materi kultum ramadhan taubat nasuha di malam istimewa dakwah.id

Materi Kultum 27: Taubat Nasuha di Malam Istimewa

Terakhir diperbarui pada · 3,098 views

Tulisan yang berjudul Taubat Nasuha di Malam Istimewa adalah seri ke-27 dari serial Materi Kultum Ramadhan yang ditulis oleh ustadz Muhammad Faishal Fadhli.

Apabila kita diberi kesempatan untuk melihat kerajaan langit; menyaksikan secara langsung bagaimana Allah membagi-bagikan rahmat-Nya kepada umat manusia, kemudian pada saat yang sama, kita juga melihat kebanyakan manusia justru berbuat durhaka kepada Allah, niscaya kita akan marah dan ingin membinasakan orang-orang yang berbuat dosa. Marah, karena mereka tidak mensyukuri nikmat dari Allah, bahkan membangkang dan berbuat kerusakan di muka bumi.

Kemarahan inilah yang dialami oleh khalilullah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dalam surat Al-An’am ayat 75 disebutkan,

وَكَذٰلِكَ نُرِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلِيَكُوْنَ مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ

Wa każālika nurī ibrāhīma malakụtas-samāwāti wal-arḍi wa liyakụna minal-mụqinīn.

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.”

Maksud dari ayat ini adalah, Nabi Ibrahim pernah diangkat ke langit. Beliau menyaksikan langsung betapa agungnya kerajaan dan kekuasaan Allah, baik di langit maupun di bumi.

Dalam kesempatan itu, beliau juga diperlihatkan bagaimana manusia-manusia yang ada di bumi, melakukan berbagai kemaksiatan dan kejahatan. Saat itulah Nabi Ibrahim marah besar.

Padahal, dalam surat Hud ayat 75 dikatakan bahwa beliau adalah orang yang sangat lembut dan pengasih,

اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ لَحَلِيْمٌ اَوَّاهٌ مُّنِيْبٌ

Inna ibrāhīma laḥalīmun awwāhum munīb.

Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.”

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, diceritakan bahwa setiap kali Nabi Ibrahim melihat manusia yang sudah sangat keterlaluan dalam berbuat dosa, beliau berdoa kepada Allah agar Dia membinasakan orang tersebut.

Kemudian Allah mengabulkan doa sang nabi. Kejadian ini berulang sampai tiga kali.

Bayangkan, sekelas Nabi Ibrahim yang sangat pengasih itu, ternyata bisa murka kepada manusia yang berbuat keji.

Melihat bagaimana reaksi Nabi Ibrahim, maka Allah memberi nasihat kepadanya,

Jangan tergesa-gesa wahai Ibrahim. Sesungguhnya, engkau termasuk orang yang doanya dikabulkan. Dan sesungguhnya Aku mengharapakan beberapa sifat dari hamba-Ku:”

Adakalanya dia bertaubat sebelum meninggal dunia, dan Aku berkenan menerima taubatnya. Adakalanya dia dapat melahirkan keturunan yang mengingat-Ku. Namun ada kalanya juga dia berpaling, maka neraka Jahannam telah menunggunya.”

Hadits ini tercantum dalam Mushannaf Abi Syaibah. Juga ditulis oleh Imam As-Suyuthi dalam tafsirnya, Ad-Durr Al-Mantsur.

Apa hikmah dari kisah di atas?

Pertama, setiap kita berpotensi merasa jengkel dan marah saat melihat kemunkaran. Layaknya Nabi Ibrahim yang marah dan tidak tinggal diam saat menyaksikan seorang hamba berbuat maksiat.

Kedua, sesungguhnya rahmat Allah sangat besar, dan lebih luas dari pada murka-Nya. Kisah di atas menjelaskan bahwa Allah selalu membuka pintu ampunan kepada para pelaku maksiat yang mau bertaubat dengan taubat nasuha.

Ketiga, kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang hamba bisa mendatangkan azab jika pelakunya menyia-nyiakan kesempatan taubat.

Keempat, adakalanya, anak keturunan seorang pendosa, Allah takdirkan menjadi lebih saleh daripada ayah mereka. Karena hidayah adalah hak mutlak Allah Ta’ala.

Dari kisah tersebut, kita juga bisa mengambil faidah bahwa pembicaraan tentang maksiat dan dosa, tidak selalunya harus disikapi dengan amarah yang membabi buta.

Cobalah memandang dosa dengan sudut pandang rahmat. Karena kemaksiatan yang dikerjakan oleh seroang mukmin, tentu bukan karena ia lancang atau menantang Allah.

Maksiat itu diperbuat karena ia kalah dalam berperang melawan dirinya sendiri, dan gagal mengenyahkan godaan syetan.

Lain halnya jika yang bermaksiat adalah orang-orang kafir dan kaum munafik. Mereka sengaja melakukan dosa dalam rangka menantang murka Allah yang Maha Kuasa.

Apalagi jika perbuatan maksiat itu ditinjau dari sudut pandang rububiyah Allah, maka maksiat atau kemunkaran itu tidaklah terjadi kecuali karena kehendak Allah yang ingin menampakkan diri-Nya bahwa hanya Dia-lah yang Maha Sempurna. Sekaligus Allah ingin menunjukkan kelemahan serta kehinaan hamba-hamba-Nya. Ini menurut pendapat Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.

Maksudnya, di antara ‘hikmah’ dari perbuatan dosa adalah Allah ingin memperlihatkan kepada kita semua, bahwa kita sangat membutuhkan rahmat-Nya. Jikalau bukan karena dosa, anak cucu Adam akan binasa akibat sikap ujub (merasa hebat) yang bertumbuh di dalam dada.

Maka dari itu, menurut Ibnu Qayyim, sebuah dosa yang membuat seseorang merasa hina, jauh lebih baik dari pada ketaatan yang membuatnya sombong dan merasa suci.

Beliau juga menjelaskan bahwa setiap dosa yang sudah terjadi merupakan konsekuensi dari Asma’ul Husna, sepeti Al-’Afwu (Maha Pemaaf), Al-Ghofur (Maha Pengampun), At-Tawwab (Maha menerima taubat), Al- Halim (Yang Maha Murah hati dan penuh toleransi), Al-Lathif (Maha Lembut) dan sebagainya.

Sifat-sifat ini tentu saja diperuntukkan bagi mereka yang menyesal, istighfar, dan bertaubat.

Adapun sifat-sifat Allah yang lain seperti Al-‘Adl (Maha Adil), Dzu Bathsyin Syadīd (Sang Pemilik siksa yang pedih), akan ditampakkan kepada mereka yang terus menerus bergelimang dosa.

Masih tentang sisi lain dari kemaksiatan, menurut Ibnu Qayyim, dosa itu ibarat penyakit dan taubat nasuha seumpama obatnya. Boleh jadi, seseorang justru semakin sehat setelah ditimpa penyakit; menjadi semakin taat setelah melakukan taubat nasuha dari maksiat.

Persis seperti bait-bait Al-Mutanabbi, seorang penyair kondang yang berkata,

لَعَلَّ عَتْبَكَ مَحْمُودٌ عَوَاقِبُهُ فَرُبَّمَا صَحَّتِ الْأَجْسَامُ بِالْعِلَلِ

La’alla ‘atbaka mahmūdun ‘awāqibuhu. Wa rubbamā shahhatil ajsādu bi al-‘Ilali.

Boleh jadi celaan hari ini akan menjelma pujian di kemudian hari. Dan boleh jadi tubuh menjadi sehat setelah ditimpa penyakit.”

Di sepuluh malam terakhir ini, saat kita sedang i’tikaf dan mencari malam Lailatul Qadr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan kepada kita untuk memperbanyak doa, taubat dengan taubat nasuha, taubat yang sebenar-benarnya, agar diberi ampunan atas segola dosa.

Hal ini menunjukkan bahwa momentum terbaik untuk menginsyafi dosa-dosa adalah di malam istimewa, malam Lailatul Qadar, yang sengaja Allah rahasiakan agar kita giat dalam beribadah. Marilah kita gunakan kesempatan ini, dengan sebaik-baiknya dengan memperbanyak amal saleh dan taubat nasuha.

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى

Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf, dan Engkau menyukai permaafan. Maka, maafkanlah salah khilafku.”

Wallāhul muwaffiq ilā aqwamith tharīq. (Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)

Baca juga artikel Materi Kultum Ramadhan atau artikel menarik lainnya karya Muhammad Faishal Fadhli.

Penulis: Muhammad Faishal Fadhli
Editor: Sodiq Fajar

Artikel Materi Kultum Ramadhan sebelumnya dapat diakses di sini:

Topik Terkait

Muhammad Faishal Fadhli

Pengkaji Literatur Islami. Almnus Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor angkatan 14.

1 Tanggapan

Menyentuh kalbuku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *