10 Masalah Corona - Penjelasan Syaikh Shadiq Abu Abdillah-dakwah.id

10 Masalah Corona – Penjelasan Syaikh Umar Ibnu Abdillah

Terakhir diperbarui pada · 2,758 views

10 Masalah Corona: Penjelasan Syaikh Umar Ibnu Abdillah al-Hasyimi

 

Berikut ini terjemahan dari tulisan syaikh Umar ibnu Abdillah al-Hasyimi, adik dari syaikh Shadiq Abu Abdillah al-Hasyimi, salah seorang ulama Sudan yang banyak diambil ilmunya oleh para penuntut ilmu dari berbagai negara, tentang sikap seorang muslim terhadap merebaknya virus Corona hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Artikel ini disajikan dalam rangka upaya menetralisir simpang siur silang pendapat ulama yang beredar di masyarakat dengan sangat cepat melalui media sosial yang ada; yang pada akhirnya memunculkan sikap berlebihan pada muslim awam yang belum terbiasa menghadapi perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama.

Tulisan syaikh Umar Ibnu Abdillah al-Hasyimi ini berjudul Masa’il al-Kuruna yang disebarkan melalui official Channel Telegram milik kakaknya, syaikh Shadiq Abu Abdillah al-Hasyimi.

Bagi pembaca yang ingin merujuk versi tulisan Arabnya, di akhir tulisan ini kami cantumkan file PDF tulisan tersebut dan dapat diunduh secara gratis.

Kita semua senantiasa berdoa semoga Allah ‘azza wajalla memberi kesabaran para korban, keluarga korban, dan saudara-saudara kita yang dinyatakan sedang dalam pengawasan.

Baca juga: Istifta’: Covid-19, Lockdown, dan Eksistensi Fatwa Ulama

 

Masalah Corona

Oleh: Syaikh Umar Ibnu Abdillah al-Hasyimi

Penerjemah: dakwah.id
Editor: Sodiq Fajar

 

Masalah Pertama:

Hukum mendatangi masjid bagi penderita Corona, atau sebaliknya, Hukum meninggalkan shalat di masjid bagi penderita Corona.

Jawab:

Penderita Corona tidak boleh shalat di masjid sebab virus Corona yang ada pada dirinya berpotensi pindah ke orang lain dan dapat mengganggu kaum muslimin.

Virus Corona ini adalah wabah penyakit yang lebih berbahaya dan lebih mengganggu dari pada bau mulut orang yang memakan bawang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلاً فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا

Barang siapa yang telah memakan bawang putih atau bawang merah, maka hendaknya dia menjauhi masjid kami.” (Muttafaq ‘alaih)

Maka, menjadi kewajiban bagi kaum muslimin untuk mengeluarkan orang yang terjangkit virus Corona dari masjid, karena tingkat gangguan dan bahayanya lebih tinggi dari aroma bawang.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,

لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنَ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ، أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ

Sungguh aku pernah memerhatikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau mendapati aroma keduanya (bawang putih atau bawang merah) dari seseorang yang berada di masjid, maka beliau memerintahkan untuk membersihkannya dan dikeluarkan (dari masjid) ke Baqi.” (HR. Muslim)

 

Masalah Kedua:

Wajib melaksanakan shalat jamaah bagi sekelompok orang yang terjangkit virus Corona di bilik ruang karantina mereka.

Alasannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengutus satu kaum pun ke sebuah tempat kecuali beliau tetap memerintahkan kepada mereka untuk melaksanakan shalat berjamaah.

Selain itu, ketika Malik bin Huwairits ingin kembali kepada keluarganya bersama temannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepada mereka berdua,

إِذَا أَنْتُمَا خَرَجْتُمَا، فَأَذِّنَا، ثُمَّ أَقِيمَا، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا

Jika kalian berdua hendak keluar dari wilayah ini, maka kumandangkanlah azan kemudian iqamat, lalu hendaknya yang mengimami adalah orang yang lebih tua di antara kalian berdua.” (Muttafaq ‘alaih)

Perintah shalat berjamaah itu tidak gugur dengan terhalangnya penegakan shalatnya di masjid meski hanya diikuti oleh anggota keluarga saja.

Dan shalat berjamaah di masjid hukumnya kembali wajib jika faktor penghalangnya telah tiada.

Di antara penghalang yang membolehkan seseorang untuk tidak shalat berjamaah di masjid adalah tertimpa penyakit parah dan memakan bawang putih atau bawang merah tanpa diolah terlebih dahulu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Baca juga: Al-Jam’u, Dua Cara Menghadapi Pandemi Corona

 

Masalah Ketiga:

Hukum orang yang terjangkit virus Corona membaur secara fisik di tengah kerumunan.

Jawab:

Orang yang terjangkit virus Corona, secara khusus, dan orang yang terjangkit penyakit berbahaya yang menular lainnya, secara umum, dilarang untuk membaur di tengah kerumunan sampai benar-benar dipastikan keberadaan dirinya tidak membahayakan orang lain dengan penularan penyakit tersebut.

Argumentasi yang paling jelas mengenai hal ini adalah peristiwa baiat masuk Islam utusan yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan pada saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempertegas janji mereka dengan mushafahah; berjabat tangan.

Kemudian ketika datang giliran utusan dari Bani Tsaqif kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di dalam rombongan mereka ada seorang laki-laki yang mengidap penyakit kusta. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan kepada mereka,

إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ

Kami sudah membaiatmu, kembalilah.” (HR. Muslim)

 

Masalah Keempat:

Bagaimana sikap kita terhadap orang yang terjangkit virus Corona?.

Jawab:

Orang yang terjangkit virus Corona yang berada di masjid, mereka diperintahkan untuk keluar dari masjid, diingatkan agar takut kepada Allah ‘azza wajalla, dan dijelaskan bahwa datangnya dia ke masjid sementara di tubuhnya ada penyakit yang berbahaya hukumnya adalah haram.

Adapun untuk kondisi di luar masjid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

فِرَّ مِنَ المَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ

Berlarilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.” (HR. Al-Bukhari No. 5707)

 

Masalah Kelima:

Hukum wilayah kota (dalam istilah Arab: al-Madinah) yang terjangkit virus Corona.

Jawab:

Kota yang terjangkit virus Corona tidak dibolehkan bagi penduduk di dalamnya untuk keluar dari kota. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang penyakit Tha’un yang hukum-hukumnya diaktualisasikan pada penyakit virus Corona,

إِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا

Jika ia menjangkiti suatu wilayah, sementara kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari wilayah tersebut.” (Muttafaq ‘alaih)

Baca juga: Virus Corona Menyebar, Adakah Hadits Doa Terhindar dari Wabah Penyakit?

 

Masalah Keenam:

Hukum bepergian ke kota yang terbukti terjangkit virus Corona.

Jawab:

Tidak boleh bepergian ke kota yang terbukti terjangkit penyakit virus Corona atau atau penyakit berbahaya yang menular lainnya seperti virus Corona.

Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا

Apabila kalian mendengar wabah Tha’un di suatu negeri, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Yang perlu diperhatikan dalam permasalahan ini adalah harus membedakan antara ruang kota (al-madinah) dengan negara (al-Balad).

Hukum seperti yang dijelaskan di atas hanya berlaku khusus untuk konteks ruang kota (al-Madinah) tertentu yang tampak jelas terjangkit virus Corona, bukan untuk medium setiap negara dan kota-kota secara general.

Isolasi atau lock down dan larangan memasuki wilayah hanya berlaku pada kota yang secara jelas terjangkit saja.

Islam mengaitkan hukum dengan diri seorang muslim dalam bentuk taklif bagi dirinya (pembebanan hukum), sehingga sanksi yang berupa larangan (al-Man’u) oleh agama lebih kuat beban hukumnya dari sanksi oleh undang-undang bagi diri seorang muslim.

 

Masalah Ketujuh:

Hukum negara yang memulangkan warganya di luar negeri yang terjangkit virus Corona.

Jawab:

Bagi negara tersebut berlaku hukum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang larangan orang yang terjangkit penyakit menular yang berbahaya seperti ini berbaur dengan masyarakat. Selain itu juga berlaku hukum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang larangan keluar dari sebuah kota yang dinyatakan terjangkit virus Corona.

 

Masalah Kedelapan:

Hukum negara yang memulangkan warganya di luar negeri yang tidak terjangkit virus Corona.

Jawab:

Bagi negara tersebut juga berlaku hukum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang larangan keluar dari sebuah kota yang terjangkit wabah Corona. Adapun jika memindahkan dari kota yang tidak terjangkit wabah Corona, maka itu boleh.

Ketetapan hukum yang berlaku tergantung pada ada-tidaknya wabah.

Ketika penyakit Tha’un merebak di wilayah Syam, Muadz bin Jabal urung untuk pindah ke Madinah dalam rangka mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga akhirnya Muadz bin Jabal meninggal karena terkena penyakit Tha’un dan baginya kematian yang syahid.

Baca juga: Hukum Berjamaah Dalam Melaksanakan Shalat Fardhu

 

Masalah Kesembilan:

Hukum menutup masjid-masjid karena sebab merebaknya virus Corona.

Jawab:

Tidak boleh menutup masjid dan melarang orang sehat untuk mendatangi masjid dan shalat di dalamnya agar tidak ada halangan untuk tetap berzikir kepada Allah ‘azza wajalla dan melaksanakan shalat di dalamnya.

Selain itu, juga agar masjid tidak dinonaktifkan dimana Allah ‘azza wajalla telah memerintahkan untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya di dalamnya. Meskipun yang akan mendirikan shalat di masjid hanya Imam shalat dan Muadzin saja, atau hanya Imam shalat dan keluarganya saja.

Catatan: Harus dibedakan antara imbauan untuk tidak mendatangi masjid (‘adamul ityan), dengan perintah untuk menutup masjid (al-amru bil ighlaqi) dan melarang shalat di dalamnya (al-man’u minhu). Keterangan ini terdapat dalam tulisan Syaikh Shadiq Abu Abdillah al-Hasyimi dalam Channel Telegram beliau.

 

Masalah Kesepuluh:

Hukum orang yang sehat menghindari shalat berjamaah di masjid karena takut tertular Virus Corona.

Jawab:

Jika memang berdasar dugaan terkuat, di masjid ada jamaah yang terjangkit virus Corona, atau diliputi keraguan yang cukup rumit tersebab dahsyatnya penyebaran wabah menular, maka boleh bagi dirinya untuk melaksanakan shalat berjamaah di rumah bersama keluarga, tetangga, atau lainnya.

Rasa takut yang meliputi dirinya hanyalah uzur yang menghalangi diri dari pelaksanaan shalat di masjid, bukan pelaksanaan shalat secara berjamaah. Wallahu a’lam. (www.dakwah.id)

 

[wp-embedder-pack width=”100%” height=”800px” download=”all” download-text=”Download PDF” attachment_id=”14171″ /]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *