَّةِ ٱلَّتِي أَخْرَجَتْهُ بِسَنَدِهِ، ثُمَّ بَيَانُ مَرْتَبَتِهِ عِندَ ٱلْحَاجَةِ.
“Menunjukkan tempat hadits dalam sumber-sumber asli yang memuatnya beserta sanadnya, kemudian menjelaskan derajat (kualitas) hadits tersebut jika diperlukan.”
Definisi ini menjelaskan bahwa takhrij hadits melibatkan penelusuran lokasi hadits dalam kitab-kitab induk yang menyertakan sanadnya. Proses ini juga mencakup penilaian kualitas atau derajat hadits, yang penting untuk menentukan keabsahan dan kekuatan hukumnya.
Menerapkan Prinsip Hadits dalam Menyaring Berita Hoaks Dunia Digital
Cara kerja ilmu hadits yang telah disebutkan sebelumnya memiliki relevansi yang kuat untuk diadaptasi dalam membantu kita menyaring beragam informasi di era digital.
Harapannya, dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi berbagai konten atau berita yang kita temui setiap hari di belantara media sosial yang begitu luas, sebelum mempercayai atau menyebarkannya lebih lanjut.
Berikut ini adalah langkah-langkah yang bisa diterapkan.

Pertama: Periksa Kredibilitas Penulis/Akun (Jarḥ wa Taʿdīl)
Sama seperti meneliti biografi perawi, cek dulu siapa yang menyebarkan berita. Apakah akun tersebut akuntabel, profesional, atau anonim? Akun media besar (media resmi, organisasi terpercaya) atau akun abal-abal yang tak jelas siapa pemiliknya?
Kalau sumbernya jelas dan bereputasi baik, kemungkinan berita itu valid lebih tinggi. Jika akunnya tidak jelas, maka berita dari akun tersebut patut dicurigai kebenarannya (ini semacam “jarḥ” modern terhadap sumber).
Kedua: Periksa Keterhubungan ke Sumber Asli (Sanad)
Berita di media sosial sering copy paste tanpa keterangan. Prinsip sanad bersambung menganjurkan agar setiap informasi terhubung kembali ke sumber pertama.
Artinya, kita harus usahakan mencari rujukan ke sumber asli. Misalnya link berita resmi, dokumen, atau pernyataan resmi. Jika seseorang hanya menyebarkan ulang tanpa referensi, kita perlu hati-hati.
Analoginya, kalau suatu hadits dikutip tanpa sanad lengkap, ahli hadits meragukannya.
Ketiga: Hindari Syadz dan ‘Illat (Anomali dan Cacat Tersembunyi)
Dalam ilmu hadits, syadz artinya ada penyimpangan makna atau kontradiksi dengan riwayat lain, sedangkan ‘illat adalah kelemahan (cacat) tersembunyi. Di dunia digital, syadz bisa diartikan sebagai konten yang aneh atau bertentangan dengan informasi terpercaya lain.
Contohnya, berita yang terkesan mencolok atau tidak konsisten dengan fakta umum, patut diwaspadai. Kadang, aslinya itu berita hoaks, tapi disisipkan fakta kecil yang benar sehingga seolah-olah itu benar seluruhnya, padahal narasinya keliru.
Di sinilah pentingnya membandingkan berita dengan sumber lain atau data akurat. Jika sebuah kabar hanya muncul di satu tempat (grup WhatsApp misalnya), tetapi tidak ada laporan di media besar, kemungkinan besar itu berita hoaks.
Keempat: Tahqīq dan Takhrīj Era Modern
Cara lain untuk memastikan informasi itu benar atau tidak, kita bisa melakukan “tahqiq” atau menelusuri jejak digitalnya. Cek jadwal posting (apakah diperbarui baru-baru ini, atau sudah lawas), bandingkan dengan unggahan orang lain, dan cari konfirmasi dari lembaga resmi.
Misal, kita dapat foto atau video viral, coba cek dengan reverse image search (gambar reverse) untuk melihat apakah foto atau video itu sudah pernah dipakai dalam konteks berbeda atau belum.
Sedangkan prinsip takhrīj mengajak kita untuk mencari sumber primer dari informasi yang kita dapat: siapa yang pertama kali menyebarkan, dari mana asalnya. Alur verifikasi ini mirip upaya muhaddits (ahli hadits) yang mencari kitab matan hadits di mana saja dan menggali sanad-riwayatnya.
Baca juga: Menjadi Raja Najasyi Raja Habasyah yang Teliti Informasi
Contoh penerapan sederhana: bayangkan ada video yang beredar di WhatsApp berisi klaim kontroversial. Kalau kita pakai prinsip ilmu hadits di atas, maka cara verifikasinya adalah
(1) Periksa akun pengunggah. Apakah itu sumber resmi (misal, akun media nasional dan akun lembaga pemerintah) atau akun pribadi tak dikenal?
(2) Cari sumber asli. Lacak apakah berita sama dimuat di situs berita besar atau sumber independen.
(3) Bandingkan fakta. Cek tanggal, waktu, lokasi dalam video: apakah sesuai dengan kejadian sebenarnya? Jika ada yang mencurigakan (syadz), berhati-hatilah.
(4) Telusuri lagi. Tanyakan apakah ada sumber resmi atau narasumber yang dikutip. Jika tidak, maka berita tersebut belum terverifikasi, maknanya, kredibilitasnya harus diragukan.
Prinsip-prinsip ini semuanya berakar kuat dalam tradisi keilmuan Islam. Seyogianya prinsip-prinsip tersebut menjadi perhatian utama bagi umat Islam karena ia mencerminkan tingkat literasi yang tidak hanya luas, tapi juga mendalam dan bertanggung jawab.
Dengan mengadaptasi prinsip ilmu hadits, umat Islam bisa menjaga diri dari penyebaran informasi yang salah, fitnah, dan berita hoaks yang dapat merusakan tatanan sosial serta menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Tentu saja, menjaga kebenaran informasi bukan sekadar soal teknis, tapi juga bagian dari menunaikan adab Islam. Sebab sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi, menyebarkan kabar berita tanpa proses verifikasi termasuk perbuatan tercela.
Dengan menyelaraskan turats (warisan keilmuan klasik) dalam ilmu hadits dengan teknologi modern ini, kita turut berkontribusi dalam membangun masyarakat informasi (netizen) yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Wallahu a’lam.(Ashabul Yamin/dakwah.id)
Penulis: Ashabul Yamin
Artikel Refleksi terbaru: