Materi Khutbah Jumat | Tema: Jujur
Jujur itu Berat, tapi Harus!
Oleh: Sodiq Fajar
- Link download PDF materi khutbah Jumat ada di akhir tulisan.
- Jika ingin copy paste materi khutbah Jumat ini untuk keperluan repost di media lain, silakan baca dan patuhi ketentuannya di sini: copyright
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حَيْثُ قَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
وَقَالَ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ. أَمَّا بَعْدُ:
Jamaah khutbah Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah,
Pertama, kami wasiatkan kepada diri kami dan kepada jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan kualitas iman dan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Karena pada hakikatnya, apa yang kita cari dan kita lakukan di dunia ini semuanya kembali kepada tujuan yang satu, menghamba kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebenar-benarnya.
Jamaah khutbah Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah,
Seorang muslim wajib berlaku jujur dalam perkataan, perbuatan, dan keyakinannya. Sebab, sesungguhnya kejujuran itulah yang akan mengangkat seseorang ke level derajat yang sangat tinggi baik di hadapan Allah ‘azza wajalla ataupun di hadapan makhluk-Nya.
Apa itu kejujuran? Apa itu ash-Shidqu?
Kejujuran adalah menyelaraskan antara yang tampak dan yang tersembunyi, yang diperlihatkan di hadapan manusia atau pun yang disembunyikan dari mereka, dengan tidak melakukan kedustaan antara hati, perkataan, dan perbuatan seseorang.
Jamaah khutbah Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah,
Kejujuran adalah akhlak yang sangat mulia. Karakter jujur ini tidak akan melekat kecuali pada diri orang-orang yang memiliki hati yang lurus. Oleh karena itu, Allah ‘azza wajalla memerintahkan hamba-Nya agar selalu mendekat dan membersamai orang-orang yang jujur setelah memerintahkan untuk bertakwa.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Tawbah: 119)
Kejujuran adalah akhlak yang dimiliki oleh para Nabi. Bahkan, kejujuran inilah karakter pertama yang selalu tampak pada diri setiap nabi sejak sebelum diutus sebagai seorang Nabi.
Dengan berbekal akhlak kejujuran inilah para Nabi diutus oleh Allah ‘azza wajalla untuk memerangi segala bentuk kedustaan yang telah menyeret manusia menuju jurang kejahiliyahan.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَاذْكُرْ فِى الْكِتٰبِ اِبْرٰهِيْمَ ەۗ اِنَّهٗ كَانَ صِدِّيْقًا نَّبِيًّا
“Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Kitab (Al–Quran), sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat membenarkan, seorang Nabi.” (QS. Maryam: 41)
Dalam surat Maryam ayat 54 Allah ‘azza wajalla juga berfirman tentang akhlak jujur pada Nabi Ismail ‘alaihissalam,
وَاذْكُرْ فِى الْكِتٰبِ اِسْمٰعِيْلَ ۖاِنَّهٗ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلًا نَّبِيًّا ۚ
“Dan ceritakanlah (Muhammad), kisah Ismail di dalam Kitab (Al–Quran). Dia benar-benar seorang yang benar janjinya, seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam: 54)
Karena betapa mulianya manusia yang memiliki akhlak kejujuran inilah sampai-sampai orang jahiliyah pun tak berkutik manakala bersosial dengan mereka. Bahkan, mereka pun akhirnya harus mengakui kejujuran orang tersebut sebagaimana posisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendapat julukan al-Amiin dari orang-orang jahiliyah di Mekkah saat itu.
Jamaah khutbah Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah,
Jujur itu berat. Apalagi ketika kondisi diri kita terlanjur terbiasa berdusta. Kenapa? Karena memang kejujuran itu sebenarnya bentuk akhlak yang mampu membangun kepribadian seseorang yang positif dan kuat.
Oleh sebab itu setan selalu berusaha, mengerahkan segala daya upaya untuk menjerumuskan manusia ke dalam jurang kedustaan. Dan setan telah mempersiapkan jurang kedustaan itu sedemikian rupa sehingga siapa pun yang telah terjerumus ke dalamnya, ia akan sulit keluar dari lingkaran jurang tersebut.
Tujuan setan hanya satu, yaitu menghancurkan kepribadian positif manusia, sehingga ia tersesat selama-lamanya.
Itulah mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingatkan umatnya tentang pentingnya akhlak kejujuran ini.
Beliau bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ؛ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا.
“Wajib atas kalian berlaku jujur, karena sesungguhnya jujur itu menunjukkan (pelakunya) kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan kepada surga. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur.”
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ؛ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Dan jauhilah oleh kalian sifat dusta, karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan pelakunya kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada api neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk selalu berdusta sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim)
Jamaah khutbah Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah,
Seseorang yang senantiasa menghiasi dirinya dengan akhlak kejujuran, dengan izin Allah ‘azza wajalla, ia akan selalu mendapatkan ketenangan hati. Jaminan ini telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ؛ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ، وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah segala yang meragukanmu kepada segala yang tidak meragukanmu. Karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada ketenangan, dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada keragu-raguan.” (HR. At-Tirmidzi No. 2518; Hadits Shahih)
Jamaah khutbah Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah,
Derajat kejujuran tertinggi adalah kejujuran lisan. Menjaga lisan untuk tetap jujur adalah upaya yang cukup berat. Sebab, untuk merealisasikan kejujuran lisan ini, seseorang harus senantiasa memerhatikan tiga hal sebelum menggerakkan lisannya untuk berucap.
Pertama, ia harus jujur dalam menyampaikan informasi. Informasi yang ia terima dari pihak lain; baik itu dari atasannya, atau dari saudaranya, atau dari sumber lainnya, harus disampaikan dengan sejujur-jujurnya.
Ia tidak boleh menambah atau mengurangi informasi tersebut, apalagi menyengaja untuk mengubah informasi tersebut, sehingga orang yang mendapat informasi dari dirinya menjadi tersesat tanpa disadari.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurāt: 6)
Kedua, menghindari buruk sangka dan angan-angan palsu atau klise. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ؛ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Waspadalah dengan buruk sangka karena buruk sangka adalah sejelek-jeleknya perkataan dusta.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Ketiga, waspada membicarakan setiap informasi yang didapat. Tidak setiap informasi yang didapat harus disampaikan kepada orang lain.
Ada keadaan dimana kita harus diam meskipun kita tahu terhadap satu informasi, di samping ada keadaan yang memang menuntut kita untuk menyampaikan suatu informasi kepada seseorang.
Ada kalanya kita harus tidak berkata-kata, tidak menuliskannya di sosial media. Karena bisa jadi, jika kita memaksakan diri untuk melakukan itu, justru akan menimbulkan fitnah dan kegaduhan bagi siapa yang membaca atau mendengarnya. Bisa jadi jika memaksakan diri untuk menyampaikan itu, orang yang membaca atau mendengarnya tidak dapat memahami dengan baik, atau akan membuat kesimpulan yang keliru.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukup seseorang itu disebut berdusta ketika ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Jamaah khutbah Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah,
Derajat kejujuran yang kedua adalah kejujuran dalam niat dan keinginan. Setiap bentuk niat, keinginan, perencanaan, motivasi untuk berbuat, seluruhnya jujur diniatkan demi Allah ‘azza wajalla.
Seluruh bentuk perbuatan dan aktivitas yang tampak di hadapan manusia harus selaras dengan amalan hati yang tak kasat mata.
Jika seseorang mengucapkan atau menuliskan sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang ada di dalam hatinya, maka ini menunjukkan keringnya kejujuran dalam persoalan niat.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
يَقُوْلُوْنَ بِاَلْسِنَتِهِمْ مَّا لَيْسَ فِيْ قُلُوْبِهِمْۗ
“Mereka mengucapkan sesuatu dengan mulutnya apa yang tidak ada dalam hatinya.” (QS. Al-Fath: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkisah tentang tiga jenis orang yang termasuk golongan yang pertama kali disungkurkan di neraka.
Yang pertama adalah orang yang mengaku di hadapan Allah ‘azza wajalla yang meninggalnya mati syahid. Kemudian Allah ‘azza wajalla berfirman,
كَذَبْتَ. وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ.
“Engkau dusta, akan tetapi engkau mati agar disebut sebagai pejuang.”
Kemudian orang kedua adalah orang yang di hadapan Allah ‘azza wajalla mengaku sebagai orang yang berilmu ketika di dunia. Kemudian Allah ‘azza wajalla berfirman,
كَذَبْتَ. وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ.
“Engkau dusta, akan tetapi engkau mempelajari ilmu agar disebut sebagai orang yang berilmu.”
Orang yang ketiga mengaku di hadapan Allah ‘azza wajalla sebagai orang yang dermawan. Kemudian Allah ‘azza wajalla berfirman,
كَذَبْتَ. وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ
“Engkau dusta, akan tetapi engkau melakukan itu (infaq harta) agar disebut sebagai dermawan.”
Kemudian ketiga jenis orang tersebut diseret di atas wajahnya lalu dilemparkan ke dalam neraka karena ketidakjujurannya di hadapan Allah ‘azza wajalla. (HR. Muslim)
Jamaah khutbah Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah,
Derajat kejujuran ketiga setelah kejujuran lisan dan kejujuran niat adalah kejujuran perbuatan.
Kejujuran ini juga berat karena seseorang dituntut untuk selalu menyelaraskan antara perbuatan yang ia lakukan di hadapan manusia lainnya dengan perbuatan yang ia lakukan dalam kesendirian.
Setan selalu menjebak hamba-hamba Allah ‘azza wajalla dengan perkara ini. Kita sering mendapati, atau bahkan itu diri kita sendiri, seseorang yang terlihat khusyuk ketika shalatnya dilihat oleh orang lain. Namun ketika ia shalat dalam kesendirian, ia lakukan itu tanpa kekhusyukan. Di hadapan orang lain tampak khusyuk, namun sejatinya hatinya tidak sedang khusyuk.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah berpesan, “Mintalah perlindungan kepada Allah ‘azza wajalla dari Khusyuk Nifaq!”
Lalu orang-orang di sekeliling beliau bertanya, “Apa itu Khusyuk Nifaq?”
Beliau menjawab, “Ketika engkau melihat jasad seseorang tampak khusyuk, namun hatinya tidak sedang khusyuk.” (HR. Ahmad No. 769 dalam kitab az-Zuhdu, 1/117)
Jamaah khutbah Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah,
Derajat kejujuran keempat adalah kejujuran dalam menepati perjanjian dan kesepakatan. Baik itu perjanjian atau kesepakatan terkait waktu, tempat, atau pun perihal tertentu.
Kejujuran ini termasuk kejujuran yang jarang kita temui pada diri seseorang, bahkan diri kita sendiri. Kita dapati banyak sekali janji-janji yang tidak ditepati, kesepakatan-kesepakatan yang dikhianati, dan persetujuan-persetujuan yang dilanggar.
Ada tiga bentuk perjanjian dan kesepakatan yang sering tidak ditepati seseorang.
Pertama, perjanjian dan kesepakatan dengan Allah ‘azza wajalla.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللّٰهِ اِذَا عَاهَدْتُّمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْاَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّٰهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ
“Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah, setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. An-Nahl: 91)
Mentauhidkan Allah ‘azza wajalla dalam ibadah, berhukum hanya kepada hukum Allah ‘azza wajalla, mengingkari thaghut, dan senantiasa menegakkan syariat Allah ‘azza wajalla, semua ini adalah perjanjian kita kepada Allah ‘azza wajalla yang terangkum dalam kalimat syahadat laa ilaaha illallah. Maka, perjanjian dan kesepakatan tersebut wajib hukumnya untuk ditepati bagi siapa pun yang beriman kepada Allah ‘azza wajalla.
Kedua, perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
اِذَا جَاۤءَكَ الْمُنٰفِقُوْنَ قَالُوْا نَشْهَدُ اِنَّكَ لَرَسُوْلُ اللّٰهِ ۘوَاللّٰهُ يَعْلَمُ اِنَّكَ لَرَسُوْلُهٗ ۗوَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ لَكٰذِبُوْنَۚ
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa engkau adalah Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munāfiqūn: 1)
Menepati perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menghidupkan sunnah-sunnah beliau, membela ketika ada orang yang menghina dan melecehkan beliau, yang semua ini terangkum dalam kalimat syahadat wa asyhadu anna muhammadan rasulullah.
Jamaah khutbah Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah,
Ketiga, perjanjian dengan sesama manusia. Syariat Islam memerintahkan kita untuk selalu menepati perjanjian dan kesepakatan antar sesama manusia. Perjanjian dan kesepakatan dengan atasan dan pemimpin, perjanjian dan kesepakatan yang dibuat sesama manusia, dan semisalnya.
Dan Allah ‘azza wajalla mengharamkan hamba-Nya dari pengkhianatan dan pelanggaran terhadap sesuatu yang telah disepakati antar sesama manusia. Bahkan, Allah ‘azza wajalla menggolongkan perbuatan ini sebagai perbuatan dusta yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu ada tiga; jika berkata ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, jika dipercaya ia berkhianat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam kesempatan lain beliau bersabda,
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Ada empat perkara, barang siapa yang empat perkara itu semuanya ada di dalam dirinya, maka orang itu adalah seorang munafik yang murni – yakni munafik yang sebenar-benarnya – dan barang siapa yang di dalam dirinya ada satu perkara dari empat perkara tersebut, maka orang itu memiliki pula satu macam perkara dari kemunafikan sehingga ia meninggalkannya, yaitu: jikalau dipercaya berkhianat, jikalau berbicara berdusta, jikalau berjanji dia tidak tepati dan jikalau bertengkar maka ia berbuat kecurangan – yakni tidak melalui jalan yang benar lagi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Jamaah khutbah Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah,
Demikianlah gambaran betapa beratnya menjaga diri untuk selalu jujur. Dalam kehidupan kita, selalu ada bisikan-bisikan dari setan berbentuk jin dan manusia yang mengintai setiap saat. Mereka membisikkan ke telinga kita untuk berlaku dusta dan khianat.
Karena inilah salah satu pintu yang digunakan setan untuk menjerumuskan kita, menumbuhkan benih-benih pengingkaran dan penentangan, benih kebencian antar sesama, benih permusuhan, dan akhirnya umat pun terpecah belah.
Berbuat jujur itu memang berat. Sangat berat. Apalagi jujur dalam mengutarakan sesuatu yang sebelumnya ia terlanjur berdusta. Namun, seberat apa pun itu, kejujuran tetap harus dilakukan.
Kita perlu mencontoh kisah salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Kaab bin Malik, yang sempat mencari-cari alasan karena tidak ikut perang Tabuk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Mengapa kamu tidak ikut serta bertempur bersama kami hai Ka’ab? Bukankah kamu telah berjanji untuk menyerahkan jiwa ragamu untuk Islam?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kaab bin Malik menjawab, “Ya Rasulullah, demi Allah seandainya saya duduk di dekat orang selain diri engkau, niscaya saya yakin bahwasanya saya akan terbebaskan dari kemurkaannya karena alasan dan argumentasi yang saya sampaikan.”
Ia melanjutkan, “Tetapi, demi Allah, saya tahu jika sekarang saya menyampaikan kepada engkau alasan yang penuh dusta hingga membuat engkau tidak marah, tentunya Allah lah yang membuat engkau marah kepada saya. Apabila saya mengemukakan kepada engkau ya Rasulullah alasan saya yang benar dan jujur, lalu engkau akan memarahi saya dengan alasan tersebut, maka saya pun akan menerimanya dengan senang hati. Biarkanlah Allah memberi hukuman kepada saya dengan ucapan saya yang jujur tersebut.”
“Demi Allah, sesungguhnya tidak ada uzur yang membuat saya tidak ikut serta berperang. Demi Allah, saya tidak berdaya sama sekali kala itu meskipun saya mempunyai peluang yang sangat longgar sekali untuk ikut berjuang bersama kaum muslimin.’ Mendengar pengakuan yang tulus itu.”
Rasulullah pun berkata: “Orang ini telah berkata jujur dan benar.” (HR. Al-Bukhari No. 4066)
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
KHUTBAH KEDUA
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Jamaah khutbah Jumat yang semoga senantiasa dirahmati Allah,
Semoga nasehat-nasehat dalam khutbah Jumat pada siang hari ini benar-benar menyadarkan jiwa dan pikiran kita untuk senantiasa menghiasi diri dengan akhlak kejujuran serta membuang kebiasaan-kebiasaan dusta yang telah terlanjur menjadi karakter kita di masa lalu.
Lupakan masa lalu. Kita beristighfar kepada Allah ‘azza wajalla atas segala kedustaan yang pernah kita lakukan.
Dan kini, kita harus bangkit. Kita mulai hari-hari kita selanjutnya dengan akhlak kejujuran dalam segala hal.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ.
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ حُكَّامًا وَمَحْكُوْمِيْنَ، يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ، اَللَّهُمَّ اشْفِ مَرْضَانَا وَمَرْضَاهُمْ، وَفُكَّ أَسْرَانَا وَأَسْرَاهُمْ، وَاغْفِرْ لِمَوْتَانَا وَمَوْتَاهُمْ، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، اَللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْإِيْمَانَ وَزَيِّنْهُ فِي قُلُوْبِنَا، وَكَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الرَّاشِدِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمنًا مُطْمَئِنًّا قَائِمًا بِشَرِيْعَتِكَ وَحُكْمِكَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ، اَللَّهُمّ ارْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ، وَالزَّلَازِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الفِتَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِ بِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمُنْكَرِ وَالبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
وَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ الْجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ، وَأَقِمِ الصَّلَاة