Membatalkan Shalat dengan Sengaja itu Tidak Boleh-dakwah.id

Membatalkan Shalat dengan Sengaja itu Tidak Boleh, Kecuali Jika…

Terakhir diperbarui pada · 4,785 views

Peristiwa gempa bumi di Lombok Utara menyisakan beberapa persoalan fikih, di antaranya adalah hukum membatalkan shalat dengan sengaja karena sebab ada gempa. Persoalan ini menjadi pembicaraan netizen di berbagai ruang sosial media seperti group whatsapp, group telegram,  dan laman facebook.

Di internet tersebar dua video tentang persoalan membatalkan shalat ini. Mengingat gempa berkekuatan hingga 7 skala richter tersebut berlangsung tidak jauh dari waktu shalat maghrib.

Video pertama merekam suasana jamaah shalat yang mulai meninggalkan shaf masing-masing dalam shalat jamaah yang sedang berlangsung. Imam shalat pun juga ikut membatalkan shalat lalu langsung berusaha keluar dari masjid. Dalam hal ini, mereka membatalkan shalat dengan sengaja karena sebab adanya gempa bumi.

Tak lama kemudian, seiring dengan goncangan bumi yang semakin keras, langit-langit masjid yang berada tepat di atas shaf pertama dan shaf kedua pun runtuh. Alhamdulillah tak ada korban jiwa. Berikut ini rekaman video tersebut:

Video yang kedua menampilkan rekaman yang bertolak belakang. Dalam rekaman video ini justru tampak imam shalat yang tetap bertahan untuk tidak membatalkan shalatnya meskipun goncangan akibat gempa bumi terasa begitu kuat.

Imam shalat tampak berusaha untuk mempertahankan posisi berdirinya. Karena goncangan yang cukup kuat, ia pun mencoba untuk mencari sandaran dengan tangan kirinya. Imam shalat tersebut membaca ayat kursi yang di baca secara berulang-ulang di bagian awalnya. Suara bacaan beliau semakin menguat seiring dengan semakin kuatnya goncangan akibat gempa.

Dalam rakaman video tersebut tampak beberapa jamaah yang mengikuti imam untuk tetap melanjutkan shalat. Sementara beberapa yang lain memilih untuk membatalkan shalat dengan sengaja lalu bergegas keluar dari masjid.

Jamaah yang tetap melanjutkan shalat dan posisinya agak di belakang akhirnya berusaha maju untuk mengisi shaf depan yang kosong sembari tetap bertahan untuk berdiri di saat goncangan gempa bumi semakin menguat.

Belakangan diketahui peristiwa ini terjadi di Mushalla asy-Syuhada BLK di Bali. Shalat jamaah tersebut diimami oleh Ustadz Arafat Abdulghani Muhammed asal Yaman. Berikut rekaman video tersebut:

Prinsip Hukum Islam Terkait Hukum Membatalkan Shalat dengan Sengaja

Ibadah shalat itu ada yang hukum pelaksanaannya wajib—seperti shalat fardhu lima waktu, ada juga yang hukumnya sunnah.

Perbedaan hukum ini ternyata berdampak juga pada hukum membatalkan shalat dengan sengaja. Para ulama fikih membedakan antara hukum membatalkan shalat dengan sengaja jika terjadi pada shalat wajib dengan hukum membatalkan shalat dengan sengaja jika terjadi pada shalat sunnah.

Kaidah baku dalam prinsip hukum Islam menyatakan,

قَطْعُ الْعِبَادَةِ الْوَاجِبَةِ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِيهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ غَيْرُ جَائِزٍ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ

Membatalkan ibadah yang hukumnya wajib setelah datang waktu syariat pelaksanaannya tanpa uzur syar’i adalah dilarang berdasar kesepakatan para ulama.” (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 34/51, versi al-Maktabah asy-Syamilah)

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33) 

Jika ditarik ke dalam permasalahan shalat fardhu, maka membatalkan shalat dengan sengaja tanpa uzur syar’i hukumnya adalah haram.

Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan,

إذَا دَخَلَ فِي صَلَاةٍ مَفْرُوضَةٍ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا حَرُمَ عَلَيْهِ قَطْعُهَا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَإِنْ كَانَ الْوَقْتُ وَاسِعًا

“Jika seseorang berada dalam posisi sedang shalat di awal waktunya, haram bagi dirinya membatalkan shalat tersebut dengan sengaja tanpa uzur syar’i, meskipun waktu kesempatan untuk melaksanakannya masih banyak.” (Majmu’ Syarh al-muhadzab, Imam an-Nawawi, 2/315)

 

Membatalkan Shalat dengan Sengaja dalam Shalat Sunnah

Adapun tentang hukum membatalkan ibadah yang hukumnya sunah/tathawwu’ setelah tiba waktu syariat pelaksanaannya, para ulama berbeda pendapat.

Ulama fikih mazhab Hanafi dan mazhab Maliki berpendapat tidak boleh membatalkan ibadah sunnah/tathawwu’ setelah tiba waktu syariat pelaksanaannya tanpa uzur syar’i seperti halnya ibadah fardhu. Maka wajib menyempurnakannya. Sebab, meskipun hukumnya sunnah, tetaplah merupakan bentuk ibadah yang dituntut pelaksanaannya dengan sempurna secara syar’i, tidak boleh membatalkannya begitu saja.

Sedangkan ulama mazhab Syafii dan mazhab Hambali berpendapat boleh membatalkannya kecuali ibadah Haji dan Umrah (maksudnya Haji setelah Haji pertama; Haji pertama hukumnya wajib, Haji berikutnya sunnah). Namun, dianjurkan untuk tetap mengusahakan kesempurnaan pelaksanaan ibadah sunnah ini.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِينُ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ صَامَ وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

Orang yang berpuasa sunnah lebih berhak atas dirinya, jika ingin maka boleh membatalkan atau menyempurnakan puasanya.” (HR. At-Tirmidzi No. 664) 

 

Uzur Bolehnya Membatalkan Shalat dengan Sengaja

Larangan membatalkan shalat dengan sengaja berlaku ketika tidak ada uzur syar’i yang menggugurkan hukum larangan tersebut. Tapi jika ada uzur syar’i, seseorang boleh membatalkan shalatnya dengan sengaja.

Persoalannya, seperti apa kriteria uzur yang dimaksud sehingga itu bisa disebut sebagai uzur syar’i?

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid Fakkallahu asrah menjelaskan,

اَلْأَعْذَارُ الشَّرْعِيَّةُ الَّتِي تُبِيْحُ قَطْعَ الصَّلَاةِ مِنْهَا مَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ النَّبَوِيَّةُ، وَيُقَاسُ عَلَيْهَا مَا هُوَ مِثْلُهَا أَوْ أَوْلَى

“Uzur-uzur syar’i yang membolehkan membatalkan shalat dengan sengaja di antaranya telah ditunjukkan berdasar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan proses qiyas ulama terhadap masalah yang serupa dengan yang ada di dalam hadits atau yang lebih prioritas dari itu.”

Para ulama fikih menyebutkan ada beberapa kondisi yang menjadi uzur syar’i untuk boleh membatalkan shalat dengan sengaja. Di antaranya:

  1. Takut kehilangan nyawa, baik karena sebab ancaman serangan musuh, serangan binatang buas.
  2. Takut kehilangan harta.
  3. Ada orang yang membutuhkan pertolongan darurat dimana tidak ada orang lain yang dapat menolongnya.

Jadi, seseorang boleh membatalkan shalat dengan sengaja ketika takut terhadap serangan musuh yang datang secara tiba-tiba.

Seseorang juga boleh membatalkan shalat dengan sengaja jika di dekat tempat dia shalat terdapat binatang buas atau binatang beracun yang sewaktu-waktu dapat menyerang dirinya.

Seseorang juga boleh membatalkan shalat dengan sengaja jika khawatir ketika ada orang lain yang akan mengambil harta benda miliknya.

Seseorang juga boleh, bahkan wajib, untuk membatalkan shalat dengan sengaja ketika ada orang lain yang membutuhkan pertolongan darurat, sementara di dekatnya tidak ada orang yang dapat menolongnya. Seperti menolong orang yang tenggelam, menolong orang dari kebakaran, mengingatkan orang lain terhadap bahaya yang akan berpotensi mengancam keselamatan nyawanya, dan semisalnya. (Raddul Mukhtar, 1/654; Al-Mabsuth, 2/3, Kasyaful Qina’, 1/380)

Seseorang juga boleh membatalkan shalatnya dengan sengaja apabila ada kekhawatiran dengan tampaknya keislaman dirinya akan membuat keluarganya yang non-muslim marah dan menimbulkan kemudaratan yang mengancam nyawa dirinya. (Fatwa Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid No. 65682) 

Jadi, secara umum prinsip dasar dari uzur syar’i bolehnya membatalkan shalat dengan sengaja adalah Daf’u adh-Dharar: menghindari potensi kemudaratan yang mengancam; baik mengancam diri pelakunya atau mengancam diri orang yang ada di sekelilingnya.

Dari Ubadah bin ash-Shamit ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa tidak boleh berbuat mudarat dan hal yang menimbulkan mudarat.” (HR. Ibnu Majah No. 2331) 

 

 

Jika Imam Membatalkan Shalat dengan Sengaja Apa yang harus Dilakukan Makmum?

Jika imam membatalkan shalat dengan sengaja baik karena ada uzur atau bukan karena uzur, baik karena imam telah salam atau karena sebab lainnya, maka terputuslah status kemakmuman jamaah shalat yang mengikutinya. (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 34/51)

Dengan demikian, makmum yang shalat di belakang imam tersebut akhirnya berstatus sebagai munfarid (shalat sendiri). Ia tetap wajib melaksanakan shalatnya hingga sempurna. Ia tidak wajib mengikuti imam untuk membatalkan shalatnya. Dalam hal ini, hadits “Sesungguhnya ditetapkannya imam itu adalah untuk diikuti” tidak berlaku.

Lalu apakah kemudian makmum melanjutkan shalatnya sendiri-sendiri?

Jika imam tidak menyerahkan posisi keimamannya kepada jamaah yang ada di belakangnya sebagai pengganti imam, maka para makmum boleh menyelesaikan sisa shalatnya sendiri-sendiri (shalat munfarid).

Alternatif lain, makmum memilih salah satu di antara mereka untuk maju menjadi imam pengganti dengan cara mendorongnya maju ke tempat imam, atau salah satu dari makmum—terutama yang posisi berdirinya tepat di belakang imam—berinisiatif untuk maju menggantikan posisi imam.

Namun, yang lebih utama adalah ketika imam membatalkan shalat dengan sengaja, apapun penyebabnya, hendaknya ia segera memilih salah satu dari makmum untuk menggantikan posisinya sebagai imam, agar tidak timbul kebingungan dan kegaduhan di antara para makmum yang shalat di belakangnya. Demikian penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah

 

Membatalkan Shalat dengan Sengaja Karena Sebab Terjadinya Gempa Bumi

Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa secara umum prinsip dasar dari uzur syar’i bolehnya membatalkan shalat dengan sengaja adalah Daf’u adh-Dharar: menghindari potensi kemudaratan yang mengancam; baik mengancam diri pelakunya atau mengancam diri orang yang ada di sekelilingnya.

Sehingga, membatalkan shalat dengan sengaja yang pada mulanya hukumnya haram menjadi boleh, bahkan wajib, dalam rangka menghindari potensi kemudaratan yang dapat mengancam keselamatan jiwa.

Gempa bumi adalah fenomena alam yang lazim terjadi. Secara kauniyah, Gempa bumi adalah getaran atau getar-getar yang terjadi di permukaan bumi akibat pelepasan energi dari dalam secara tiba-tiba yang menciptakan gelombang seismik. Gempa Bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak Bumi (lempeng Bumi).

Secara qauliyah, terjadinya gempa bumi—termasuk peristiwa alam lainnya—membawa pesan musibah bagi manusia yang tinggal di permukaan bumi baik berupa peringatan, atau bahkan azab.

Apakah setiap ada gempa bumi itu menjadi uzur untuk membatalkan shalat dengan sengaja, jika qadarullah gempa tersebut bertepatan dengan waktu pelaksanaan shalat?

Belum tentu. Sebab, gempa bumi itu memiliki ukuran kekuatan efek goncangan yang beragam. Seberapa besar dampak kerusakan akibat gempa bumi tergantung pada seberapa jarak titik pusat gempa (hiposentrum) dengan permukaan bumi.

Inilah yang dijadikan pertimbangan apakah gempa bumi yang terjadi dapat menjadi uzur syar’i bolehnya membatalkan shalat dengan sengaja atau tidak. Tidak semua bentuk gempa bumi dapat dijadikan uzur untuk membatalkan shalat dengan sengaja.

Seseorang yang sedang melaksanakan shalat lalu merasakan getaran gempa yang menurut perkiraan dan prediksi dirinya goncangan gempa tersebut dapat membahayakan dirinya dengan mencermati indikasi yang terjadi (seperti terdengar suara rangka bangunan atau tembok yang retak, kaca jendela pecah, dan semisalnya), maka dalam kondisi seperti ini ia dibolehkan, bahkan wajib, membatalkan shalatnya dengan sengaja dalam rangka menyelamatkan dirinya dari kemungkinan bahaya yang akan terjadi.

Namun jika guncangan akibat gempa tersebut hanya sekedar guncangan ringan yang tidak diikuti dengan adanya indikasi akan terjadinya hal-hal yang membuat dirinya dalam bahaya, maka hendaknya ia tetap bertahan melanjutkan shalatnya.

Yang dapat mengukur dan memprediksi apakah suatu goncangan akibat gempa bumi tersebut berpotensi membahayakan nyawa adalah diri sendiri. Dalam hal ini memang dibutuhkan kejujuran dalam menilai situasi. Wallahu a’lam. [Shodiq Fajar]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *